Seorang kawan mengirim cuplikan video pertemuan Ustaz Abdul Somad dengan Prabowo Subianto melalui pesan WhatsApp kepada saya. Meskipun sudah melihat video sejenis di Twitter, saya tetap melihat kirimannya. Bahkan saya mengulangi sampai tiga kali tepat pada adegan Prabowo meneteskan air mata.
Saya tak menyangka mantan Danjen Kopassus yang pernah memimpin pasukan untuk membunuh ratusan atau ribuan Fretilin di Timor Timur, takluk dalam sekejap karena mendapat tasbih, minyak wangi, dan dawuh dari seorang ustaz. Saya yakin Xanana Gusmao nyesek melihatnya.
Namun, sudahlah. Timor Timur sudah merdeka sekarang dan menjadi tetangga baik Indonesia. Banyak anak-anak dari negara itu bersekolah di sini. Beberapa menjadi kawan sekampus saya dan terjamin nasibnya sebagai abdi negara ketika balik ke negaranya. Tidak seperti sarjana asli negeri ini dalam video viral yang mengeluh kepada Jokowi karena sempitnya lapangan pekerjaan.
Kembali ke kawan saya. Ia mengirim pesan lagi beberapa saat setelah mengirim video itu. “Udah ditonton videonya, San? Yakin masih mau golput? UAS loh ini yang dukung. Beliau itu khawas,” katanya. “Insyaallah masih tetap golput,” kata saya.
Selanjutnya, ia mengatakan dukungan Abdus Somad membuktikan Prabowo benar-benar tulus memperjuangkan umat Islam dan kepentingan Islam. “Enggak bisa dibantah lagi ini, San. Insyaallah umat Islam akan menang. Indonesia bersyariah semakin nyata,” katanya.
Sebenarnya, tanpa harus menegaskan semacam itu, saya memang sama sekali tak berniat membantahnya. Toh, apa pun yang saya katakan tak akan mengubah pandangannya. Pendukung capres sama teguhnya dengan orang yang sedang jatuh cinta dan sama-sama rentan kecewa.
Untuk itulah, saya lebih memilih mendoakannya tak kecewa apabila keyakinannya tentang Prabowo salah di kemudian hari. Karena, menurut saya, bibit itu memang ada.
Prabowo Tak Pernah Jadi Islamis
Sepanjang karier politiknya, Prabowo tidak pernah menempatkan dirinya sebagai kelompok Islam. Ia selalu mengaku sebagai seorang nasionalis sejak dalam pikiran dan perbuatan. Narasi-narasi pidatonya selalu mengedepankan persatuan nasional, kekuatan nasional, keutuhan NKRI, kejayaan Indonesia, yang menurutnya semua itu lebih penting dari kepentingan kelompok atau agama.
Dalam membangun citra, ia pun lebih suka menyamakan dirinya dengan Soekarno, alih-alih tokoh Islam seperti M. Natsir yang pernah bekerja sama dengan bapaknya, Soemitro Djojohadikusumo, dalam gerakan PRRI/Permesta pada masa Orde Lama. Gerindra, partai yang didirikannya pun berhaluan nasionalis, seperti halnya PDIP. Bukan Islam layaknya PPP dan PKS atau nasionalis-religius seperti PKB, PAN, Demokrat dan Nasdem.
Maka, tak heran saat awal kemunculannya di kancah politik nasional pada 2009, Prabowo langsung berkoalisi dengan Megawati Soekarno Putri. Mereka berpasangan sebagai capres-cawapres dan akhirnya kalah melawan petahana: Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Koalisi Gerindra-PDIP bahkan sempat disebut akan berlangsung terus di pemilu-pemilu setelahnya.
Komitmen kedua partai memang benar terbukti pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Mereka berkoalisi mengusung Jokowi-Ahok dan sukses mengalahkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli sebagai petahana yang didukung partai-partai Islam (PBB, PKNU, PMB) dan partai nasionalis-religius (Demokrat, PKB, PAN). Begitupun menyingkirkan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini yang diusung PKS.
Saat PDIP tak lagi berkoalisi dengan Gerindra di Pilpres 2014, Prabowo tak berhenti menjadi seorang nasionalis. Dukungan seluruh partai Islam kepadanya, tak mengubah haluan politiknya. Justru, narasi nasionalisnya kian mendapatkan tempat karena bisa membuat kelompok nasionalis dan Islam berada dalam satu koalisi yang dinamakan Koalisi Merah Putih (KMP). Hanya saja nasib baik belum berpihak padanya. Ia kalah dari Jokowi.
Memimpin partai oposisi dengan kursi terbanyak di parlemen, Prabowo sebenarnya tak terlalu vokal mengkritisi pemerintahan Jokowi. Dua tahun awal pemerintahan Jokowi, ia lebih banyak menyepi. Manuver Gerindra di parlemen, pun lebih banyak terkait gejolak perubahan kepemimpinan DPR yang mesti 3 kali ganti ketua dalam satu periode. Kalaupun mereka bersuara mengenai persoalan lain, itu pun menyangkut ekonomi dan isu korupsi. Bukan isu-isu yang bersinggungan dengan kepentingan kelompok Islam.
