“Hukum berhenti di depan pintu kamar atau pintu rumah.”
Rita Soebagio, ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) pernah berkata demikian usai Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak kriminalisasi LGBT dan hubungan di luar nikah (berikutnya ditulis sebagai ‘zina’—penulis) pada Desember 2017. Euis Sunarti, anggota AILA, juga menyatakan rasa kecewanya pada putusan itu. Menurutnya, kelebihan kapasitas di penjara Indonesia seharusnya tidak dibandingkan dengan bencana sosial dan moral yang terjadi.
Sebagai alumni Kriminologi yang belajar (bahkan meneliti) kondisi penjara, saat itu saya sampai lupa bernapas karena membaca pernyataan Euis. Tahukah ia bagaimana buruknya kondisi penjara di Indonesia saat ini? Tahukah ia bahwa penjara di Jakarta saja sudah kelebihan kapasitas hingga hampir 300 persen di tahun yang sama ia memberi pernyataan itu? Tahukah ia bahwa buruknya pemenuhan kebutuhan akan makan dan minum, sanitasi, dan yang mendasar lainnya sangat sulit di penjara? Tahukah ia karenanya banyak narapidana kabur, memberontak, bahkan bunuh diri? Atau ia tahu, tapi tidak peduli?
Sakit hati saya, sebenarnya sudah dimulai sejak menonton laporan langsung sidang usulan kriminalisasi LGBT dan zina beberapa bulan sebelumnya. Saya kecewa karena ternyata Indonesia tiba juga pada titik di mana sekelompok orang berkeyakinan penuh bahwa kelompok lain patut dipidana (beberapa berpikir hingga patut dibunuh) hanya karena perbedaan identitas.
Luka akan sakit hati itu kini tumbuh kembali karena adanya perdebatan tentang Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Saya berpihak pada RUU PKS karena menyadari isinya penting untuk melindungi korban dan orang-orang yang rentan terhadap kekerasan seksual, termasuk dalam konteks yang selama ini sulit tersentuh.
RUU PKS seperti harapan baru bagi Indonesia, meski saya tahu implementasinya pasti akan tetap sulit pun RUU PKS telah disahkan di kemudian hari. Pencabulan dan perkosaan yang jelas sudah tertulis sejak lama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) saja masih sering diabaikan atau dicari celah-celahnya, kok. Namun, itu tidak masalah. Selama advokasinya baik, saya percaya RUU PKS akan berakhir membawa kebaikan pula.
Saya heran, RUU PKS ini kenapa banyak yang menolak? Penolakannya selalu dengan alasan yang—bagi saya—kurang masuk akal pula. Mulai dari deduksi bahwa RUU PKS ini melindungi LGBT, zina, aborsi, prostitusi, hingga anggapan bahwa RUU PKS adalah upaya mengkriminalisasi suami yang meminta istri berhubungan badan saat ia tidak mood atau ibu yang ingin anaknya berkerudung. Tambahan lagi, RUU PKS dinilai kebarat-baratan dan tidak sesuai dengan norma agama (Islam pada khususnya) dan Pancasila.
Dr. Henri Shalahuddin, MIRKH dari Institute for the Study Islamic Though and Civilizations (INSISTS), menyimpulkan penolakannya pada RUU PKS karena menurutnya, dalam batasan tertentu, tidak berlebihan jika RUU PKS adalah parasit bagi ketahanan keluarga Indonesia. Argumen senada juga disampaikan oleh Fajri M. Muhammadin, dosen di Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Fajri menuturkan, para pro-RUU PKS cenderung mengkritik kalangan anti-RUU PKS ingin mencampuri urusan pribadi orang karena ingin melarang LGBT dan zina. Padahal, pro-RUU PKS pun ingin mencampuri urusan pribadi orang karena mau mengobok-obok institusi keluarga.
Sekali lagi, “keluarga” dijadikan suatu dalih. Sejak sekolah menengah, kita sudah diajari bahwa keluarga adalah agen sosial pertama dan utama bagi individu. Keluarga punya peran dan pengaruh paling besar dalam membangun konsep diri seorang individu—lebih kuat dari agen sosial lain seperti teman sebaya, sekolah, media massa, dan lain-lain. Keluargalah yang bertanggung jawab memelihara dan mengajarkan norma atau perilaku yang diterima dalam struktur keluarga dan masyarakat. Orang tua punya hak istimewa untuk “mengatur” seperti apa norma atau perilaku yang dapat diterima itu kepada anak.
Kalau menurutmu zina itu haram, ajarkanlah. Istri harus menurut pada suami, ajarkanlah. Kerudung itu wajib, ajarkanlah. Namun, jangan dipaksa. Saya memang belum berkeluarga dan mungkin tidak cocok mengatakan ini, tapi saya percaya—keluarga yang berbahagia, anggotanya saling tulus menghormati dan menyayangi, serta memiliki prinsip norma dan perilaku yang menenangkan hati dan mendamaikan hidup, tidak akan butuh RUU PKS. Sebab, tidak mungkin akan ada pemaksaan (atau bentuk kekerasan lainnya) dalam keluarga tersebut. Sederhana, bukan?
Kalau Rita bilang hukum berhenti di depan pintu kamar atau pintu rumah, saya ingin beliau tahu bahwa hukum berupaya mendobrak pintu apa pun bila di dalamnya ada yang minta pertolongan. Masyarakat juga memiliki peran untuk membunyikan tanda bahaya, yang tentunya tidak dengan melalui persekusi.
Henri dan Fajri juga mengatakan bahwa “kekerasan” dalam RUU PKS tidaklah tepat. Menurut Henri, istilah kekerasan seksual adalah istilah manipulatif dan penuh jebakan. Fajri menambahkan, dengan mengganti “kekerasan” menjadi “kejahatan”, maka RUU PKS akan harus menginkorporasi nilai agama dan moral sebagaimana amanah Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum. Perlu diketahui bahwa kekerasan dan kejahatan adalah betul dua hal yang berbeda meski keduanya sama-sama mampu merugikan secara fisik, psikis, atau materi.
Kekerasan belum tentu merupakan suatu kejahatan karena penelaahannya perlu disikapi bukan hanya secara etik, tapi juga emik. Lain dengan kejahatan, menanggulangi kekerasan tidak melulu berakhir pada pemidanaan (bisa konseling, mediasi, dan lain-lain). Sementara, kejahatan adalah sesuatu yang lebih konkret untuk “dihitung” karena secara spesifik telah diatur dalam KUHP. Ada baiknya, dorongan untuk memenjarakan orang ini dikurang-kurangi.
Saya setuju dengan kalimat Fajri yang mengatakan bahwa pada akhirnya, kita (pro- dan anti-RUU PKS) berada pada pertempuran antara dua konsep seksualitas yang berbeda, dan kita kembali pada diskursus yang ternyata sifatnya mendasar hingga epistemologinya. Memang benar, perdebatan ini selalu berujung pada agamisme melawan—sesuatu yang ditunjuk-tunjuk sebagai—sekularisme. Namun, saya pikir, alangkah baik bila kita sama-sama mempertimbangkan hal yang lebih penting dari keduanya: humanisme.