Ketika melihat pidato capres Prabowo Subianto tentang hotel-hotel di Jakarta, saya merasa sesuatu yang sangat familiar. Berbeda dari banyak orang yang menganggap Prabowo mengejek orang Boyolali, yang tidak pernah menginjak hotel-hotel mewah di Jakarta, saya merasa pidato ini punya unsur yang lain.
Sikap badan, intonasi, dan cara penyampaian pidato Prabowo ini sangat mirip dengan Donald J. Trump, yang sekarang jadi presiden Amerika Serikat. Saya terkesima. Rupanya orang ini sangat serius meniru Trump.
Awalnya slogan Make Indonesia Great Again, yang dengan cerdas disingkat oleh kawan saya menjadi “Migrain”. Kini soal pidato.
Salah satu ciri khas Donald Trump adalah kemampuannya mengejek lawan-lawannya. Itu disampaikan dengan cara yang sangat ‘entertaining’. Untuk para pengikutnya, tentu saja.
Cara Prabowo pun tidak jauh berbeda sebenarnya. Para pendukung Jokowi (dan mungkin beberapa orang Boyolali) mungkin akan menghubungkan pidato ini sebagai ejekan terhadap orang kecil. Boyolali menjadi simbol kaum kecil, miskin, dan kere.
Namun, apakah demikian bagi pendukung Prabowo sendiri? Saya tidak yakin. Dalam konteks pemilihan presiden, tahap kampanye saat ini adalah tahap menarik perhatian.
Donald Trump sudah membuktikan, semakin kontroversial ucapannya semakin besar kemampuan untuk menarik perhatian. Dia pernah mengatakan, kalau dia menembak orang di Fifth Avenue, dia yakin tidak akan kehilangan satu pun pemilih.
Media-media arus utama dan kaum liberal ribut. Mereka sibuk mengecam, membincangkan, memaki sana-sini, membuat même, dan bahkan berdemo. Hasilnya? Trump makin populer dan menang.
Bagi Donald Trump, semakin kontroversial pernyataannya, semakin menarik perhatian, semakin meyakinkan pendukungnya bahwa dia adalah presiden yang tegas; yang tidak peduli; yang otentik (sekalipun otentisitas yang dibuat-buat); dan yang berani.
Hal seperti ini tidak hanya berlaku di Amerika saja. Beberapa bulan sebelum Trump, Rodrigo Duterte terpilih menjadi presiden Filipina. Di negara mayoritas Katolik ini, Duterte berani mengatakan Sri Paus adalah ‘anak lonte’ (son of the whore). Dia juga bilang Tuhan itu ‘bodoh.’
Yang terakhir, Jair Bolsonaro terpilih menjadi presiden Brasil, juga dengan pernyataan-pernyataan yang sangat kontroversial. Pernyataan dia soal LGBT, perempuan, perkosaan, penyiksaan, sangat menusuk. Dan dia menang.
Persamaan dari semua politisi ini adalah mereka sangat kanan, sangat pro-bisnis, tapi didukung oleh sebagian besar kelas pekerja, didukung oleh para pemeluk agama yang taat sekalipun pandangannya sangat bertentangan dengan ajaran agama, tidak peduli dengan hal-hal seperti HAM (Duterte menembak mati ribuan orang tanpa pengadilan), tidak mengindahkan sopan-santun, sangat macho, dan kelihatan berani.
Prabowo Subianto berusaha tampil seperti Donald Trump. Tampaknya, dia berusaha menjadi epigon yang tidak tanggung-tanggung. Beberapa ‘playbooks’ (pedoman) dari Trump dan orang-orang kanan tampaknya dipelajari dengan baik oleh Tim Prabowo.
Saya tidak tahu pasti bagaimana keadaan di dalam Tim Prabowo. Tapi dari beberapa yang muncul ke permukaan, mereka tampaknya serius untuk menerapkan strategi ini.
Saya tidak terlalu heran kalau isu LGBT nanti akan menjadi isu kampanye yang besar. Dalam playbook kaum kanan, ini adalah salah satu isu yang mampu menyatukan pemilih. Tidak peduli bahwa anggota keluarga Prabowo ada juga yang gay.
Semua ini ditujukan untuk menimbulkan ‘the sense of crisis’ atau perasaan krisis. Jika dihadapkan pada isu LGBT, orang-orang yang tidak punya pengetahuan tentang LGBT akan tiba-tiba merasa bahwa masyarakatnya, komunitasnya, atau keluarganya terancam.
Memang menyedihkan karena korbannya adalah orang-orang minoritas yang tidak berdaya untuk melawan. Namun, di mana-mana politik tidak punya moral.
Usaha untuk menimbulkan perasaan krisis ini sudah dicoba di banyak front. Tempe setipis ATM? Nasi ayam Singapore lebih murah daripada di Indonesia? … Termasuk, kaum Boyolali yang tidak akan mampu menginjak hotel-hotel mewah di Jakarta.
Selain itu, berita Sandiaga Uno pergi ke pasar-pasar bertaburan di media. Selain kritik-kritiknya tentang ekonomi, yang lebih ramai dibahas adalah tingkah lakunya yang konyol. Sulit untuk mengatakan bahwa itu tanpa tujuan.
Pendukung Jokowi, seperti kaum liberal dan pendukung Hillary Clinton di Amerika, sibuk mengejek, membikin même, dan menertawakan. Namun, bagi kubu sebelah dan mungkin juga bagi pemilih biasa, tingkah ini lucu dan akrab. Seakrab Jokowi dulu blusukan.
Apakah playbook ini akan berhasil? Sampai tahap ini, sulit untuk menentukan. Namun, saya melihat Tim Jokowi mulai reaktif terhadapnya. Untuk menepis kritik, Jokowi sidak ke pasar. Dia mencoba membangun daya magis-nya yang pernah dipunyainya tahun 2014 yang kini sudah aus dan usang.
Jokowi belum dihadapkan dengan isu-isu yang lebih keras. LGBT (dan isu klasik: PKI) bisa menjadi isu yang sangat keras. Saya perlu mengulangi ini karena ini sangat penting dalam playbook kaum kanan.
Reaksi Tim Jokowi bisa ditunggu. Dia punya dua pilihan. Pertama, mengikuti playbook kaum kanan dan mengganyang LGBT. Kedua, menerima LGBT dan tegas berdiri disamping minoritas lemah ini (alangkah bagusnya jika cawapres juga ikut mendukung secara tulus) dan mendidik masyarakat untuk menerima perbedaan.
Saya menduga, dia akan mengambil jalan pertama. Bahkan mungkin lebih galak dan lebih ke kanan. Kita sudah melihat reaksi Jokowi berhadapan dengan isu PKI. Alih-alih memberikan apa yang benar secara politik dan memperbesar lingkar pemilih dan secara kreatif mendudukkan sejarah kelam ini secara proporsional, dia bergerak ke kanan.
Dalam banyak hal, serangan balik dari Jokowi terhadap serangan dari kanan adalah dengan menjadi lebih kanan. Yang tidak disadari adalah bahwa ini adalah jebakan yang memang ditunggu-tunggu. Banyak politisi moderat di dunia masa kini yang terjebak dalam pola ini dan kalah. Kita sudah melihatnya di Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika.
Akan halnya Prabowo, kita tunggu saja seberapa jauh dia akan berhasil menjadi “Little Trump of Indonesia” alias Trump kecil dari Indonesia.