Saya percaya kebanyakan orang masuk ke panggung politik untuk alasan yang belum tentu benar. Itu karena sistem politik dan ketentuan partai politik yang kita gunakan untuk memilih mereka—dengan cara-cara yang tidak benar—akhirnya merusak tujuan sebenarnya: become a public servant. Tidak heran, jika dari pemilu kita masih menghasilkan politisi rongsokan. Singkatnya, untuk memenangkan perhelatan pemilu, mereka mau tidak mau melakukan cara-cara kampanye yang tidak sepatutnya.
Untuk mencapai puncak kekuasaan, mereka tidak segan-segan memainkan sentimen politik identitas untuk menarik simpati pemilih tradisional, seperti memainkan kartu: ras, suku dan agama—tentu saja dengan bumbu-bumbu permusuhan dan kebencian di dalamnya.
Mereka melabeli semua orang yang tidak sejalan dengan garis ideologinya dengan berbagai jenis tuduhan-tuduhan negatif yang merujuk pribadi orang lain. Ditambah lagi, dengan kampanye politik sarat bahasa kasar (cruse word) yang kerap kali digunakan dalam wacana publik. Arteria Dahlan adalah salah satunya. Ini menjadi salah satu jenis yang terburuk dalam politik kita—dan politisi kita masih memeliharanya.
Sementara politik semakin panas, politisi melanjutkan pertarungan “gagasan” di media massa dan kemudian merembes ke media sosial. Twitwar antara politisi dengan politisi, sipil dengan politisi, atau bahkan buzzer dengan politisi. Sekarang, kita bisa menyaksikan politisi hanya bertarung demi pertempuran, pertempuran dan pertempuran, tanpa tahu rasa malu. Seperti tak pernah mengenal lelah.
Bahkan, jika tidak setuju dengan sesuatu, mereka bisa dengan sangat mudah melakukan perlawanan, baik lisan ataupun tulisan, baik cacian maupun makian. Untuk menyelamatkan jabatan dan kepentingannya, sebagian politisi bahkan ada yang berpura-pura setuju untuk menunjukkan bahwa mereka berbeda dari yang lain—sebagai bentuk kepedulian kepada publik.
Kualitas pendidikan politik dan politisi kita telah menurun secara drastis dan semuanya tidak selaras dengan kenyataan bangsa ini. Faktanya, baru sehari dilantik, separuh anggota DPR yang baru kemarin sudah absen di sidang paripurna. Mau jadi apa bangsa ini kalau kualitas wakil rakyatnya begitu? Ini menunjukkan bahwa DPR tidak serius mengemban tugas yang dulu didengung-dengungkan pada saat kampanye.
Bukankah mereka yang akan menentukan hajat hidup orang banyak dengan membuat produk atau kebijakan prorakyat? Maka, tidak salah banyak produk yang dibuat berbenturan dengan nurani rakyat. Tentu publik berharap supaya—meskipun saya tidak terlalu optimis—DPR baru ini semakin baik, bukan malah tambah merosot. Bila tambah merosot mungkin aksi turun ke jalan seperti tempo hari bisa terulang kembali.
Celakanya lagi, para pendahulu mereka banyak pula yang bermasalah. Sebagian besar dari mereka terjerat korupsi, tidak tertarik pada politik yang serius dan kurang memahami masalah-masalah rumit yang dihadapi publik sekarang ini. Ada politisi yang bekerja hanya untuk memperkaya diri mereka sendiri; ada yang memiliki catatan kriminal dan menggunakan uang untuk membeli tiket masuk partai dan menyuap pemilih dalam pemilu.
Sebelumnya, partai politik mempekerjakan para politisi untuk menambah kekuatan partai mereka, sekarang politisi menyewa partai politik untuk memoles citra mereka. Tidak heran bila perwakilan yang terpilih di pemerintahan memiliki catatan buruk dan cacat serius. Itu karena kekuasaan sangat terkonsentrasi di tangan mereka, mereka dapat secara mudah berganti jabatan politik, dari jabatan eksekutif ke legislatif, dari jabatan legislatif ke eksekutif, sehingga perwakilan terpilih menjadi tidak responsif dan tidak bertanggung jawab.
