Sehari sebelum lebaran saya masih di Port Campbell, kota kecil di jalur Great Ocean Road yang legendaris di Victoria. Jalur ini dibangun oleh para veteran Perang Dunia I dan didekasikan untuk para tentara Australia yang gugur di Perang Dunia I. Suasana kota Port Campbell layaknya kampung tepi pantai di Indonesia, sepi, tenang, angin dari samudera dan banyak burung camar. Sembari menikmati angin pantai yang sepoi-sepoi, saya terus menunggu kabar pengumuman mulainya bulan syawal, hari itu juga saya belum memutuskan kapan akan berlebaran.
Tak seperti di Indonesia yang memiliki lembaga resmi dengan otoritas khusus untuk menentukan jatuhnya hari raya. Australia adalah negara sekuler yang tidak memiliki otoritas resmi agama tertentu, karenanya soal kepercayaan diserahkan ke pemeluknya masing-masing. Jadilah, organisasi komunitas muslim di Australia jumlahnya sangat banyak dan setiap muslim bisa mengikuti fatwanya sesuai keyakinannya sendiri-sendiri.
Saya mengikuti pengumuman Moonsighting Australia yang melakukan pengamatan hilal untuk menentukan bulan baru. Itulah kenapa saat ramadhan saya mulai satu hari lebih lambat dibanding teman-teman lainnya. Kala sore hari saat dalam perjalanan pulang ke Melbourne barulah saya mendapat kabar terang soal hari raya. Organisasi yang menentukan hari raya dengan metode hilal, Moonsighting Australia, telah melihat hilal dan hari raya idul fitri akan jatuh pada tanggal 5 Juni 2019 di Melbourne.
Esoknya pagi-pagi sekali Melbourne dilanda mendung saat saya menuju tempat shalat ied. Sudahpun musim dingin, mendung pula, rasanya tambah dingin. Suasana hari raya idul fitri normal seperti biasa, seperti hari-hari biasa. Aktivitas berjalan normal, semuanya berlangsung begitu saja karena hari raya idul fitri bukan hari libur nasional. Efeknya, karena jatuh pada hari libur maka banyak umat muslim yang kemudian mengambil cuti atau izin untuk tidak bekerja, termasuk saya salah satunya.
Rangkaian shalat ied dimulai pukul delapan pagi. Namun, sedari pagi-pagi sekali jamaah telah berdatangan. Ruangan olahraga yang disewa IMCV (Indonesian Muslim Community Victoria) dalam sekejap penuh jamaah yang mayoritas orang Indonesia, hanya beberapa saja yang bukan orang Indonesia. Bershaf-shaf jamaah penuh takzim menanti waktu shalat ied tiba.
Usai shalat ied suasana menjadi haru. Para jamaah saling bersalam-salaman, tak jarang berpelukan satu sama lain. Suasana menjadi ceria karena ratusan jamaah di ruangan shalat saling menebarkan senyum. Para jamaah langsung berbaur, saling bermaafan satu sama lain tak lupa juga saling mengabadikan gambar.
Shalat ied kali ini wujud ukhuwah umat muslim Indonesia di Melbourne dan suasana inilah yang kemudian mengembalikan nuansa romansa idul fitri di Indonesia. Keakraban antar jamaah seolah menjadi satu keluarga membuat saya terkenang dengan suasana lebaran di Indonesia. Semuanya membaur, seolah menjadi satu keluarga. Ukhuwah bisa jadi ciri khas jamaah mulsim di luar negeri apalagi di negara yang mana muslim menjadi minoritas termasuk di Australia. Bisa jadi status minoritas-lah yang membuat ikatan sesama muslim saling terjalin erat.
Usai rangkaian shalat ied, suasana kembali seperti biasa. Beberapa jamaah tampak terburu-buru karena ingin kembali bekerja, beberapa lainnya masih saling bercengkerama satu sama lain. Saya? Memilih ke tempat teman untuk sama-sama menyantap opor.
Tradisi makan bersama adalah tradisi idul fitri yang tak hilang dan dilestarikan oleh jamaah muslim Indonesia di Australia. Bedanya, jika di Indonesia makan bersama dilakukan bersama keluarga, di Melbourne ini dilakukan bersama jamaah muslim lainnya yang menjadi keluarga di tanah rantau. Sajian opor ayam langsung tandas, berikut juga sambel goreng ati, dua menu yang rasanya cukup melampiaskan sejenak kerinduan akan kuliner tanah air.
Idul fitri kali ini bagi saya cukup spesial karena ini adalah untuk pertama kalinya saya berlebaran di luar negeri. Dulu saya membayangkan berlebaran di luar negeri itu pasti akan penuh kesyahduan. Rupanya salah, berlebaran di luar negeri tidak penuh syahdu, melainkan penuh rindu.
Seumur hidup saya selalu mudik, baru kali ini tidak mudik. Rindu yang menggelayut sejak merantau akan bertumpuk. Usai makan-makan saya menelepon keluarga di rumah menunggu beda waktu. Mendengar suara keluarga rasanya langsung campur aduk, haru tumpah ruah.
Lebaran di Melbourne sangat berbeda dengan Indonesia. Tak ada tradisi mudik, tak ada sungkeman, tak ada keliling tetangga. Rasanya seperti hari-hari biasa, pulang shalat ied kehidupan normal seperti biasa dan saya berangkat kerja shift siang. Hanya satu yang membuat beda suasana idul fitri di Indonesia dan di Melbourne, rindunya.