Sabtu, April 20, 2024

Politik Sehat, Panggung Politik Milenial

Satia Chandra Wiguna
Satia Chandra Wiguna
Fans Everton & Bobotoh Persib, penikmat semua aliran musik, kader Muhammadiyah yang menjadi Wasekjen DPP PSI. Saat ini sedang kuliah Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana.

Kata iklan, gak semua yang lo denger itu bener! Tak kecuali ihwal milenial. Stereotype generasi milenial yang dicirikan oleh watak mudah bosan, instan, dan cenderung apolitis akibat kelimpahan info komersial, selama ini ternyata lebih banyak didasari prasangka.

Sejumlah riset yang komprehensif, justru berkata sebaliknya. Satu artikel di bbc.com misalnya, melaporkan betapa milenial juga punya daya kerja yang baik, suka berinovasi dan memiliki karakter fundamental yang tidak berbeda dengan generasi sebelumnya.

Ini mengandaikan, apa pun yang bisa dicapai oleh generasi pra milineal, pada dasarnya juga bisa diraih oleh generasi milenial. Pandangan seperti ini, tentu memberi kita harapan, khususnya dalam kehidupan politik,yang menjadi fokus catatan ini.

Pertanyaan pokoknya: dapatkah kita berharap suatu kehidupan politik yang sehat pada pemilih milenial? Dan adakah model politik tertentu yang sesuai dengan selera milineal dalam menentukan pilihan politik mereka?

Terlebih dulu, perlu dipertegas, bahwa kaum milineal yang dimaksud pada catatan ini tidak terbatas pada kelompok Gen Y atau mereka yang lahir pada 1980-1994, menurut penjangkaan Lancaster dan Stillman. Tetapi bersandar pada definisi popular, yakni generasi kekinian yang lazim dipakai di Indonesia belakangan. Itu berarti definisi milineal di sini sengaja diperluas – meliputi gen X, Y sekaligus gen Z.

Ungkapan yang lebih mengena, terhadap generasi ini telah dipakai Presiden Jokowi, yakni generasi zaman now. Yang dicirikan oleh akses melimpah pada teknologi informasi. Dalam konteks Indonesia berarti, akses pada gawai dengan media sosial sebagai wadah interaksinya. Dengan demikian, dinamika politik yang terbangun pada kaum ini dapat juga disebut dinamika politik gawai.

Walaupun belum ada sebuah penelusuran yang tuntas perihal perilaku politik generasi gawai, telah umum dipercaya, bahwa politik gawai cenderung ekspresif dan detail dalam merespon fenomena politik.

Opini dan kritik bukan hanya ditujukan pada sebuah kebijakan formal, tetapi juga pada hal-hal kecil dalam ruang lingkup gaya hidup para politisi. Misalnya, tuit politisi, pacar politisi, tempat makan politisi, hobi politisi, dan lain sebagainya yang diperagakan seorang politisi ke ruang publik. Perhatian kepada narasi kecil itu, pada gilirannya membuat dunia politik gawai menjadi terkesan hiruk pikuk karena mudah berganti-ganti topik.

Contoh yang fenomenal adalah respon terhadap “aksi motor Presiden Jokowi” pada opening Asian Games 2018 tahun lalu. Segera, dunia medsos dipenuhi oleh gambar-gambar dan komentar publik terkait kejadian itu. Namun dalam jangka sepekan saja, topik pun berubah saat Jokowi dan Prabowo berada dalam ‘satu pelukan bendera’ pada momen perolehan medali emas dari cabang silat.

Padahal, secara substansi, kejadian semacam itu tentu lumrah, karena baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama memiliki keperluan menghadiri momen tersebut. Yang satu selaku presiden, sementara yang lain selaku pejabat organisasi pencak silat.

Hanya saja dalam politik gawai, substansi sebuah kejadian dilihat secara dinamis. Dalam kasus di atas misalnya, subtansinya bukan pada kapasitas ataupun peran selaku pemangku kepentingan lembaga tertentu. Tetapi pada “horizon harapan” yang tercipta melalui respon pengguna gawai Indonesia terhadap kejadian itu.

Dalam konteks pasca pemilu 2019 yang menguras energi kita semua, rivalitas antar capres disaat pemilu 2019 lalu, pengguna gawai Indonesia rupanya lebih mengharapkan suatu hubungan yang rukun antara dua capres ketimbang ketegangan yang kerap muncul ke permukaan.

Harapan seperti itu, menampilkan bagian sehat dari kehidupan politik dunia gawai, yang pastilah efektif buat menangkal dunia media sosial seperti hoaks dan perpecahan. Hal ini terbukti, ketika Jokowi mengumumkan Prabowo sebagai Menteri Pertahanan di jajaran kabinetnya, pengumuman ini mengagetkan semua pihak dan sekaligus menciptakan suasana cair, baik di medsos maupaun di kehidupan masyarakat.

Tidak diragukan, respon spontan dan cepat dunia gawai terhadap perilaku politik, merupakan suatu potensi besar, yang dapat menciptakan dunia politik yang sehat, yang sesuai dengan makna dan tujuan esensial dari politik itu sendiri.

Pemimpin Milenial

Generasi milenial, juga memerlukan tipikal pemimpin milenial, yang bisa terlihat melalui cara pemimpin tersebut membangun komunikasi politik dengan publik milenial. Dalam hal ini, seorang pemimpin ataupun politisi memerlukan keakraban dengan perangkat ataupun tools yang menjadi simbol keseharian publik milineal. Dan Presiden Jokowi telah lama memulainya sejak periode pertamanya.

Selain dilihat dari gaya komunikasi publik Presiden Jokowi yang gemar menggunakan vlog, serta piawai dalam menggunakan media sosial sebagai sarana sosialisasi program-program kerjanya dan juga dikuatkan dengan ditunjuknya beberapa Menteri dan Wakil Menteri serta 7 staff khusus oleh Presiden Jokowi dari kalangan Milenial.

Terlepas dari adanya kritik dan kecaman terhadap beberapa kebijakannya, model komunikasi yang ia bangun selama ini telah diakui mengangkat citranya selaku pemimpin yang merakyat. Sehingga ia pantaslah disebut sebagai presiden Indonesia yang paling milenial.

Pendek kata, gaya komunikasi publik Jokowi, membantu kita memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan milenial itu. Yang prosesnya dibangun melalui hubungan spontan dan transparan antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Tak hanya gaya komunikasi saja, Jokowi membuktikan, dengan menunjuk para staf khusus milenial baru-baru ini.

Selain itu, dalam konteks institusional politik milenial, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bisa menjadi contoh terbaik institusi politik milenial dalam menyampaikan nilai-nilai politik bersih yang melibatkan kaum milenial melalui medsos. Menurut hemat saya, politik milenial yang telah dijalankan oleh PSI sudah menginspirasi Presiden Jokowi untuk melibatkan kaum milenial di jajaran kabinet Indonesia Kerja jilid II dan staf khsusus Presiden.

Inilah nilai utama dari eksistensi sebuah era milenial, sekaligus politik milineal. Oleh karenanya, cara-cara yang otoritarian dan cara-cara politik yang gelap (main karung) dengan sendirinya hilang. Diganti dengan cara-cara yang lebih berkeadaban. Ya, politik sehat yang berkeadaban itulah panggung politik milenial. Salam solidaritas!

Satia Chandra Wiguna
Satia Chandra Wiguna
Fans Everton & Bobotoh Persib, penikmat semua aliran musik, kader Muhammadiyah yang menjadi Wasekjen DPP PSI. Saat ini sedang kuliah Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.