Kalau Anda tinggal di Amerika sejak 2015, tentu tahu simbol ini: MAGA (Make America Great Again). Itulah slogan kampanye Donald J. Trump. Dia menang Pilpres Amerika 2016 karena berjanji membawa Amerika jadi jaya lagi.
Slogan kampanye Trump ini diterjemahkan menjadi beberapa agenda. Dia berjanji menutup arus imigran, membawa kembali pekerjaan yang di-outsource keluar Amerika, menjadikan kembali Amerika negara dengan nilai-nilai Kristen, mengendurkan aturan yang mengekang penggunaan bahan bakar fosil, dan lain sebagainya.
Tentu tidak ada slogan tanpa ada pihak yang disasar, bukan? Trump menyasar segmen pemilih kulit putih, kelas pekerja, Kristen, yang tinggal di pedesaan dan kota-kota kecil.
Karena sistem pemilihan Amerika, yang menggunakan “electoral college”, dan bukan jumlah suara terbanyak (popular votes), Trump berhasil merebut kursi kepresidenan. Namun, dia kalah hampir 3 juta suara (popular votes) dari lawannya Hillary Clinton.
Sukses inilah yang tiba-tiba ditiru mentah-mentah dalam Pilpres di Indonesia tahun 2019 oleh kubu Prabowo Subianto. Saya tidak tahu siapa yang menasehati Prabowo ini. Pada tahun 2014, saya tahu dia memakai konsultan Republikan Amerika, Rob Allyn. Ketika itu, banyak inovasi politik Amerika diperkenalkan oleh Allyn. Dan, sebenarnya Prabowo hampir saja bisa mengalahkan Jokowi.
Apa yang Indonesia dari “Make Indonesia Great Again” itu?
Seorang kawan saya dengan cerdas menyingkatnya menjadi “Migrain”. Itu itu olok-olok yang mengena. Namun, ada problem yang serius di balik olok-olok tersebut.
Hal yang paling mendasar saja: bangsa Indonesia memakai bahasa Indonesia. Bukan bahasa Inggris. Jadi “Make Indonesia Great Again” benar-benar membikin sakit kepala (migrain) banyak rakyat Indonesia, yang sebagian besar adalah golongan kelas si Kromo, meminjam kosa kata politik tahun 1920an.
Saya benar-benar ingin tahu bagaimana orang di pedalaman Jambi sana mengucapkan “Make Indonesia Great Again”? Karena lidah Indonesia untuk mengucapkan kata Inggris “charge” saja dilafalkan menjadi … cas! Bisa dibayangkan empat kata bahasa Inggris! Apakah tidak membikin sakit kepala?
Yang kedua, di Amerika pemakaian MAGA memiliki referensi kultural, politik, dan ekonomi. Semua orang tahu bahwa kemakmuran yang dibayangkan adalah Amerika pertengahan abad 20. Amerika menang perang. Industri tumbuh. Kelas pekerja hidup cukup nyaman. Pekerja yang tergabung dalam serikat buruh bisa hidup sebagaimana layaknya kelas menengah. Namun kini, karena perubahan orientasi ekonomi, kelas inilah yang menjadi pihak yang kalah dalam pertarungan ekonomi. Inilah referensi kultural, politik, dan ekonomi dari MAGA.
Di Indonesia? Inilah lobang yang sangat besar, yang membikin migrain tambah parah.
Sandiaga Uno, pasangan Prabowo, secara tidak langsung pernah menunjuk bahwa referensi kultural yang dipakai adalah “kejayaan Majapahit dan Sriwijaya”.
Kejauhan, Bung! Tidak ada orang tahu persis seperti apa Majapahit dan Sriwijaya itu. Ingatan orang samar-samar. Orang tidak punya ide kemakmuran apa yang ditawarkan oleh kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha itu.
Apakah pada zaman itu orang makan tiga kali sehari? Apakah pada zaman itu orang bisa bepergian dari Yogyakarta ke Jakarta hanya dalam waktu sejam? Apakah zaman itu orang bisa bicara dengan bapak-ibunya di Bantul sementara dia ada di Surabaya?
Terus terang, satu-satunya referensi (yang sangat terdistorsi dan digosok mengkilat dengan mesin propaganda) adalah kemakmuran zaman Orde Baru. Golongan paling makmur saat itu hanya PNS dan ABRI. Kampanye Prabowo tentu tidak mau ke arah sini. Karena mereka tahu persis bahwa jumah pemuja Orde Baru—yang berimajinasi makmur itu—tidak begitu besar.
Dan kemudian ada politisi PKS yang mencoba menghubungkan ke-great-an (duh, susah banget omongnya) Indonesia itu dengan keberhasilan mendaki puncak Everest. Munculnya ide-ide yang bikin kepala tambah mumet karena “Migrain” itu sesungguhnya tidak punya referensi apa-apa dalam kepala pemilih Indonesia.
Alhasil, Migrain ini sesungguhnya gagal total sebelum dia kena Panadol. Dia adalah kampanye tanpa referensi apa pun.
Mengapa Prabowo tidak kampanye seperti Pilgub DKI 2016 saja? Mengapa dia tidak membangun kembali basis Islam modernis yang dia pakai menaikkan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno? Lebih terus terang: mengapa dia tidak memainkan kartu agamanya lagi yang terbukti telah berhasil itu?