Saat Aksi 212 yang menuntut Ahok dipenjara terjadi dan disebut sebagai titik tolak populisme Islam di Indonesia, Prabowo tak hadir dan tak banyak bicara soal itu, meskipun sejumlah elite partainya, seperti Fadli Zon turut hadir. Saat Anies-Sandiaga memenangi Pilgub DKI Jakarta 2017 yang besar dipengaruhi sentimen keislaman, Prabowo dalam pidato menyambut kemenangan mereka di DPP Gerindra tak mengucapkannya sebagai kemenangan umat Islam, tapi kemenangan demokrasi. Tak ada pula Prabowo menyebutkan kepemimpinan Anies-Sandiaga akan membuat Jakarta bersyariah yang menjadi aspirasi kelompok Islam pendukung pasangan tersebut seperti FPI.
Dan, memang sampai saat ini, Jakarta tetap tak mempraktikkan hukum syariah seperti Aceh. Apakah itu artinya sejak awal Anies-Sandiaga tak pernah bermaksud menerima aspirasi FPI dan konco-konconya? Atau FPI dan konco-konconya yang terlalu polos mempercayai Anies-Sandiaga bakal memenuhi aspirasi mereka? Wallahua’lam.
Lanjut soal Prabowo. Keteguhan sikapnya sebagai nasionalis sangat terlihat ketika ia menolak hasil Ijtima Ulama GNPF-Ulama yang merekomendasikan Ketua Dewan Syuro PKS, Salim Seggaf al-Jufri dan Abdul Somad sebagai wakilnya dan malah memilih Sandiaga Uno. Sehingga, GNPF-Ulama sampai merasa perlu melakukan Ijtima Ulama II demi tetap menarik umat Islam yang mulai bergeser ke Jokowi yang menggandeng KH Ma’ruf Amin sebagai cawapres.
Dalam pakta integritas Ijtima Ulama II yang disepakati Prabowo, sama sekali tak ada poin membuat Indonesia bersyariah.
Memang ada poin apabila Prabowo terpilih harus mendengarkan nasihat ulama, tapi bukan berarti ia lebih mementingkan kepentingan umat Islam ketimbang Jokowi. Malahan, posisi KH Ma’ruf sebagai cawapres lebih memastikan negara ini dipimpin ulama apabila Jokowi menang. Poin memastikan Rizieq Shihab pulang sama tak bisa diartikan keberpihakan Prabowo pada umat Islam dan berniat menjadikan Indonesia bersyariah. Melainkan, ia hanya berpihak pada Rizieq. Sedangkan, Rizieq tak bisa disamakan dengan Islam.
Prabowo memang akhirnya hadir dalam reuni 212, tahun lalu. Namun, pidatonya dalam kesempatan itu tetap tak menyatakan siap berpihak pada Islam dan tak menjanjikan Indonesia bersyariah. Ia hanya mensyukuri Islam di Indonesia adalah Islam yang damai, mempersatukan dan bersatu.
Pidato kampanye Prabowo di GBK pada Minggu lalu, sama. Ia lebih banyak menyampaikan visi-misinya terkait pemberantasan korupsi, kesetaraan hukum, dan penguatan ekonomi. Narasi kepentingan Islam justru datang dari pernyataan Rizieq Shihab melalui video yang diputar saat itu. Itupun Prabowo sudah pulang saat video mulai diputar.
Sandiaga Sama Saja
Sandiaga juga tak pernah menunjukkan berhaluan politik Islam. Ia mengawali karier politiknya dengan masuk Gerindra yang berhaluan nasionalis. Citra dirinya pun dibangun dalam kerangka sosok muda, nasionalis dan pengusaha sukses. Satu-satunya persinggungannya dengan Islam adalah posisinya di Himpunan Pengusaha Muslim Indonesia (HIPMI).
Akan tetapi, HIPMI tak bisa dikatakan mewakili kepentingan Islam tapi kepentingan para pengusaha di era Orde Baru guna bersaing dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa yang saat itu memiliki ruang lebih besar dalam sistem oligarki rezim. HIPMI akhirnya bisa mendapat ruang karena pada awal kemunculannya berbarengan dengan langkah Islam politik Orde Baru.
Manuver HIPMI di masa Orde Baru berbuah setelah reformasi. Anggota-anggotanya menjadi penguasa ekonomi dan politik di Indonesia. Seperti Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Sandiaga bisa dikatakan hanya meneruskan langkah keduanya.
Sepanjang masa kampanye, Sandiaga sama saja dengan Prabowo. Tak sekalipun ia menyatakan akan memperjuangkan kelompok Islam ketika jadi, apalagi menjanjikan membuat Indonesia bersyariah. Janji-janjinya adalah seputar peningkatan ekonomi, perbaikan gizi, dan hal-hal lain yang tak lepas dari koridor visi-misinya.
Baiklah, Sandiaga pernah bilang soal wisata halal dan kerap menampilkan praktik ibadah. Tapi semua itu tak bisa diartikan ia sedang memperjuangkan kepentingan umat Islam dan berusaha mewujudkan Indonesia bersyariah.
