Pada suatu hari, seekor tikus sedang mencari makan. Seperti biasa, dia menyelinap masuk ke dalam gudang. Saat sibuk meraba-raba gudang yang gelap, tikus menemukan sebongkah keju yang sangat besar. Tapi sayang, keju tersebut melekat pada alat perangkap tikus yang terbuat dari besi. Sebuah perangkap yang mampu menghancurkan tubuh tikus hanya dalam beberapa detik saja.
Tikus pun tak berani mendekati perangkap itu. Lalu, ia menemui ayam.
“Hei ayam, di gudang ada perangkap tikus! Berhati-hatilah saat memasuki gudang!” kata tikus.
“Perangkap tikus itu harus disingkirkan supaya tidak membahayakan makhluk lain-lain,” ujar sang tikus.
Tapi apa kata ayam? “Saya tahu kalau ini adalah masalah besar bagi kamu, tikus.” “Maaf ya tikus, itu bukan urusanku. Aku tidak terganggu dengan perangkap itu,” tambah ayam.
Tidak puas dengan jawaban ayam, tikus kemudian menemui kambing. Setelah menceritakan adanya bahaya perangkap tikus di gudang itu, kambing pun bersuara.
“Maaf, ya!,” kata kambing, “Saya tidak bisa berbuat banyak. Sebaiknya kau berdoa saja agar keju itu lepas dari perangkapnya.”
Jawaban kambing yang asal-asalan itu membuat tikus kesal. Ia kemudian menemui sapi untuk memberi tahu adanya perangkap tikus di gudang tadi dengan harapan sapi dapat menyingkirkannya.
Lagi-lagi, tikus mendapat jawaban yang sama dari sapi.
“Maaf, ya,” kata sapi sambil tertawa, “Perangkap sekecil itu tidak berarti apa-apa bagi tubuhku yang besar ini. Saya tidak merasa terganggu dengan adanya perangkap itu.”
Karena bosan tidak mendapat perhatian teman-temannya, kemudian tikus meninggalkan gudang dan mencari makan di tempat lain. Saat tengah malam, tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. “Bruug…” Perangkap tikus itu sepertinya telah menemukan mangsanya.
Mendengar suara ini, istri sang petani langsung terbangun dan berlari ke gudang. Tetapi karena gelap, istri petani tersebut tidak menyadari bahwa yang tertangkap di perangkap tersebut adalah seekor ular berbisa. Ular itu lalu menggigitnya. Istri petani pun menjerit-jerit kesakitan.
Melihat keributan itu, sang petani segera berlari menuju dapur. Ia menemukan istrinya pingsan karena tergigit ular. Kemudian ia membawa istrinya untuk berobat. Esok paginya, tubuh si istri masih demam. Maka petani itu memutuskan menyembelih si ayam untuk dibuat sup kesukaan istrinya.
Selama istrinya sakit, banyak sekali tetangga yang menungguinya. Lalu petani itu menyembelih kambingnya. Daging kambing tersebut kemudian dibuat sate untuk hidangan tamu.
Setelah lebih dari seminggu sakit, sang istri akhirnya meninggal dunia. Banyak sekali orang yang hadir di pemakamannya. Akhirnya sang petani memutuskan untuk menyembelih satu-satunya sapi miliknya. Daging sapi itu dimasak untuk tamu yang telah hadir di pemakaman istrinya.
Kisah di atas menggambarkan dampak ketidakpedulian sesama makhluk dalam menghadapi bahaya. Tadinya hanya masalah perangkap tikus. Tapi kemudian berkembang menjadi masalah bagi semuanya. Ini terjadi karena yang lain tidak peduli pada perangkap tikus tersebut. “Biarlah tikus yang mati,” sindir sapi.
Hidup adalah sebuah perputaran atau yang biasa disebut siklus quantum. Masalah dan ancaman yang diderita orang lain dapat menjadi rantai yang akhirnya menimpa diri kita.
Karena itu, untuk menghindari bahaya lebih besar — sekecil apa pun benda berbahaya yang anda temui seperti jarum atau paku di jalan —
lekas singkirkan. Bayangkan, paku di jalan, akan melukai orang berpenyakit jantung. Ia kaget. Jantungnya kaget. Dan ia tewas.
Maka, keep the arms wide open and show your love; Buka lebar tanganmu dan tunjukkan cintamu pada sesama.