Saya baru membaca ketum PSI diadukan ke polisi karena menista agama. Lalu teringat dialog Mata Najwa dengan caleg perempuan, diantaranya dua feminis. Sambil melihat gender gap indeks. Mataku tertuju pada Rwanda. Negara dg prosentase perempuan tertinggi di parlemen (67,5%). lihat di Arab Saudi, sekitar 20% melebihi Indonesia (17%).
Peran perempuan Rwanda dalam proses perdamaian, jadi contoh dimana-mana. Tapi hidup para politisi perempuan di dunia politik beda dg hidup di dunia privat. Banyak politisi bercerita, di rumah, suami maunya saban hari sepatu tetap disemirkan. Simbol siapa yg berkuasa sebenarnya.
Di Saudi, tahun lalu perempuan sdh boleh nyetir, tapi aturan yg lebih membelenggu dari itu, yaitu pengawasan perempuan oleh muhrim laki-laki dan keputusan hidupnya diambil oleh sang muhrim, tak dihapus. Akibatnya tetap sulit mobilitas mereka.
Di Indonesia, para caleg perempuan (di acara Mata Najwa) bicara tentang “isu-isu perempuan” seperti angka kematian ibu (AKI), stunting dan kekerasan terhadap perempuan (KTP). Ketika bicara KTP tak satupun bicara perkosaan oleh aparat syariah, mempermalukan perempuan di muka publik karena pakaian yg amoral, ditangkap malam hari karena distigma sebagai pelacur, menolak pelecehan seksual malah masuk penjara, terror dan kekerasan pada minoritas: perempuan, laki-laki dan transgender.
Saat bicara “well being” anak, gak menyenggol sedikit pun tentang penolakan vaksin rubella oleh kepala daerah, menyebabkan jutaan anak terancam cacat. Saat bicara AKI, tak menyebut soal kegagalan KB dan pengaturan kelahiran karena tekanan suami, keluarga besar dan ulama. Pun membahas soal BPJS-jaring pengaman kesehatan bagi yang paling tak beruntung-, tapi saat ini dibajak oleh kelas yang mampu bayar – menunggak lalu merugikan semua. Bicara perkawinan anak (salah 1 faktor AKI) , tak menyinggung soal ketiadaan pendidikan seks dan kawin muda akibat tekanan agama.
Bukan saya tak setuju dengan mengangkat tema AKI dan KTP (selain itu, menurutku isu-isu diatas bukan isu perempuan. Itu isu semua orang. Semua politisi ya harus bicara soal ini). Ada semacam ‘kesasar’ konsep. Persis seperti yang dikhawatirkan oleh para pemikir gender mainstreaming (Goetz, Cornwall), bicara pemberdayaan, jatuh pada soal teknis: macetnya UU Kekerasan Seksual di DPR karena banyaknya fraksi, kurang gregetnya menteri PPA karena advokasi lemah, perkawinan anak susah dihilangkan karena aturan-aturan saling bertentangan, dst.
Tak satupun merujuk (padahal tersedia penelitiannya) tentang siapa, partai mana, kepentingannya apa sehingga UU kekerasan seksual dan perubahan UU perkawinan gak kelar-kelar, sebagai contoh.
Relasi ‘kuasa’ di dalam DPR dan partai jalan seperti biasa, para caleg perempuan di arena publik ditugaskan (mungkin juga dikotakkan) bicara ‘isu perempuan’. Di dalam, tahu sama tahu siapa yang berkuasa sebenarnya. Sengaja atau tidak, para caleg perempuan tak mau menyentuh khitah pemberdayaan dalam konsep asalnya tahun ’90-an (dan 80 an) bahwa ‘power relationships matter’. Dugaanku perempuan (dalam makna relasi gender) dipinggirkan (dan tunduk) dalam lingkaran relasi kuasa itu.
Lalu, Grace Natalie pidato, PSI menolak Perda-perda Syariah dan Injil, goyanglah relasi-relasi kuasa yang elitis, kepemimpinan (laki-laki) yang hirarkis dan (hobinya) militeristik. Lihat gaya dan isi omongan Eggi Sujana atau PKS dalam menanggapi Grace, itu adalah mansplaining: ‘men explain things to me (women)’. Hirarkis. Merekalah pusat kebenaran. Tinggal nunggu elit-elit lain menanggapi, pasti mansplaining semua.
Grace Natalie yang tak pernah mengklaim diri feminis (mungkin tak sengaja juga) memahami bahwa pemberdayaan perempuan tanpa mengubah struktur kuasanya itu seperti kesasar.