Bulan Agustus 2018, saat Deklarasi BOSAN (Prabowo Subiharto dan Sandiwara Uno), Sokibul Iman, petinggi PKS (Partai Keadilan Sepihak) mengklaim Sandi sebagai santri. Sebulan kemudian, September ini, petinggi PKS lainnya, yaitu Hikayat Nur Wahid, melanjutkan klaim ambisius tersebut: Sandi sebagai ulama.
Bagaimana Politik Karbitan Sandi (PKS) tersebut dilakukan? “Permainan bahasa” tetap menjadi instrumen utama mereka, baik sebagai senjata maupun sebagai benteng pertahanan. Sokibul sudah main aman sejak semula. Sebagai santri, Sandiwara adalah santri post-islamisme, katanya. Ia tak berani mengklaim bahwa Sandi adalah santri dalam pengertian semestinya. Istilah post-islamisme—seberapa pun konyolnya penempatan istilah tersebut—adalah produk dari permainan bahasa PKS.
Dengan permainan bahasa serupa itu, PKS akan berlindung dari berbagai serangan kepadanya. Dan sudah dapat diduga, dalam aksi klaim Sandiwara sebagai ulama, permainan bahasa PKS akan lebih banal. Dalam menjawab kritikan sebagai pihak, Hikayat mengatakan bahwa pengertian “ulama” yang ia maksud adalah bukanlah orang yang berilmu dalam hal agama, tapi bisa juga ilmu-ilmu lainnya.
Ironisnya, ketika mencoba berlindung dengan memperluas makna Ulama sebagai “orang berilmu” belaka, Hikayat tetap menggunakan anasir agama untuk membenarkan klaimnya tersebut. Sandiwara, katanya, rajin salat, puasa, membantu orang lain, dst.
Sokibul-Hikayat jelas-jelas bermain di dua kaki untuk sebuah Sandiwara Islami: Mereka menggunakan label “santri” dan “ulama” dalam pengertian khusus untuk menarik simpatisan rakyat berderai dan menggunakan pengertian umum dari kedua label tersebut untuk menghadapi kritikan terhadapnya dari kaum cerdik-pandai.
Dalam tahap ini saja, sudah jelas, bagaimana PKS (Persekutuan Kubu Sokibul) menggunakan istilah “santri” dan “ulama”, tak lain tak bukan sebagai “lagu dagang” saja. Setiap calon pembeli yang berbeda akan diberikan tawaran yang berbeda, yang penting barang terjual. Setelah Partai Kalah Saing (PKS) tidak dapat lapak dalam Bisnis Pilpres ini, mereka berdua tak punya jalan lain, kecuali jadi “tukang sorak”. Sebenarnya mereka tidak suka dengan posisi ini, tapi sebagaimana sebelumnya, mereka tetap anggap ini sebagai “jalan panjang” menuju cita-cita Pencapain Kuasa Sesungguhnya (PKS). Dan masalahnya sudah jelas bagi mereka, ibarat dunia dagang kaki lima, Sandi bukanlah “barang bagus”. Oleh sebab itu, sebagai Penjual Kain Sobek (PKS), mereka harus mengibul: bagaimana lagu dagang mereka bisa menjual kain sobek seharga kain sutra.
Strategi politik yang dijalankan PKS, apalagi kasus Sandirawa Santri dan Sandiwara Ulama ini, telah menunjukkan dengan jelas bahwa partai tersebut “berak dalam periuk”. Partai ini telah lama menjadikan Islam sebagai “periuk” partainya. Begitu banyak kader-kader yang menjunjung tinggi nilai Islam yang kemudian masuk ke dalamnya. Bahkan, tanpa bekal agama dan bekal politik yang cukup, banyak yang masuk PKS karena ingin belajar Islam dan politik di saat bersamaan. Wacana Islam, dengan begitu, telah menghidupkan PKS, bahkan sejak era sebelum “Sejahtera”.
