Islam secara konseptual adalah agama yang tunggal. Namun, dalam realitas, ia sangat beragam. Amin Abdullah menyebutnya dengan Islam normatif dan Islam historis. Normativitas agama adalah konsep-konsep agama dari Tuhan. Sedangkan historisitas agama adalah agama yang hidup dalam realitas manusia. Haidar Bagir menyebutnya dengan Islam Tuhan dan Islam manusia.
Islam manusia atau Islam historis ini hampir tidak mungkin untuk diseragamkan. Karena ia adalah manifestasi dari pemahaman manusia terhadap wahyu. Meskipun tetap ada beberapa hal yang menurut sebagian ulama adalah hal yang baku dan tidak boleh ada perbedaan pendapat, tetap saja perbedaan itu ada. Di wilayah inilah nanti banyak terjadi perebutan tafsir kebenaran.
Salah satu varian Islam yang cukup populer dewasa ini adalah Islam yang membebaskan, Islam sosial, Islam yang berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan. Bahasa kerennya Islam antroposentris.
Atau, agar tidak terjebak pada humanisme Barat, sebagian menyebut dengan teo-antroposentris. Islam model ini digadang-gadang oleh banyak sarjana muslim dapat menjadi solusi dari keterpurukan Islam dalam panggung peradaban dunia.
Sense of Humor dalam Islam
Beberapa tahun yang lalu, mulai populer terminologi ormas-ormas tertentu yang ditambahi dengan istilah “garis lucu”. Ada “HTI Garis Lucu”, “NU Garis Lucu”, “Muhammadiyah Garis Lucu”, bahkan “Kristen Garis Lucu”, dan seterusnya.
Sebenarnya, dapat dikatakan bahwa ini adalah fenomena munculnya varian baru dalam ekspresi keberagamaan dalam tataran realitas. Benar bahwa Islam memiliki sisi-sisi yang menekankan aspek sosial.
Benar pula bahwa Islam menekankan pentingnya ritus peribadatan. Namun, yang sering dilupakan adalah bahwa Islam juga memiliki konsep-konsep humor yang dalam konteks dan batas-batas tertentu akan memberikan berkontribusi bagi agama maupun peradaban.
Quraish Shihab dalam bukunya mengisahkan bahwa Nabi SAW pernah didatangi oleh seorang wanita yang meminta agar didoakan oleh Nabi supaya masuk surga. Nabi menanggapi permintaan itu dengan berkata: “di surga tidak ada orang tua.” Wanita itu kemudian secara spontan menangis. Lalu Nabi melanjutkan sabdanya: “di sana tidak ada orang tua, karena wanita-wanita akan beralih menjadi wanita-wanita cantik dan muda belia.”
Setelah itu Nabi membacakan surat Al-Waqiah ayat 35-37 yang menunjukkan bahwa penghuni surga akan menjadi muda kembali.
Pada saat yang lain, Nabi memerintahkan kepada para sahabat untuk pergi ke Quraizah. Dan Nabi meminta kepada mereka untuk tidak salat asar kecuali di Quraizah. Para sahabat ini kemudian pergi di siang hari. Sialnya, mereka belum sampai ke perkampungan Quraizah sementara waktu untuk salat ashar sudah tiba.
Mereka yang terbiasa salat di awal waktu pun bingung. Apakah harus salat di awal waktu sebagaimana biasanya, atau salat nanti saja ketika sudah sampai perkampungan Quraizah. Singkat cerita, mereka terbagi menjadi dua kelompok. Ada yang salat di jalan dengan mengawalkan waktu salat, ada yang salat di perkampungan Quraizah meskipun tidak di awal waktu.
Kira-kira apa respon nabi melihat sahabat-sahabatnya yang kebingungan dalam menafsirkan perintahnya ini? Tertawa. Ya, Nabi Muhammad yang mulia itu hanya tertawa. Bahwa Nabi kita itu sangat santai menghadapi perbedaan. Di sisi lain, ia juga memiliki sisi-sisi jenaka sebagaimana beberapa kiai yang hidup hari ini.
Barangkali benar bahwa Nabi adalah sosok panglima perang. Benar juga bahwa ia adalah pemimpin sekaligus pendiri negara Madinah. Namun, ia juga manusia dengan sisi-sisi humoris. Dimana hal itu sangat diperlukan dalam kondisi-kondisi tertentu. Mari kita lihat satu lagi kisah Nabi yang menarik yang ditulis oleh ulama yang juga bijak dan jenaka: Quraish Shihab.
Aisyah menceritakan bahwa suatu ketika Saudah –istri Nabi yang lain- datang berkunjung kepada Aisyah, dan saat itu Nabi juga sedang bersama Aisyah. Nabi duduk sambil meletakkan salah satu kakinya di pangkuan Aisyah dan satu lagi di pangkuan Saudah.
Aisyah kemudian mengajak Saudah untuk makan bersama, namun Saudah menolaknya. Aisyah bersikeras: “aku mendesaknya untuk makan, atau kalau ia enggan akan kukotori wajahnya dengan makanan itu.”
Saudah juga bersikeras untuk tidak mau makan. Akhirnya, Aisyah mengambil piring yang penuh makanan kemudian menempelkan makanan itu di wajah Saudah. Melihat kejadian itu, Nabi hanya tertawa, kemudian berkata kepada Saudah: “balaslah ia.” Saudah kemudian mengambil makanan yang ada di piring lain kemudian menempelkannya di wajah Aisyah. Nabi tertawa begitu riang melihat kejadian itu.
Mengelola Perbedaan
Betapa santainya Nabi dalam menghadapi perbedaan antara para sahabat. Misalnya Umar dengan karakter kerasnya, meminta agar para tahanan perang yang ditahan oleh Nabi langsung di bunuh saja. Sedangkan Abu Bakar mengusulkan agar tawanan perang ini dibebaskan, dengan harapan setelah itu mereka akan masuk Islam. Singkat cerita Nabi memilih usul Abu Bakar, kemudian Allah melalui wahyu mengatakan bahwa seharusnya Nabi memilih usul Umar.
Lantas, apakah dengan hal tersebut Umar dan Abu Bakar bermusuhan? Tidak. Tidak sebutir debu pun mereka bermusuhan. Dan perbedaan-perbedaan seperti inilah yang dapat dirawat dengan sangat baik oleh Nabi.
Bahwa perbedaan dalam tubuh umat Islam pasti akan selalu ada. Ada kelompok yang mewarisi karakteristik kerasnya Umar, ada yang mewarisi progresivitas Umar dalam menentukan hukum, ada yang mewarisi lemah lembutnya Abu Bakar, ada yang mewarisi kritisisme Abu Dzar Al-Ghifari, dan seterusnya. Maka, kita rindu dengan sosok jenaka yang mampu mengelola perbedaan dengan sangat baik dan santai.
Nabi tidak pernah mencela perbedaan yang ada, bahkan mengatakan pendapat yang berbeda adalah salah. Nabi memilih pendapat Abu Bakar tanpa menyalahkan Umar, bahkan kemudian Nabi mengakui bahwa ternyata pendapat Umar yang benar.