Belakangan ini, media sosial dipenuhi dengan curhatan Gen Z soal stres, overthinking, sampai quarter life crisis. Bukan cuma sesekali, tapi hampir setiap hari ada yang membahas soal kecemasan hidup, perasaan tidak cukup, atau ketakutan gagal. Banyak yang merasa terjebak dalam tekanan untuk “menjadi sukses” sebelum usia 25.
Tapi, kenapa generasi yang katanya paling melek teknologi dan kreatif ini justru merasa paling tersesat?
Salah satu penyebab utamanya adalah ekspektasi sosial yang makin tinggi. Di era digital seperti sekarang, hidup orang lain bisa dilihat hanya dengan scroll layar. Ada yang lulus cepat, ada yang sudah punya usaha sendiri, ada yang travelling ke luar negeri, dan itu semua bisa bikin orang lain merasa “tertunda”. Padahal, kenyataannya setiap orang punya jalan masing-masing.
Belum lagi tekanan dari keluarga atau lingkungan sekitar. Kalimat seperti “Kapan kerja tetap?”, “Sudah punya tabungan berapa?”, atau “Nanti nikah umur berapa?” bisa terdengar sederhana, tapi bagi banyak Gen Z, itu seperti bom waktu yang bikin panik.
Gen Z juga tumbuh di zaman yang serba cepat. Keputusan harus dibuat kilat, peluang datang dan pergi tanpa aba-aba, dan semuanya dituntut serba bisa. Tapi, tidak semua orang siap mental menghadapi ritme secepat itu. Banyak yang akhirnya merasa burnout, walau usia masih muda.
Lalu apa solusinya?
Mungkin bukan solusi instan, tapi langkah awalnya adalah menyadari bahwa perasaan ini valid. Tidak semua harus selesai di usia 25. Hidup bukan lomba. Membuka ruang diskusi dengan teman, mencari bantuan profesional, atau sekadar memberi jeda untuk diri sendiri bisa jadi bentuk keberanian.
Gen Z bukan generasi yang lemah. Justru, mereka sedang belajar bertahan di tengah dunia yang makin kompleks. Dan itu bukan hal mudah. Maka, kalau kamu merasa tersesat sekarang, kamu tidak sendirian. Banyak juga yang sedang mencari arah, sama seperti kamu.