Raden Ngabehi Ronggowarsito, sang pujangga dan imajiner yang hidup pada pertengahan abad ke-19 di Kasunanan Surakarta, telah membaca tanda-tanda zaman pada masanya, lalu menerawang jauh ke masa depan lewat gubahan tembang mocopatnya, Megatruh (Megat-Ruh). Tercerabutnya nyawa (ruh) dari badan (jasad)—spirit Megatruh—seiring nafas kepedihan yang mencerminkan suasana hati masyarakat Jawa pada waktu itu yang sedang dilanda ‘Zaman Edan.’
Bermula dari zaman kacau balau (Kalatida) karena hilangnya akal sehat dan erosi tata nilai. Kalatida telah menjerumuskan masyarakat ke dalam praktik kehidupan yang rusak-rusakan (Kalabendu). Meski demikian, sang imajiner tetap optimis bahwa pada saatnya nanti akan muncul ‘ratu adil’ yang akan membawa masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik (Kalasuba).
Percaya atau tidak, hasil terawang sang imajiner Ronggowarsito pada sekitar dua abad silam sebenarnya sedang kita alami saat ini, yaitu fenomena yang dikenal dengan istilah disrupsi.
Efek disrupsi yang begitu dahsyat telah menghilangkan akal sehat dan menggerus tatanilai dalam masyarakat sehingga kehidupan menjadi rusak-rusakan. Karakter dan budaya masyarakat telah tercerabut dari akarnya. Untuk menyembuhkan masyarakat yang sedang sakit, menurut WS Rendra (2008), dibutuhkan upaya menghidupkan kembali ‘mesin budaya’ menuju terwujudnya sistem sosial-kemasyarakatan yang adil dan bertanggungjawab.
Konsepsi ‘mesin budaya’ sebagai instrumen untuk menghidupkan kembali stamina budaya bangsa inilah yang dalam konteks kekinian hampir senafas dengan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Disrupsi = Zaman Edan
Spirit Megatruh sebagai tembang jenis mocopat gubahan Ronggowarsito sebenarnya melukiskan suasana batin masyarakat Jawa yang sedih dan prihatin. Berasal dari kata “megat” yang berarti “pisah” dan kata “ruh” yang berarti “nyawa,” maka Megatruh adalah representasi dari kondisi zaman yang telah tercerabut dari akarnya. Dalam istilah kekinian, pengertian Megatruh hampir identik dengan fenomena disrupsi, yaitu “goncangan besar dari dalam” atau “sesuatu yang tercerabut dari akarnya.”
Ronggowarsito memang memiliki visi (terawang) yang sangat tajam, jauh menembus masa depan, melampaui rerata pemikiran pada zamannya. Dengan kemampuan membaca tanda-tanda zaman, sang begawan ini mengidentifikasi wolak waliking zaman (perubahan zaman) lewat tahapan-tahapan: Kalatida (zaman kacau balau), Kalabendu (zaman kerusakan), dan Kalasuba (zaman kemakmuran). Dalam tahapan Kalatida dan Kalabendu—disebut Zaman Edan—selalu diiringi dengan menguatnya “daulat raja/paduka” (otoritarianisme penguasa) berbanding terbalik dengan melemahnya “daulat rakyat.”
Tanda-tanda Kalatida dalam gagasan Ronggowarsito sebagaimana hasil cernaan WS Rendra (2008: 1) sebagai berikut: 1) akal sehat diremehkan, 2) kebenaran dan kebatilan, keadilan dan kezaliman, kebaikan dan keburukan, tidak digubris, 3) krisis moral merajalela, 4) erosi tatanilai di segenap lapisan masyarakat, 5) kekuasaan korup. Sedangkan tanda-tanda Kalabendu: 1) ketidakadilan didewakan, 2) ulama-ulama mengkhianati kitab suci, 3) kekuasaan tak boleh dikritik, 4) korupsi dilindungi negara, 5) kemewahan dipamerkan kepada rakyat jelata, 6) penjahat dipahlawankan, tapi orang jujur malah ditertawakan.