Jokowi sudah memainkan kartu agama itu dengan Ma’ruf Amin. Namun, seperti Migrain-nya Prabowo, kartu ini pun sesungguhnya tidak cukup kuat. Massa yang disasar Jokowi tidak cukup solid. NU itu warna-warni. Dengan pesan yang tepat, sebagian NU bisa ditarik.
Dan kemudian isu ekonomi. Terus terang, argumen-argumen Prabowo sangat lemah. Argumen seperti: Apa guna jalan tol kalau mobil dan truk yang memakainya buatan asing semua? Maunya menghubungkan Migrain dengan isu anti-asing seperti ini? Tidak akan jalan. Dia bertinju dengan memukul lawan yang salah.
Mengapa tidak memakai yang lebih masuk akal: Untuk apa jalan tol karena orang tidak bermobil tidak bisa memakainya? Jalan tol mendiskriminasi pemakai sepeda motor, sepeda, dan kaum tunatransportasi. Tentu, seperti Trump mengeksploitasi delusi kelas buruh Amerika, Prabowo harus mengeksploitasi kelas di Indonesia. Mengapa tidak?
Prabowo-Sandi tidak pernah mendefinisikan pemilihnya. Jokowi pun sebenarnya tidak. Kalau mau sekalian menjadi populis seperti Trump, mengapa tidak terus terang saja mengangkat isu untuk kelas bawah, yang sebagian besar Muslim, yang sebagian besar keteteran ekonominya di tengah krisis ekonomi sekarang ini? Dan, ada kemungkinan ekonomi tidak akan membaik. Bagaimana kalau $1 menjadi Rp.20 ribu?
Jokowi bukan tidak bisa dikalahkan. Banyak faktor yang sebenarnya membuat dia lemah. Jokowi 2019 bukanlah Jokowi 2014. Jokowi 2019 adalah Jokowi yang politisi. Dia kehilangan semua keasliannya. Semua “kesederhanaan” yang ditonjolkan sekarang kelihatan sangat artifisial (dibikin-bikin).
Dan, para pemuja yang fanatik membuat Jokowi tidak bisa dikritik. Mereka membikin Jokowi hidup dalam gelembung (bubble). Sebagaimana orang yang hidup dalam gelembung, mereka hidup dalam realitasnya sendiri. Ini yang menutup mereka dari realitas sebenarnya.
Kesempatan bagi Prabowo dan Sandi untuk menunjukkan realitas itu. Namun, sayangnya mereka pun ada dalam gelembung yang sama.
Kemudian, Calon Wakil Presiden di kedua kubu ini sangat problematik. Walaupun sebenarnya Prabowo lebih punya peluang karena Sandiaga Uno jauh lebih marketable ketimbang Ma’ruf Amin. Satu-satunya cacat besar Sandiaga Uno adalah karena dia adalah seorang venture capitalist yang sering diplesetkan menjadi vulture capitalist. Namun, mudah untuk mengubah image ini menjadi kekuatan.
Ma’rif Amin adalah figur konservatif, tua. Dia wakil otoritas. Dia wakil kekakuan. Dia wakil dogma. Dia bisanya menentukan mana yang harus dan mana yang tidak.
Sementara daya tarik Jokowi ada kesantaian, informalitas, dan fleksibilitas, sekalipun sekarang ini sudah menjadi sangat artifisial. Sulit menyatukan keduanya. Namun, perhitungan politik pragmatis menyatukan mereka. Sekalipun, menurut saya, kalkulasi ini kemungkinan besar akan salah.
Kalau pemilihan ditentukan oleh ekonomi, Jokowi akan keteteran. Seberapa besar pun usahanya memoles citra ekonomi, lobang-lobangnya terasa karena langsung menembus dompet pemilih.
Kembali ke Migrain. Saya kira ini peniruan yang wagu (aneh). Kalau Prabowo-Sandi serius mau menjadi Presiden dan Wakil Presiden, mereka harus banting setir dan mencari definisi baru yang hendak mereka tawarkan kepada pemilih Indonesia.
Sedangkan untuk Jokowi. Di balik semua citra bahwa dia sekarang bertarung tanpa lawan, penilaian saya cuman satu: be careful of what you stand for. Jokowi 2019 persis SBY 2009. Politisi yang tidak punya jangkar dan cermat mengikuti ke mana angin berhembus.
Dan, kelakukan pendukung-pendukungnya pun sama belaka. Kita tahu bagaimana akhirnya, kan? Di periode kedua, semua pendukung-pendukung ini tahu pesta akan berakhir. Mereka berlomba memasukkan makanan untuk dibawa pulang. Sebagian bahkan membawa sendok, garpu, kursi, dan meja. Padahal, pada 2009, mereka adalah orang-orang dengan citra moncer: mantan aktivis, akademisi, dan berbagai profesi mulia lainnya.
Mungkin pilihan di 2019 ini tidak ada yang bagus. Namun menarik dilihat karena akan mempengaruhi bagaimana Indonesia akan diperintah.
NB: Saya tidak menjadi konsultan politik dari kubu mana pun. Tidak dibayar oleh siapa pun untuk menulis pendapat ini.