Pada titimangsa sama ketika Roberto Baggio gagal mencetak gol pada babak adu pinalti ke gawang Brazil, Sutopo Purwo Nugroho memulai tugas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau kini kerap disebut ASN di Badan Pengkajian dan Penelitian Teknologi (BPPT) sebagai pegawai bidang penyemaian awan. Penyemaian awan. Sekali lagi. Penyemaian awan. Dari namanya, menyenangkan sekali pekerjaan itu. Menjadi petani, lantas menyemai awan. Pak Sutopo, orang yang menyenangkan. Sekaligus menenangkan. Seperti kita membayangkan menyenangkannya menyemai awan.
Ada banyak teori juga praktik perihal seperti apa itu hidup yang menyenangkan. Banyak uang, kenyamanan, kemapanan, menjadi beberapa alasan. Pak Sutopo, punya filosofi sendiri perihal hidup. Ia bilang, hidup itu bukan seberapa panjang usia seseorang, tapi seberapa bermanfaat Ia bagi orang lain. Dan Pak Sutopo sepertinya memegang teguh prinsip itu, sembari menjalaninya dengan menyenangkan.
Sutopo Purwo Nugroho, lahir di Boyolali dari pasangan Suharsono Harsosaputro dan Sri Roosmandari sekira lima puluh tahun lalu. Ia sempat merantau ke Yogya untuk belajar di Fakultas Geografi UGM. Setelah menyelesaikan sarjana di Yogya, Ia lanjut belajar di IPB lantas berkarir di BPPT. Usai berkarir sebagai penyemai awan, Ia lantas dipercaya sebagai Kepala Bidang Teknologi Mitigasi Bencana, Pusat Teknologi Pengelolaan Lahan, Wilayah dan Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Menjabat sebagai kepala bidang yang banyak bergelut pada tema mitigasi bencana, Pak Sutopo kerap bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga akhirnya hingga akhirnya bekerja penuh di BNPB. Pada tahun 2010, Ia dipercaya menjadi Direktur Pengurangan Risiko Bencana. Pada November di tahun yang sama, Pak Sutopo diangkat sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB hingga akhir hayatnya. Dini hari tadi, beliau meninggal dunia di salah satu rumah sakit di Cina setelah sebelumnya menderita penyakit kanker paru-paru.
Di negeri ini, rutinnya bencana alam yang terjadi berpilin-berkelindan dengan ketidakcakapan kebanyakan mereka yang dipercaya negara untuk menangani itu. Ini pahit memang, namun saya rasa pil pahit ini mau tidak mau mesti kita telan bersama. Jika membawa pil pahit ini dalam lingkup statistika, tentu aja tetap ada pencilan yang keluar dari data utama. Istilah ‘pencilan’ dalam statistika bermakna sebuah/beberapa buah data yang menyimpang sangat jauh dari data lainnya.
Biasanya, dalam analisis statistika, pencilan ini diabaikan. Namun, untuk kasus pil pahit penanganan bencana, pencilan ini tidak bisa diabaikan. Sebaliknya, harus ditampilkan laiknya angin segar di terik panas. Keberadaan pencilan dalam penanganan kebencanaan di bawah pemerintah inilah yang memberi angin segar bahwa penanganan bencana di bawah tanggung jawab negara tidak bobrok-bobrok amat, dan ada harapan perbaikan ke depannya.
Namanya pencilan, tentu saja masih sedikit. Dua dari sedikit pencilan dalam penanganan kebencanaan itu adalah Surono dan Sutopo. Surono atau yang kerap disapa Mbah Rono, mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Kemunculannya ketika Gunung Merapi di perbatasan Yogya dan Jawa Tengah meletus, ketika Gunung Sinabung di Sumatra Utara aktif dalam jangka waktu lama, dan ketika gunung-gunung berapi lainnya meletus, bukan hanya memberikan informasi dan analisis yang akurat, namun juga cukup mampu menenangkan khalayak. Mbah Rono juga tak segan memasukkan unsur kearifan lokal masyarakat yang tinggal di sekitar gunung berapi sebagai data analisis yang Ia lakukan.
“Setelah saya bisa nonton tivi lagi waktu kembali ke desa usai mengungsi, saya selalu menunggu informasi-informasi yang diberikan humas BNPB itu,” Ujar Kepala Desa Karawana, Sigi, Sulawesi Tengah, “Pak Sutopo, Pak.” Potong saya. “Iya, benar, Pak Sutopo.” Jawab kepala desa. Ia lantas menambahkan, “Informasi dari Pak Sutopo itu, saya tidak tahu kenapa, Mas, tapi bisa bikin tenang saja. Meskipun yang diinformasikan tentang bencana, tapi dia bisa sampaikan baik, terutama tidak bikin orang panik. Saya terbantu.”
Indonesia memiliki kondisi geografis yang unik dan khas. Ada tiga lempeng besar bumi yang bertemu pada dua titik di wilayah Indonesia. Lempeng besar itu membentuk keberagaman geografis Nusantara yang indah sekaligus menyimpan ancaman besar. Gempa sering terjadi, adakalanya disusul smong dalam Bahasa Aceh, atau kita lebih senang menyebutnya dengan serapan bahasa asing, tsunami. Yang baru-baru terjadi di Palu, Sigi, Donggala, Sulawesi Tengah, gempa bukan hanya disusul smong, likuifaksi terjadi di beberapa titik di sana.
