“Cowok adalah makhluk yang lebih dominan maskulinnya daripada feminisnya. Sehingga cowok dianggap sangat tidak pantas dan lemah di saat ia mengeluh, apalagi menangis ketika mendapati masalah,” ujar dari pelaku stereotip.
Pernyataan seperti ini tak perlu kamu afirmasi apalagi sampai kamu pikirkan dan yakini. Statement ini justru lahir akan konstruksi sosial dan pelaku stereotip yang amatiran. Tak ada nilai fundamental, etis dan moralitas yang mendasarinya. Hanya sebatas anggapan yang bersifat asumsi dan polarisasi terhadap fungsi psikis para cowok. “Cowok itu kuat, sedangkan cewek enggak, jadi ga pantes dong kalo cowok gampang nangis.”
Pernyataan-pernyataan seperti di atas jika dibiarkan membumi dapat mengakibatkan stimulus negatif kepada para cowok sehingga ia seringkali berpikir, “gua kan cowok, gua ga boleh cengeng apalagi nangis”. Pada akhirnya berefek pada kesehatan psikis—tekanan emosional, pikiran yang terganggu hingga fungsi kognitif dan afektif yang cenderung melemah.
Seringkali ini terjadi di berbagai hierarki sosial—tak hanya di perkampungan saja, melainkan di perkotaan pun pernyataan ini selalu saja di bumikan. Bahkan di lingkungan pendidikan pun sama—tingkat SD, SMP, atau SMA/SMK saja, tingkat perguruan tinggi juga ocehan-ocehan seperti itu masih tetap terdengar.
Tentu ini akan sangat merugikan para cowok, merasa di intimidatif secara verbal, tak ada yang empati, bahkan jauh dari prinsip keadilan. Padahal pernyataan di atas hanya satu dari banyaknya stereotip yang sering diberikan kepada cowok.
Apalagi di era industri 0.4 menuju 0.5 ini, seringkali istilah-istilah liar yang bersifat stereotip ramai dijadikan konten di media sosial, hingga akhirnya diperbincangkan oleh publik.
“Cowok mokondo, cowok kere”, seringkali menjadi perbincangan para wanita. Parahnya, kebanyakan wanita mengakui ocehan-ocehan itu dan menganggap general bahwa semua cowok itu sama.
“Kok kamu mau si sama dia, dia miskin, dia gak kerja, ga punya penghasilan, nanti kamu kalo mau beli apa-apa susah karena dia ga punya duit”. Ocehan-ocehan ini yang akhirnya keluar dari mulut para wanita. Padahal wanita nya sendiri yang terlalu punya standar yang tinggi.
Dampak dari tontonan yang non-realistis—brand mahal, produk yang terkenal hingga kultur hubungan yang mewah mengakibatkan budaya konsumtif terhadap para wanita. Akhirnya wanita pun terhipnotis, bahwa cowok yang ideal adalah cowok yang bisa memenuhi mood dan keinginan flexing-nya.
Dan, jika ini dibiarkan hingga ocehan-ocehan itu langgeng diberikan kepada cowok akan mengakibatkan rasa percaya diri seorang cowok dan pengakuan atas internal dirinya memudar. Ia pun merasa tak pantas untuk siapapun, merasa tak berhak memiliki perempuan yang didambakan.
Pada akhirnya, cowok pun akan memilih untuk menyerah dan melebur dalam-dalam keinginannya untuk bisa memiliki pasangan. Ia pun memilih untuk sendiri dan menghindar dari pertemuan.
Apakah setelah itu ocehan-ocehan kepada cowok selesai? Tidak, justru ada saja stimulus negatif dari para wanita. Mereka bilang, “ah lu mah ga gantle, ga kaya cowok lain punya cewek, makannya usahain dong jangan nunggu cewek yang nyamperin”. Lagi dan lagi stereotip yang serupa diterima oleh para cowok.
Pada akhirnya, ada satu jalan alternatif dan sikap yang efektif untuk merespons ocehan seperti itu, yaitu “Bodo Amat”. Tidak sepakat? Mari berdiskusi.