Kalatida adalah tahapan awal chaos yang dimulai dengan gejala disrupsi dengan segala dampaknya. Ketika akal sehat diremehkan akan berbuah krisis moral dan pemerintahan yang korup. Kepentingan kelompok, motif ekonomi, dan stabilitas kekuasaan di era Megatruh nyaris mirip seperti gejala disrupsi yang telah menciptakan fenomena post-truth.
Dengan hilangnya akal sehat, hilang pula objektivitas. Kepentingan individu atau kelompoknya lebih utama dan itulah yang dianggap kebenaran. Maka ketidakadilan merajalela, pemerintahan menjadi dzalim. Kebenaran hanya menjadi setitik buih di tengah gelombang besar kapitalisme dan kolonialisme.
Baik Ronggowarsito maupun WS Rendra memang tidak menyebut penyebab hilangnya akal sehat dalam masyarakat. Tetapi dengan membaca catatan sejarah pada awal abad ke-19, gelombang kolonialisme telah menawarkan budaya baru (budaya tanding) dan masuknya modal dari para pengusaha Belanda ke tanah air telah menciptakan tahapan awal revolusi industri (menuju era modern).
Sampai memasuki akhir abad ke-19 dan memasuki awal abad ke-20, revolusi industri tidak hanya merambah bidang pertanian dan produk kerajinan tangan, tetapi pertumbuhan massif surat kabar bumiputra benar-benar telah menciptakan ‘goncangan besar’ (disrupsi) di tanah air.
Memasuki tahapan Kalabendu, memang sangat mantap stabilitas dalam masyarakat, tetapi instrument stabilitas adalah ‘penindasan’ dan ‘pemaksaan’ dari atas (daulat penguasa). Atas nama stabilitas pemerintahan, ketidakadilan dijunjung tinggi. Terdapat indikasi yang sangat miris ketika ulama-ulama atau para intelektual yang seharusnya menjaga ‘mesin budaya’ justru berselingkuh dengan kekuasaan yang korup.
Karena mereka yang korup adalah oknum atau pejabat pemerintah, atas nama stabilitas kekuasaan, justru para koruptor dilindungi oleh negara. Sampai pada batas akhir tingkat kewarasan berpikir masyarakat pada zaman Kalabendu, orang jahat justru malah dipahlawankan, berbending terbalik dengan orang jujur yang malah ditertawakan.
Itulah Zaman Edan atau kehidupan rusak-rusakan sebagaimana hasil terawang Ronggowarsito. Yaitu, suatu zaman ketika masyarakat telah kehilangan identitasnya, nilai-nilai budaya yang menopang karakter masyarakat telah tergerus oleh budaya tanding, dan praktik kehidupan bermasyarakat layaknya pentas ‘kesewenang-wenangan.’
Untuk dapat melewati pancaroba yang sangat melemahkan stamina budaya masyarakat, Ronggowarsito menginisiasi konsep “Ratu Adil” yang akan membawa kepada ‘zaman kemakmuran’ (Kalasuba). Tetapi imajinasi sang pujangga pada abad ke-19 ini masih sangat mistik, tidak sejalan dengan pandangan (world view) masyarakat modern yang rasional.
Maka WS Rendra, pujangga nyentrik yang dijuluki Burung Merak yang hidup pada abad ke-21 ini menerjemahkan kembali spirit Megatruh ke dalam alam pikiran modern lewat gagasan “Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu”(naskah pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa (HC) di kampus Universitas Gajah Mada (UGM) disampaikan WS Rendra pada tanggal 4 Februari 2008).
Mesin Budaya dan PPK
Dengan naluri seorang sastrawan yang tajam mengendus tanda-tanda zaman, dengan meminjam ramalan dan teori pujangga Ronggowarsito pada pertengahan abad ke-19, WS Rendra menyampaikan buah perenungannya dalam “Megatruh Kambuh.”