Pergerakan lempeng bumi itu, juga membentuk gugusan gunung berapi yang mengelilingi beberapa wilayah di Asia Pasifik. Gugusan itu kita kenal dengan Cincin Api, Ring of Fire. Wilayah Indonesia menjadi penyusun utama dan terpanjang lingkaran cincin api itu. Maka, bencana alam menjadi konsekuensi yang lumrah, selumrah berkah dikaruniai bumi yang indah dan tanah yang subur karena aktivitas pertemuan lempeng dan vulkanologi di gunung berapi.
Sayangnya, kondisi dikepung potensi bencana semacam itu, pendidikan mitigasi bencana minim diterima warga Indonesia. Banyak orang tidak paham seperti apa proses pencegahan bencana, sistem penyelamatan diri yang baik saat bencana terjadi, dan proses-proses yang mangkus dan sangkil saat memasuki masa pemulihan pasca bencana. Padahal ini mestinya wajib diketahui seluruh penduduk negeri ini.
Keberadaan Pak Sutopo, menjadi angin segar di tengah kegersangan ketidaktahuan itu. Lewat ujaran-ujarannya baik ketika konferensi pers, maupun di media sosialnya, terselip edukasi mitigasi bencana di sana. Selain mudah dicerna, Ia juga menyampaikan dalam kemasan menyenangkan.
Sebagai humas di BNPB, Ia mesti menyampaikan kabar dengan cepat. Tak hanya cepat, informasi yang disampaikan juga dituntut akurat. Karena jika tidak, alih-alih menenangkan masyarakat di tengah bencana, ketidakakuratan rentan membikin masyarakat kian panik. Pak Sutopo mendekati sempurna mengemban peran itu.
Tentu saja ada sedikit silap dan itu manusiawi. Ketika melakukan kesalahan kemudian menyadari kesalahan itu, Ia lekas meminta maaf dan memperbaiki informasi. Lagi-lagi, sikap Pak Sutopo ini menjadi pencilan di tengah rimba raya bernama media sosial yang dipenuhi hoax.
Saya pernah membayangkan bekerja seperti Pak Sutopo, baik itu ketika menjadi penyemai awan, maupun humas di BNPB. Yang kedua, saya rasa sangat berat. Dan berisiko berada di garda depan penerima hujatan, karena sebuah kesalahan kecil keterlambatan memberikan informasi misalnya. Dengan prinsip berbuat baik kepada sesama manusia, Pak Sutopo mampu menjalankan tugas sebagai humas dengan sangat baik.
Tuhan sayang kepada Pak Sutopo, dan ini semestinya membikin banyak orang iri. Ujian kepada Pak Sutopo di bumi ditingkatkan oleh Tuhan. Kanker paru-paru mesti mengendap kemudian menjalar di tubuhnya.
“Anda gila! Dikasih penyakit kok iri.” Begitu mungkin kamu akan protes. Tapi filosofi berbuat baik kepada sesama, lewat penyakit kanker paru-paru yang Ia derita, membawa Pak Sutopo pada spektrum yang lebih luas untuk mengejawantahkan filosofi hidupnya. Lewat penyakit itu, Pak Sutopo mengajarkan manusia perihal ketabahan sekaligus keikhlasan menerima penyakit. Di lain sisi, Ia juga mengajarkan ikhtiar untuk terus berusaha mengobati penyakitnya, hingga ke negeri Cina sampai Ia berangkat ke alam keabadian minggu dini hari lalu.
Dalam suasana pergulatan batin antara keikhlasan dan ketabahan di satu sisi, dengan ikhtiar dan doa di sisi lainnya, Pak Sutopo tetap menjalankan tugas utamanya di humas BNPB, berbuat baik kepada orang lain lewat informasi yang cepat dan akurat, dengan selipan edukasi mitigasi bencana yang renyah dikunyah pembacanya.
Pak Sutopo, lewat laku kehidupannya, membantah ujaran filusuf Yunani yang viral usai dikutip Soe Hok Gie dalam catatan hariannya. Ujaran perihal keberuntungan dan kesialan nasib seseorang. Yang paling beruntung, tidak dilahirkan, setelahnya mati muda, yang paling sial, hidup sampai tua.
Hingga usia 50 tahun, Pak Sutopo mengajarkan betapa beruntungnya menjadi manusia, bisa berguna bagi orang lain, dan dikenang dengan kenangan baik ketika pergi meninggalkan bumi.
Selamat jalan, Pak Sutopo. Kami semua kelak pasti menyusul. Bisa cepat. Bisa pula lambat. Semoga kami bisa hidup semenyenangkan Anda, dan mati menanggalkan kenangan bagi yang masih hidup dengan kenangan-kenangan baik seperti Anda. Di bumi, Anda pernah menyemai awan. Kini saatnya Anda berangkat ke alam keabadian untuk memanen awan itu. Awan kebahagiaan yang abadi.