Setiap kali ada kejahatan oleh remaja, yang didahului dengan kegiatan minuman keras, orang-orang langsung bereaksi dengan menyalahkan minuman keras. Minuman keras dianggap sebagai setan, pemicu segala jenis kejahatan. Solusinya, larang peredaran minuman keras secara total.
Di berbagai negara, minuman keras umumnya tidak dilarang total tetapi diatur peredarannya. Salah satu poin penting dalam pengaturan peredaran minuman keras adalah pembatasan umur. Di Jepang, misalnya, minuman keras hanya boleh dikonsumsi oleh orang berusia 20 tahun lebih. Di Indonesia secara formal batasannya adalah 18 tahun.
Jadi, kalau ada anak-anak remaja berusia di bawah 18 tahun minum minuman keras, itu sudah pasti salah. Tidak peduli mereka melakukan kejahatan atau tidak setelah minum. Mereka adalah anak-anak remaja yang sudah biasa melakukan pelanggaran. Kejahatan lanjutan adalah akibat dari persoalan sebelumnya, yang membuat mereka minum.
Satu hal lagi, mereka sering pula minum minuman keras oplosan. Maaf, istilah ini sebenarnya kacau. Barang oplosan itu tidak bisa lagi disebut minuman keras, bahkan tidak bisa disebut minuman. Itu adalah ramuan racun. Mereka melakukan kejahatan setelah minum racun. Atau, kalaupun tidak melakukan kejahatan, mereka merusak badan sendiri, bahkan membunuh diri sendiri.
Makin konyol dan mengerikan, mereka mabuk dengan berbagai macam cara. Ada yang mabuk dengan minum obat batuk dalam takaran yang mengerikan. Ada pula yang mabuk lem. Lalu sekarang, mereka makin “kreatif” dengan minum air rebusan pembalut wanita.
Apa yang membuat mabuk pada pembalut wanita? Pembalut itu isinya serat, ditambah bahan penyerap. Dugaan saya bahan kimia dari bahan penyerap inilah yang bersifat memabukkan. Sekali lagi, sebenarnya itu bukan memabukkan tetapi mematikan.
Mabuk seperti ini sama sekali tidak boleh dikaitkan dengan minuman keras. Tidak ada hubungan. Ini adalah soal anak-anak sakit mental dan menjadi liar.
Anda tentu bertanya, siapa yang mengajari anak-anak itu sampai bisa begitu. Sadarilah bahwa itu adalah pertanyaan yang salah. Pertanyaan yang benar adalah siapa yang tidak mengajari mereka? Siapa yang lalai mendidik mereka, sehingga menjadi anak-anak liar yang kehilangan akal sehat sama sekali. Jawabannya jelas: orang tua dan guru mereka, serta masyarakat di sekitar mereka.
Soal ini penting untuk ditegaskan. Anak-anak mabuk, akar utama masalahnya bukan pada minuman keras, tapi pada pola asuh anak-anak itu. Pola asuh yang salah membuat mereka jadi anak-anak yang rusak dan merusak diri. Kalau sudah rusak begitu, mereka bisa mencari dan menemukan apa saja untuk merusak diri. Minuman keras hanyalah salah satu alat yang bisa mereka pakai. Biasanya minuman keras itu terlalu mahal bagi mereka. Mereka akan mencari cara-cara yang lebih murah seperti rebusan pembalut.
Jadi, sekali lagi solusinya bukan menjauhkan mereka dari bahan yang memabukkan. Mustahil kita bisa melakukan itu. Di sekeliling kita ada puluhan ribu bahan kimia yang bisa dipakai untuk mabuk. Kita tidak mungkin mengendalikan semuanya.
Solusinya adalah dengan menjadikan anak-anak itu tumbuh normal, sehat jiwa raga, dengan asuhan dan pendidikan yang benar. Anak-anak rusak itu umumnya tumbuh dalam keluarga yang tidak mengasuh dan mendidik anak dengan baik. Lalu sekolah juga tidak menjadi tempat pendidikan, hanya berfungsi sebagai tempat menghafal. Inilah masalah utama yang harus diselesaikan.
Remaja mabuk, kemudian melakukan kejahatan, yang disalahkan minuman keras. Padahal yang paling salah adalah orang tua dan guru mereka. Tapi terlalu panjang alur berpikir untuk sampai pada kesimpulan itu. Juga terlalu berat untuk mengakuinya sebagai kesalahan.
Maka orang lebih suka memilih jalan pintas, yang salah adalah minuman keras. Apalagi ada dalil agama yang bisa dipakai untuk menyalahkan minuman keras. Tentu saja ada lebih banyak dalil yang bisa dipakai untuk menyalahkan orang tua dan guru mereka. Tapi dengan alasan yang sama seperti yang saya ungkap di muka, dalil-dalil itu tidak dipakai.
Jepang adalah negara di mana minuman keras dengan mudah ditemukan di toko-toko kecil di pinggir jalan. Tapi kita tidak akan dengan mudah menemukan remaja teler di sana, kalau tidak bisa dikatakan tidak ada. Soalnya adalah, orang tua dan sekolah mendidik anak-anak dengan baik.
Persoalan keluarga di negara kita ini sangat besar, dan nyaris tidak pernah disentuh secara sistematis oleh negara. Orang-orang didorong untuk menikah. Tidak menikah adalah aib. Lalu setelah menikah, mereka didorong untuk punya anak. Tidak punya anak adalah cacat. Tapi orang-orang tidak didorong untuk terlebih dahulu belajar tentang cara mengasuh dan mendidik anak. Padahal mengasuh dan mendidik anak itu memerlukan sangat banyak pengetahuan.
Ini adalah soal perencanaan keluarga, keluarga berencana. Keluarga berencana adalah soal mempersiapkan orang-orang untuk membentuk keluarga yang baik, dengan sebuah perencanaan. Tapi apa yang kita pahami soal keluarga berencana? Pembatasan jumlah anak.
Jadi, soal remaja mabuk ini adalah soal melencengnya berbagai hal dari yang seharusnya. Ada soal besar dan rumit di situ, di mana negara seharusnya hadir membenahinya. Tapi kehadiran negara di situ hanya dalam skala sayup-sayup saja.