Reformasi ternyata menyisakan banyak masalah. Dalam percaturan agama, reformasi memang identik dengan tuntutan perubahan yang digulirkan oleh kalangan Protestan. Tentu senantiasa ada paradoks dalam implementasinya. Ide dasar yang melatari reformasi adalah tuntutan untuk melakukan modernisasi. Tapi, secara doktriner mereka menuntut pula adanya purifikasi. Maka, tenarlah para penganjur reformasi di Barat sebagai kalangan puritan.
Sejarah telah membuktikan bahwa karakter khas kalangan reformis, yang dalam bidang keagamaan identik dengan kalangan modernis, adalah inkonsistensi: di satu sisi mereka menginginkan modernisasi, tapi di lain sisi mereka ingin kembali ke masa silam yang secara doktriner dipandang lebih suci dari masa sekarang.
Beberapa waktu lalu bergulir wacana untuk kembali mengamandemen UUD ’45. Kalangan yang merasa punya andil dalam peristiwa reformasi 22 tahun lalu beramai-ramai ingin memfungsikan kembali GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara), yang otomatis akan mengubah pula tata negara Indonesia. Adalah Amien Rais yang, konon, disebut-sebut sebagai salah satu tokoh reformasi, yang pertama kali mengamandemen UUD ’45.
Sepak terjang sosok yang satu ini memang terkenal “ngewuhke silit” seperti yang orang Jawa bilang. Saya kira ia adalah preseden buruk bagi perjalanan politik Indonesia. Tingkahnya yang ngewuhke silit tersebut rupanya juga diikuti para elite politik negeri ini. Mereka menggulirkan wacana untuk kembali mendudukkan MPR sebagai lembaga tertinggi di Indonesia. Apa artinya itu?
Artinya, kedaulatan rakyat ingin kembali dikangkangi. Sebab, dengan mendudukkan kembali MPR sebagai majelis tertinggi, maka presiden bukan lagi mandataris rakyat, tapi—sebagaimana di zaman Orde Baru—mandataris MPR. Civil society pun pelahan namun pasti semakin dikebiri. Kebiri nasional!
Rakyat adalah bayi, demikianlah ide dasar yang melatari keinginan untuk melakukan amandemen. Seolah para elite politik negeri ini tak lagi percaya pada rakyat yang selama ini mereka gembar-gemborkan sebagai tuan yang mereka wakili. Satu hal yang patut diketahui, tujuan demokrasi dapat dikatakan tercapai apabila rakyat, yang merupakan subyek demokrasi itu sendiri, mandiri, kreatif-inovatif, aktif dan partisipatif.
Rakyat dapat menentukan hidupnya sendiri tanpa harus diwakili laiknya bayi. Sebab, sebenarnya yang tahu kebutuhan rakyat adalah rakyat itu sendiri. Pemerintah, dalam hal ini, hanya berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga tegaknya aturan main yang mesti ada dalam ruang publik.
Indonesia bukanlah milik orang per orang atau golongan tertentu. Indonesia adalah ruang kosong yang menunggu pemenang kontestasi (the ruling class) untuk mengatur publik. Tentu negosiasi dan daya persuasif menjadi penting di sini. Negosiasi menjadi syarat mutlak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia yang majemuk. Ruang publik adalah sebuah ruang percaturan dan kontestasi antar berbagai kepentingan yang berbeda. Karena itu, Indonesia sudah semestinya adalah hasil negosiasi dari berbagai kepentingan yang berbeda tersebut.
Kontestasi atas berbagai kepentingan yang berbeda di ruang publik dapat dilihat mulai dari pemilu, perdebatan-perdebatan publik, polemik di berbagai media massa ataupun percaturan diskursus di media-media sosial di mana kesemuanya bertautan dengan hajat hidup orang banyak.
Di sinilah apa yang disebut sebagai civil society menemukan wujud nyatanya: rakyat yang berinisiatif atas hidupnya sendiri, rakyat yang berkontestasi atas hidupnya sendiri, dan pemerintah yang memfasilitasi serta menjaga keberlangsungan kontestasi rakyat di ruang publik tersebut secara proporsional.
Kontestasi rakyat di ruang publik semacam ini akan berjalan sebagaimana mestinya apabila satu-satunya aturan main yang harus ada dalam sebuah kontestasi dipatuhi semua warganegara Indonesia: Pancasila dan UUD ’45. Semua kepentingan yang berbeda mesti diterjemahkan dalam kerangka Pancasila dan UUD ’45 tersebut. Tak boleh ada sedikit pun yang menyimpang darinya. Sebab, ruang publik memang mensyaratkan adanya nalar publik.
Kenapa harus nalar publik? Karena Indonesia bukanlah milik orang per orang atau golongan tertentu (majemuk). Dan hanya Pancasila yang selama ini mampu diterima semua golongan yang ada di Indonesia. Tak usah saya bahas perdebatan klasik antara, katakanlah, liberalisme dengan sosialisme atau sekularisme dengan keberagamaan.
Masing-masing orang atau golongan mesti paham bahwa kita hidup di sebuah negara-bangsa yang majemuk. Kepentingan orang per orang atau golongan sah untuk disuarakan dan merebut simpati publik selama tak menyimpang atau berkhianat terhadap garis-garis yang telah dicanangkan Pancasila tersebut.
Baca juga
HTI, Yahudi Madinah, dan Perongrong Negara Kesepakatan
Bulan Juni, Bulan Sukarno, Bulan Indonesia
Kita, Pancasila dan Langgam Kemajemukan Bangsa
Merawat Kemajemukan, Menjaga NKRI
Kebhinekaan Itu Sunnatullah, Hentikan Politisasi Pluralisme!