Tidak banyak peristiwa sehari-hari yang mampu memaksa saya melakukan perbincangan dengan diri saya sendiri. Hari ini adalah salah satunya.
Hari ini saya berangkat kerja dengan pikiran penuh. Ada banyak hal yang harus saya selesaikan. Semuanya minta dipikirkan. Belum lagi udara panas di luar. Enam bulan di tanah tropis belum membuat saya menyesuaikan diri. Saya berkeringat deras. Seperti mandi. Padahal beberapa menit sebelumnya saya sudah mandi.
Udara dingin menghantam ketika saya memasuki kereta. Dingin buatan. Dengan segera ia meminta kulit tubuh saya untuk menutup pori-porinya. Namun, saya terlanjur basah. Jika sudah begini, tidak ada yang saya lakukan kecuali mengelap terus menerus. Saya selalu membawa persediaan handuk kecil. Tidak jarang lebih dari dua.
Kereta penuh. Memang tidak berhimpit. Masih ada ruang bagi orang-orang untuk memisahkan diri. Sehingga tidak ada orang yang harus menempelkan badannya ke tubuh saya yang basah.
Pandangan saya tertumbuk pada kursi ujung. Kursi ini biasanya khusus peruntukkan untuk orang tua atau penyandang disabilitas. Dan, persis yang terakhir itulah yang saya jumpai.
Manusia yang sama sekali tidak sempurna. Dia berkacamata tebal. Wajahnya bengkok karena mengalami deformasi. Tubuhnya juga bengkok melawan bengkok wajahnya. Wajahnya yang bergerak ke kiri, tubuhnya membengkok ke kanan. Bibirnya selalu terbuka. Sesekali menetes liurnya ke bip yang dia pakai.
Dan, lihatlah kakinya. Sepasang kaki yang kurus seperti pensil. Kaki yang bengkok ke depan itu tentu tidak akan sanggup menyangga tubuh diatasnya. Alhasil, disanggalah sepasang kaki itu dengan rangka baja.
Usianya saya taksir tidak muda lagi. Beberapa rambutnya beruban. Mungkin dia berumur diatas 30an. Mungkin juga 40an.
Disebelahnya duduk seorang perempuan tua. Mungkin ibunya. Usianya jelas diatas 60an tahun. Ya, bisa jadi dia ibunya. Biarlah kita putuskan dia ibunya. Karena dalam aksioma hidup normal kecil kemungkinan orang bersuami lelaki seperti itu. Tapi mungkin juga. Siapa tahu, bukan?
Ibu itu dengan sabar mengusap setiap kali liur menetes dari mulut lelaki itu. Sebagian jatuh ke bip-nya. Sebagian meleler ke dagunya. Seperti saya, ibu itu pun membawa handuk kecil.
Kereta berhenti. Orang-orang bergegas keluar. Tidak terkecuali ibu dan anak itu. Ketika naik ke eskalator, entah mengapa ibu dan anak ini persis di depan saya.
Anak ini tertatih menaiki eskalator. Kakinya tidak terlalu bisa digerakkan. Dia didorong oleh ibunya supaya bisa hinggap di satu tangga yang akan membawanya ke atas.
Saya melihat ibunya membisikkan sesuatu. Entah apa yang dibisikan, yang saya lihat ibunya tersenyum dan memandang anaknya yang menatap melongo tanpa ekspresi. Tiba-tiba si ibu mencium pipinya.
Pemandangan ini menggetarkan saya. Hingga disini, saya tidak lagi memperhatikan mereka. Saya sibuk dengan pikiran saya sendiri. Saya bahkan tidak tahu kemana mereka pergi setelah ini.
Apakah yang membuat ibu ini sedemikian setia kepada anak ini? Saya membayangkan betapa rumit hidupnya. Anak ini tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tergantung sama sekali para perawatan ibunya. Jika saja dia berusia 30 tahun, maka selama 30 tahun ibu ini bersama dia. Bahkan dia sudah menjadi badannya yang kedua.
Loyalitas macam apakah ini? Saya pernah melihat induk ayam mematuki anaknya yang cacat hingga mati. Saya juga pernah melihat induk babi menginjak anaknya yang dilihatnya lemah dan tidak cukup susu untuk menghidupinya.
Sekali pun manusia memiliki moral yang membedakan dirinya dari binatang, namun kesetiaan sampai tuntas seperti ini toh sebuah keistimewaan. Memang tidak sedikit saya melihat orang-orang tua yang tetap merawat anaknya yang difabel. Saya juga pernah berjumpa dengan kawan yang memutuskan melahirkan anaknya yang difabel sekalipun dokter menyarankan untuk digugurkan.
Apakah yang membuat orang-orang ini mau mengabdikan dirinya kepada mahluk yang hanya akan menjadi beban pada dirinya? Tidak saja beban mental. Namun juga beban finansial dan sosial. Didalam masyarakat kita tidak sedikit orang merasa malu memiliki anggota keluarga difabel.
Mungkin inilah yang disebut dengan spiritualitas, demikian saya merenungkan. Mungkin spiritualitas itu sesungguhnya adalah kesetiaan kepada suatu tujuan, suatu prinsip, atau mungkin kesetiaan untuk hidup demi satu orang saja, sekalipun orang itu sama sekali tidak sempurna dan berbeda dari orang kebanyakan.
Saya tidak percaya pada spiritualitas New Age, yang memusatkan semuanya pada diri sendiri. Dalam New Age, orang mencari inner beauty, inner peace, dan semua inner-inner yang lain. Orang diuruh membuat ‘me time’ untuk mencari kedamaian. Semuanya adalah ‘me, me, and me.’
Untuk saya, spiritualitas adalah kesetiaan pada hal-hal yang ada di luar kita. Si ibu justru menemukan kebahagiannya dalam mengasuh anaknya yang tidak mampu melakukan apa-apa.
Saya pernah berbincang dengan sebuah keluarga yang satu dari empat anaknya menderita down syndrome. Saya masih ingat si ayah menerangkan kepada saya keputusan mereka mereka untuk tetap menghadirkan anak yang down syndrome ke dunia. Dan, keputusan itu mereka ambil bukan karena alasan relijius. Mereka atheis.
“Kami justru memelihara ikatan keluarga kami dengan memelihara anak kami yang down syndrome. Kami menjadikan dia sebagai pusat cinta di seluruh keluarga kami. Setiap orang berusaha menyediakan dunia yang lebih baik untuk dia.”
Anda tidak perlu beragama untuk memiliki spiritualitas. Dan, spiritualitas tidak sama dengan kesalehan. Anda mungkin sekali menjadi saleh, namun sama sekali tidak memiliki spiritualitas. ***
Secara khusus, saya ingin mengucapkan Selamat Idul Fitri kepada semua saudara, kawan, dan handai tolan saya yang Muslim. Semoga kita menciptakan dunia yang lebih baik untuk kita semua, khususnya untuk saudara-saudara yang kekurangan — baik kurang secara materi, kurang secara fisik dan emosional, dan kurang mendapatkan keadilan.