Dari kemarin saya melihat puja dan puji atas penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Sri Mulyani mengatakan bahwa jumlah orang miskin di Indonesia terendah dalam sejarah.
Angka-angka yang dikeluarkan BPS kemudian ramai dikutip. Katanya, jumlah orang susah—eh, miskin, di seluruh Indonesia hanya 25,95 juta orang saja. Itu setara dengan 9,82 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Sejak September 2017, pemerintah Jokowi berhasil mengurangi jumlah orang miskin sebesar 633 ribu orang. Waktu itu jumlah orang miskin adalah 26,58 juta orang atau 10,12 persen dari jumlah penduduk.
Pemerintah jelas mengklaim ini sebagai keberhasilannya. Namun, tidak hanya pemerintah pusat yang dipimpin Presiden Jokowi yang menepuk dada. Pemerintah DKI Jakarta pun dengan cepat menyambar isu ini.
Wakil Gubenur Sandiaga Uno menyebut angka kemiskinan di Jakarta pada Maret 2018 turun menjadi 3,57 persen. Pada September 2017 angka ini tercatat 3,78 persen dan Maret 2017 sebesar 3,77 persen.
“Secara historis, angka kemiskinan tersebut juga merupakan yang terendah dalam 4 tahun terakhir,” demikian kata Sandi. Sandi juga bisa menepuk dada bahwa penurunan ini terjadi karena kebjakan pemerintahannya. Dia mengklaim bahwa kebijakan pangan murah yang dibikinnya berpengaruh pada penurunan kemiskinan.
Soal kemiskinan adalah soal yang pelik. Ini adalah soal yang sangat politis. Siapa pun yang berkuasa pasti ingin agar angka-angka itu serendah mungkin. Namun, bisakah kita menipu angka? Tentu tidak. Tapi kita bisa mengambil parameter yang rendah untuk membuat angka kemiskinan kecil.
Media seperti Kumparan melakukan tugas jurnalistiknya dengan sangat baik. Saya kasih apreasiasi tinggi atas laporan mereka yang meneliti klaim Sandiaga Uno. Benarkah angka kemiskinan itu karena keberhasilan pemerintahan Anies-Sandi? Kumparan menelisik data BPS, yang menjadi sumber klaim Sandi, dan menemukan bahwa dalam urutan lini masa (time line), angka-angka ini menurun justru zaman pemerintahan gubernur terdahulu (Jokowi-Ahok; dan Ahok-Jarot).
Namun, ada yang lebih substansial dari soal klaim-mengklaim ini. Bagi saya, persoalannya adalah bagaimana kemiskinan itu diukur. Menurut BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
Untuk Jakarta, BPS menetapkan pengeluaran per kapita sebesar Rp 593.108 per bulan dalam kategori miskin. Atau mereka yang mengeluarkan Rp 19,770 per hari atau US$1.371 untuk hidupnya. Mungkinkah orang hidup dengan kurang dari Rp 20 ribu per hari di Jakarta? Uang sejumlah ini untuk seluruh komponen hidup: sandang, pangan, papan, transportasi, dan sebagainya.
Untuk seluruh Indonesia, angka ini berbeda antara kota dan desa. Pada Maret 2018, orang dikategorikan miskin di wilayah perkotaan apabila pendapatan per kapitanya Rp 415,614 atau Rp 13,854 (US$0,96) per hari. Di pedesaan, pendapatan perkapitanya di bawah Rp 383,908 atau Rp 12,796 (US$0.89) per harinya. Saya tidak tahu apakah orang bisa hidup dengan Rp 14 ribu (perkotaan) atau Rp 13 ribu di pedesaan.
Jelas, angka-angka ini tidak mencerminkan kelayakan untuk hidup. Ingat bahwa pengeluaran per kapita ini sudah mencakup keseluruhan sandang, pangan, dan papan.
Lembaga-lembaga internasional sudah lama mengeluhkan soal ini. Angka kemiskinan yang dikeluarkan pemerintah sangat tidak layak untuk hidup. Sekalipun BPS mengaku memakai pendekatan kebutuhan dasar. Tidak heran bila angka kemiskinan terlihat kecil. Lembaga seperti World Bank, misalnya, mengusulkan kemiskinan harus diukur dengan pengeluaran per kapita minimum $2 (atau sekitar Rp 28,000) per hari. Kalau tolok ukur ini yang dipakai, niscaya kemiskinan akan tetap tinggi. Barangkali lebih dari sepertiga rakyat Indonesia miskin.
BPS juga mengemukakan kemungkinan mengapa angka kemiskinan turun. Itu terjadi antara lain karena inflasi; Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan untuk rumah tangga yang berada di 40 persen lapisan terbawah selama periode September 2017–Maret 2018 tumbuh 3,06 persen; Bantuan sosial tunai dari pemerintah tumbuh 87,6 persen pada Triwulan I 2018, lebih tinggi dibanding Triwulan I 2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen; Program Beras Sejahtera (Rastra) dan Bantuan Pangan Non-Tunai; Nilai Tukar Petani (NTP) pada Maret 2018 berada di atas angka 100, yaitu 101,94; kenaikan harga beras yang cukup tinggi, yaitu mencapai 8,57 persen pada periode September 2017–Maret 2018.
Kalau dilihat, kemiskinan ini turun adalah akibat intervensi pemerintah khususnya bantuan sosial tunai, program beras sejahtera, dan bantuan non-pangan tunai. Jika ini benar, maka angka kemiskinan ini sesungguhnya tidak berkelanjutan. Dia hanya akan bertahan sepanjang intervensi pemerintah tinggi.
Kita mengerti bahwa tidak ada pemerintahan yang senang dengan angka kemiskinan yang tinggi. Setiap pemerintahan akan berusaha mendapatkan angka yang sekecil-kecilnya. Namun, saya kira, kita juga perlu jujur. Kita perlu tahu dengan terang benderang situasi kemiskinan kita. Sayang kita tidak tahu apa saja yang menjadi kriteria untuk menetapkan ‘kebutuhan-kebutuhan pokok” (basic needs) yang dipakai mengukur angka kemiskinan.
Bahkan sekarang ini kebutuhan pokok saja tidak cukup. Orang sudah menuntut agar kita menghitung kemiskinan dari kebutuhan hidup. Sudah muncul kebutuhan-kebutuhan baru seperti bandwith, alat-alat komunikasi, akses terhadap transportasi, dan lain sebagainya. Jika ini ikut dihitung, mungkin mayoritas penduduk Indonesia miskin.
Mungkin itulah kenyataannya. Namun mengetahuinya membuat kita mencari akal untuk mengatasinya. Kita tidak akan mampu mengatasi suatu hal tanpa kita tahu persis apa ‘hal’ itu, bukan?