Menurut ramalan Ronggowarsito, Kalatida membuka jalan menuju kohesi sosial baru. Namun, kohesi sosial baru tidak menjamin kehidupan yang sejahtera dan harmonis karena “mesin budaya” tidak berdaulat kepada rakyat, tidak berkeadilan, tidak berperikemanusiaan, dan tidak menghargai dinamika kehidupan yang mendorong ‘daya hidup’ dan ‘daya cipta’ anggota masyarakat.
Kohesi sosial bertumpu pada apa yang disebut oleh WS Rendra sebagai “Mesin Budaya.” Yaitu, seperangkat aturan yang mengikat dan menimbulkan akibat. Rendra meletakkan filosofi manusia sebagai homosocius—makhluk sosialis yang selalu berhubungan dengan manusia lain dalam mewujudkan keinginan dan kebutuhan hidupnya.
Namun, dalam mewujudkan keinginan dan kebutuhan, manusia dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat dalam masyarakat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi, atau aturan hukum lainnya, tidak dapat dilanggar oleh manusia karena akan menimbulkan akibat tertentu (Rendra, 2008: 2).
Di sinilah konsepsi “Mesin Budaya” dalam perspektif WS Rendra sejalan dengan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dicanangkan oleh Kemdikbud yang secara otomatis pula sehaluan dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental.
Lima nilai utama karakter dalam PPK, seperti religiusitas, nasionalis, gotong royong, integritas, dan kemandirian, adalah daya hidup atau stamina yang menggerakkan mesin budaya bangsa.
Dalam situasi disruptif seperti sekarang ini atau Zaman Edan pada pertengahan abad ke-19, ketika “Mesin Budaya” tidak lagi berdaulat kepada rakyat, tidak berkeadilan, tidak berperikemanusiaan, dan tidak mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat, maka yang terjadi adalah apa yang disebut pujangga Ronggowarsito sebagai Kalabendu. Kohesi sosial justru mengarah kepada kehancuran.
Menghadapi era disrupsi saat ini, kohesi sosial mewajibkan “Mesin Budaya” ideal yang menurut WS Rendra adalah yang berdaulat rakyat (bukan daulat penguasa), adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan—yang mampu mendorong ‘daya hidup’ dan ‘daya cipta’ anggota masyarakat.
Religiusitas yang mencerminkan keberimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, nasionalis yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri dan kelompoknya, gotong royong yang menghargai semangat kerjasama dalam menyelesaikan masalah, integritas yang mencerminkan pribadi yang dapat dipercaya, dan kemandirian yang tidak mudah bergantung atau terpengaruh oleh orang lain adalah daya hidup yang dapat menggerakkan ‘mesin budaya.’ Dengan hidupnya mesin budaya bangsa, maka stamina kebudayaan nasional akan senantiasa terjaga.
Setarikan nafas konseptual, tafsir WS Rendra tentang ‘Ratu Adil’ dengan konsep kebijakan PPK mengiringi perubahan paradigma dari mistik menuju rasionalitas. Jika Ronggowarsito mensyaratkan hadirnya Ratu Adil—sebagai aktor penggerak perubahan—dalam mewujudkan zaman kesejahteraan dan kemakmuran, maka WS Rendra mengubah konsepsi mistis ini dengan representasi dari dari tatasistem baru (kebijakan).
Menariknya, dalam perenungan WS Rendra (2008: 2), urutan fase Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba tidak hanya terjadi zaman Mataram Islam, tetapi berlaku umum bagi beberapa bangsa di dunia. Seperti di zaman Yunani purba, Romawi, Reich pertama di Germania, Prancis, Spanyol, Portugal, Iran, Irak, Rusia, India, dan lain-lain.
Jika ditarik dalam suatu simpul teori, maka fase Kalatida, Kalabendu, dan Kalasuba adalah “irama zaman,” “timbul dan tenggelamnya zaman,” “pergolakan zaman,” atau “wolak waliking zaman.” Rendra pun menghadirkan irama Megatruh di alam modern yang kembali kambuh, ketika bangsa ini menghadapi globalisasi yang kian menguras stamina kebudayaan Indonesia.