Wisata halal saat ini telah menjadi tren dan memiliki pasar yang besar. Sebagai pengusaha, Sandiaga paham soal itu. Sehingga, pernyataannya lebih bisa dipahami sebagai kepentingannya di dunia bisnis, ketimbang memperjuangkan Indonesia bersyariah.
Sedangkan, praktik ibadah adalah hal lumrah bagi setiap muslim. Justru aneh jika Sandiaga mengaku beragama Islam tapi tidak salat, puasa dan sebagainya. Sehingga, tak bisa mengatakan hal itu perwujudan ideologi politiknya.
Lagipula, mewujudkan Indonesia bersyariah apalagi merestui pendirian khilafah, berpotensi merugikan bisnis Sandiaga. Ia masih tercatat sebagai pemegang saham di Saratoga yang membawahi sejumlah perusahaan, termasuk Adaro yang bergerak di bidang pertambangan dan sedikit atau banyak berkontribusi bagi kerusakan lingkungan.
Tentu saja apabila Indonesia bersyariah terwujud, maka mau tak mau tuntunan Islam yang mewajibkan menjaga lingkungan harus ditegakkan pula. Artinya, perusahaan-perusahaan yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan harus ditutup. Relakah Sandiaga menutup perusahaannya sendiri? Saya kira tidak.
Pengaruh Partai Nasionalis Lebih Besar dari Partai Islam di Koalisi Prabowo-Sandiaga
Ditilik dari partai pengusung Prabowo-Sandiaga, kemenangan kelompok Islam dan terwujudnya Indonesia bersyariah pun susah.
Gerindra jelas tak pernah punya misi mewujudkan Indonesia bersyariah dari jurusan apapun. Demokrat sebagai partai pengusung Prabowo-Sandiaga nomor dua pun sama. Surat SBY yang berisi kritik kampanye di GBK sudah terang menjelaskan itu. Sementara, jelas SBY lebih memiliki pengaruh ketimbang pimpinan partai lain di mata Prabowo-Sandiaga. PAN beririsan dengan Muhammadiyah yang jelas pandangan keislamannya moderat dan tetap menghendaki NKRI seperti saat ini. Tersisa PKS sebagai partai berhaluan Islam yang mungkin mewujudkannya, sehingga mudah dipahami Rizieq Shihab menyatakan berharap pada partai ini.
Akan tetapi, mengacu kepada hasil survei Litbang Kompas periode 22 Februari-5 Maret 2019, elektabilitas tertinggi di koalisi ini dimiliki Gerindra dan Demokrat, bukan PKS. Gerindra sebesar 17 persen, Demokrat sebesar 4,6 persen, PKS sebesar 4,5 persen, dan PAN malah di bawah ambang batas parlemen sebesar 2,9 persen.
Artinya, kader Gerindra dan Demokrat akan lebih banyak di parlemen ketimbang PKS. Sedangkan, untuk mewujudkan Indonesia bersyariah butuh suara mayoritas di parlemen. Karena penggodokan Undang-undang berada di parlemen. Memang ada Perpres dan Keppres, tapi dalam struktur hukum Indonesia kedudukannya di bawah Undang-undang.
Sementara, masih mengacu pada hasil survei Kompas, partai lain yang diprediksi berada bersama Gerindra dan Demokrat di lima besar adalah partai-partai nasionalis dan nasionalis-religius, yakni PDIP, Golkar dan PKB. Tidak ada tanda-tanda tiga partai tersebut mau mewujudkan Indonesia bersyariah.
Pendeknya, tak ada peluang secara konstitusional untuk mewujudkan Indonesia bersyariah. Kecuali secara tegas mengubah sistem menjadi khilafah. Tapi, artinya itu menyalahi konstitusi dan berarti makar. Berpeluang memunculkan konflik berdarah-darah seperti di Timur Tengah. Saya pikir Prabowo dan Sandiaga tak akan mengambil risiko sebesar itu. Kerusuhan lebih merugikan posisi bisnis dan kuasa politik mereka.
Dari semua hal di atas, bisa saya katakan keyakinan kawan saya bahwa kemenangan pasangan tersebut berarti kemenangan umat Islam serta pintu terwujudnya Indonesia bersyariah, hanyalah asumsi di pikirannya sendiri. Asumsi dari harapan yang sudah lama tumbuh lalu tersentuh lewat permainan politik identitas Prabowo-Sandiaga selama masa kampanye.
Bejo bagi Prabowo-Sandiaga. Karena orang-orang yang berasumsi seperti kawan saya banyak sekali: Alumni 212, emak-emak Pepes, FPI, GNPF-Ulama dan lain-lain. Semua militan di darat dan media sosial mengampanyekan mereka. Membuat kemenangan tak sukar lagi diraih.
Pertanyaannya, sudah siapkah kawan saya dan orang-orang sejenisnya kecewa di kemudian hari karena jasanya tak terbalas? Semoga saja sudah siap.
Ah, tapi seharusnya saya memang tak perlu menyemogakan apapun bagi mereka. Kan dunia ini hanya laibun wa lahwun. Permainan dan canda tawa. Mereka pastinya sedang bermain dan bercanda tawa.