Banyak politisi saat ini secara mengejutkan sangat sedikit mendapat informasi yang cukup jelas karena tingkat diskusi mereka amat menyedihkan. Akhirnya justru mereka produsen pertama atau kedua yang menyebarkan kabar bohong ke publik. Informasi yang tidak jelas sumbernya dihembuskan tanpa rasa bersalah, kemudian mengundang polemik dan kontroversi. Bahkan, di parlemen, kita jarang melihat diskusi yang bermanfaat yang melibatkan publik.
Masalah lain, anggota DPR yang baru selesai masa jabatan beberapa minggu lalu justru meninggalkan tugas-tugas rumah yang belum diselesaikan. Di samping itu, sebagian besar diskusi bangsa berada di garis partai dan jarang dibahas di luar partai politik. Baik partai yang berkuasa maupun oposisi tidak memiliki kebijakan atau program baru untuk ditawarkan, sehingga kita akan terus mendengarkan argumen yang sama setiap waktu.
Akibatnya, kita akan menyaksikan kurangnya diskusi dan keengganan untuk mencapai konsensus. Ada semacam kutukan dari politik konfrontasional, yang pada akhirnya beralih ke serangan pribadi. Kurangnya konsensus politik yang serius tentang isu-isu seperti reformasi ekonomi, privatisasi pabrik yang dikelola negara, reformasi agraria, reformasi undang-undang perburuhan, RKUHP, RUU KPK, reformasi undang-undang perlindungan anak dan undang-undang yang mengatur pengadaan tanah untuk keperluan industri belum juga menemui titik terang.
Lainnya, seperti para politisi kita terkenal dengan sindrom kekuasaan, kualitas bicara yang buruk dan serampangan, arogansi, sinisme, seksisme yang terang-terangan dan pernyataan rasis dan menghina personal seseorang secara langsung. Kurangnya kesopanan dalam kehidupan publik cukup terlihat dan lebih merupakan pertandingan adu-mulut daripada berpikir sistematis demi kemaslahatan rakyat.
Sesama politisi saling mencemooh, menghina, dan memanggil orang lain dengan nama yang tidak sepatutnya. Ini bukanlah pemandangan yang tidak biasa, bahkan di parlemen perilaku gaduh semacam itu kadang-kadang terlihat di mata publik. Tidak salah bila Gus Dur menyebut gedung parlemen ibarat taman kanak-kanak.
Perkara mengkritik, tiap orang boleh mengkritik. Kritik yang konstruktif dan positif. Tapi, kenyataannya, mereka justru mencoba mencari-cari kesalahan dalam segala hal yang dilakukan pihak lawan. Jika seseorang berbuat baik, baik itu partai yang berkuasa atau partai oposisi, mereka tidak akan menghargainya, sebaliknya mereka malah menyerangnya. Mereka lebih tertarik untuk saling “memukul” daripada “berkembang” bersama-sama untuk satu tujuan: kesejahteraan dan keadilan sosial.
Tak hanya politisi yang bermasalah, sebagai orang-orang (simpatisan) juga terlalu membabi buta mendukung politisi, terlepas dari apa yang mereka lakukan: baik atau buruk. Kita seharusnya tidak buta dan terlalu fanatik mendukung mereka, sebaliknya kita harus memiliki posisi tawar yang kuat untuk memberi masukan atau mengkritik tindakan yang mereka lakukan.
Jika anggapan bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang baik, itu tidak berarti mereka selalu berbuat baik setiap waktu. Jadi, kita harus mengawasi perbuatan mereka, bukan orang atau pihak tertentu. Beberapa orang mendukung mereka, meskipun mereka tahu bahwa yang didukung itu melakukan kesalahan. Jangan ikuti “pesta,” ikuti perbuatan mereka. Kritik konstruktif dapat mengarah pada pemerintahan yang sukses.
Politik seharusnya jalan terang untuk mensejahterakan rakyat, tetapi hari ini telah berubah menjadi “ranjau” yang menyengsarakan rakyat. Seolah-olah demokrasi tidak lagi “untuk rakyat, oleh rakyat, dan dari rakyat.” Justru esensi demokrasi telah bergeser menjadi “untuk partai, oleh partai, dan dari partai.”
Harus disadari bahwa perjalanan politik juga merupakan cerminan masyarakat pada umumnya. Tingkat kesadaran dan standar wacana yang buruk dalam politik juga mencerminkan memburuknya moralitas secara umum dalam masyarakat.
Kolom terkait
Kala Horang Kayah Kongkow di Parlemen Kita