Tahun ini menjadi salah satu fase krusial untuk menyongsong pemilihan presiden pada tahun 2024 mendatang. Berbagai elemen, baik atas nama partai ataupun individu, tengah menjajaki berbagai macam strategi dan koalisi untuk memenangkan calon presiden dan wakil presiden dengan mantap.
Beberapa polemik juga mulai muncul. Kontra pandangan menjadi problem serius dalam merumuskan siapakah yang akan menjadi jago partai untuk pagelaran itu.
Berbagai manuver politik mulai mencuat ke permukaan publik. Yang paling kentara adalah mulai munculnya berbagai kelompok pendukung calon-calon yang dianggap paling layak menjadi calon presiden Indonesia kelak. Kelompok-kelompok itu menamai dirinya sebagai relawan.
Salah satu yang kian marak adalah relawan yang mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon presiden Indonesia. Relawan itu tersebar hampir di seluruh Indonesia dengan nama yang berbeda-beda, mulai dari Sahabat Ganjar, Relawan Ganjar Milenial Center (GMC), Srikandi Ganjar, Ganjarist, Ganjar Pranowo Mania, Orang Muda Ganjar, Relawan Mak Ganjar, dan lain sebagainnya.
Kemunculan berbagai relawan ini terjadi hampir secara serentak di tahun-tahun belakangan ini. Sekilas, fenomena itu menunjukan tingginya gairah publik terhadap Ganjar Pranowo.
Namun, hal itu juga tidak dapat dipisahkan dari menguatnya dukungan internal partai Ganjar –PDIP—terhadap Puan Maharani yang didapuk menjadi jago partai di pemilihan presiden mendatang.
Dapat dikatakan jika panen relawan oleh Ganjar ini menjadi alasan logis kuldesak yang dialami oleh PDIP di tengah pecahnya pendapat mengenai siapa calon yang akan diusung. Pada satu sisi Ganjar dinilai sangat potensial, akan tetapi pada lain sisi Puan memiliki hasrat yang besar untuk mengikuti jejak sang ibunda.
Kemunculan banyaknya relawan politik itu menjadi angin segar dalam prespektif demokrasi. Hal ini dapat menjadi indikasi meningkatnya angka partisipasi politik masyarakat. Selain itu, berbagai kegiatan yang dilakukan oleh relawan-relawan itu menunjukan adanya implikasi positif bagi masyarakat. Kegiatan itu beragam, mulai dari berbagi ratusan bahkan ribuan bantuan sembako, tanaman, voucher BBM, menggelar kegiatan kebudayaan, olahraga, kepemudaan dan lain sebagainnya. Namun, semua tidak melulu soal angka. Angin segar ini harus ditinjau lebih jauh, khususnya mengenai posisinya dalam praktik demokrasi Indonesia.
Relawan dan Kontradiksi Demokrasi
John Wilson, dalam artikelnya “The Effects of Volunteering on the Volunteer,” memaknai relawan sebagai seseorang yang berkontribusi membantu pihak lain tanpa memiliki ekspektasi untuk dibayar atau keuntungan material lain untuk dirinya sendiri. Ini artinya, banyaknya relawan yang muncul mendukung Ganjar terbentuk atas asas kesadaran penuh tanpa berharap mendapatkan apapun darinya.
Dalam khasanah budaya politik, kita bisa berasumsi jika seluruh relawan itu memang terbentuk untuk mendukung Ganjar dengan kesadaran penuh dan tanpa pamrih. Pun juga dapat berasumsi jika mereka tidak digerakan oleh hal itu, melainkan digerakan oleh sesuatu yang menawarkan hal yang menjanjikan, setidaknya bagi mereka yang tergabung ke dalamnya. Jikapun yang terakhir ini terbukti benar, tentu status relawan tidak tepat disematkan kepada mereka.
Syahdan, kegiatan mereka pun relatif besar. Artinya, diperlukan dana yang tidak sedikit. Ini membuat kita harus bertanya, bagiamana dana itu dihasilkan? Dalam aspek kerelawanan, sebagaimana diungkapkan Wilson, setiap kegiatan yang memerlukan biaya ditanggung oleh para relawan. Namun, dalam kondisi ekonomi nasional yang relatif sulit di tahun ini, tentu mendanai kegiatan mereka yang tergolong besar itu dengan kantong pribadi menjadi hal yang janggal dan patut dipertanyakan.
Berbagai pertanyaan itu memang menjadi hal yang lumrah mengingat belum adanya regulasi khusus yang mengatur tentang kerelawanan dalam tatanan politik Indonesia, utamanya perihal anggaran mereka. Ini berbeda dengan organisasi masyarakat (ormas) dan partai politik yang telah diregulasi, meskipun dalam praktiknya tidak seketat itu dan masih banyak menuai kritik publik.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting bagi kelompok yang mendaku sebagai relawan politik. Mau tidak mau, sadar tidak sadar, mereka memiliki kaitan erat dengan pemenangan kontestan pemilu. Bahkan, keberadaan mereka dapat dilihat sebagai salah satu strategi manuver politik untuk mengampanyekan jagoan mereka kepada masyarakat di berbagai wilayah. Artinya, jika transparansi dan akuntabilitas anggaran tidak diperhatikan, akan memungkinkan keberadaan relawan ini untuk dijadkan sebagai arena investasi oligarki atau para cukong politik.
Ini tentu akan menjadi angin buruk dalam demokrasi serta akan semakin memperpanjang riwayat klienteisme dalam praktik politik kita. Dengan begitu, kehadiran relawan ini hanya menjadi kendaraan politik para cukong untuk membantu jagonya menang dalam pemilu guna membangun hubungan transaksional yang menguntungkan bagi mereka. Artinya, alih-alih dibentuk dengan prinsip-prinisp orisinilnya, relawan politik justru dibentuk sebagai kedok guna menjadi media mobilisasi politik belaka.
Meskipun kita tidak dapat menyangkal adanya implikasi positif dalam kegiatan yang mereka lakukan untuk masyarakat sejauh ini, akan tetapi kita tidak boleh abai dengan konsekuensi yang akan terjadi dalam jangka panjang. Tidaklah adil hanya memandang sesuatu yang positif dalam jangka pendek tanpa mempertimbangkan implikasi negatif yang akan muncul dalam jangka panjang. Ya, meskipun hal itu sudah menjadi rahasia umum dan bahkan menjadi lumrah dilakukan dalam khasanah politik kita.
Akhirnya, fenomena semacam itu memang harus mendapatkan perhatian lebih bagi kita bersama secara serius. Ini adalah bagian dari upaya kita untuk mempersempit tumbuh dan berkembangnya berbagai mekanisme politik yang kelak akan semakin merugikan masyarakat, mulai dari semakin kokohnya oligarki, langgengnya budaya klienteisme, dan mengakarnya korupsi dalam gelanggang politik tanah air.