Lewat berbagai “jalur bawah tanah”, PKS menghimpun massa, terutama mahasiswa. Kerja bawah tanah tersebut susah diklaim sebagai kerja politik praktis saja, karena dalam kerja tersebut ada aksi dakwah Islam. Begitu juga sebaliknya, dalam aksi dakwah Islam, terdapat ikhtiar mengumpulkan massa. Sehingga, sekali kita kritik modus politik mereka, kita bisa saja diposisikan seperti sedang “mengkritik Islam” ataupun “menghalangi dakwah”. Dengan kata lain, PKS sangat lihai dalam menjaga “kekaburan” batas antara berpolitik praktis dan berdakwah. Artikulasi politik mereka sangat ampuh.
Namun, sekarang, kekaburan batas itu semakin luntur. Berbagai aksi PKS dalam dunia politik praktis semakin membuat batas tegas antara kepentingan dangkal politik praktis dan kepentingan pendalaman agama Islam. Islam yang pada mulanya dijadikan “periuk”, kini telah menjadi tempat “berak”. Tak ada lagi yang benar-benar “untuk kepentingan Islam” dalam berbagai strategi politik mereka. Status “santri” dan “ulama” telah jadi lagu dagang.
Apakah mereka tidak merasa malu dengan cara seperti itu? Ribuan santri di negeri ini, antara hidup dan mati, belajar agama, melewati berbagai disiplin belajar yang ketat, keras, dan tentu saja tak jarang melelahkan. Sekalipun sekeras itu jalan belajar agama, tak semua yang tiba-tiba bisa jadi ulama. Banyak yang tetap bertahan jadi “santri” sampai tua, dalam artian merasa tak sanggup menjunjung status ulama, dan sudah cukup sebagai “umat” kebanyakan saja. Dan, bagi yang mengemban tanggungjawab sebagai “ulama”, tentu kerasnya hidup sebagai santri bukan satu-satunya alasan yang membuat mereka merasa pantas mengemban tugas itu. Justru, sebagai ulama, mereka sedang menambah beban. Peran sebagai ulama adalah posisi mempertaruhkan batang leher ke hadapan orang banyak. Salah langkah tidak akan berdampak pada dirinya sendiri saja, melainkan jutaan orang masuk ke dalam jurang. Dan kini, karena Bisnis Pilpres, Sandiwara jadi Santri. Dan dalam waktu sebulan, ia beralih dari santri menjadi ulama.
Suatu hal yang kiranya penting untuk kita telusuri. Paling tidak, adaptasi riwayat falsafah politik Engku Alain Badiou bisa kita gunakan: Kita harus bisa membedakan antara Islam sebagai “agama” dan Islam sebagai “eksperimen politik”. Keduanya bisa beriringan, tapi tak selalu berarti sejalan. Bahkan, dalam kasus PKS, “eksperimen politik” telah mengkhianati “agama”.
Sebagai tata-cara untuk hidup bersama manusia dan hidup karena kuasa Tuhan, artikulasi ajaran Islam bisa diuji-cobakan lewat berbagai eksperimen politik. PKS adalah salah satu contoh eksperimen politik yang menjadikan Islam sebagai landasan idenya. Namun, perlu ditekankan, transformasi dari “agama” ke “eksperimen Politik” tersebut tidak semerta-merta memindahkan “kesucian agama”. Artinya, dalam suatu eksperimen politik, bisa saja yang terjadi justru kebalikannya. Dimensi “uji coba” tidak berarti sama dengan dimensi “konsep”. PKS telah memberikan contoh kongkretnya kepada kita bagaimana dua dimensi itu berseberangan. Itu sebabnya, sebagai “eksperimen politik”, PKS telah gagal. Tapi, itu bukan kegagalan Islam sebagai agama.
Masih banyak cara lain berjuang untuk agama selain dengan mendukung PKS.