Sampul majalah Tempo tanggal 16-22 September menuai kontroversi. Gambar yang memuat bayangan presiden Joko Widodo dengan hidung panjang itu menurut sebagian pendukung Jokowi telah menghina kepala negara. Dus, sekelompok pendukung Jokowi yang tergabung dalam Jokowi Mania mengadukan Tempo ke Dewan Pers pada hari Senin lalu. Mereka menuntut Tempo menarik majalah dari peredaran, memberikan klarifikasi, dan meminta maaf. Menurut ketua umum Jokowi Mania, Tempo telah menciptakan narasi seakan-akan Jokowi tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Menurut kuasa hukum Jokowi Mania, sampul Tempo dinilai tidak etis dan tidak mendidik (Tirto 16/11/2019).
Yang menarik adalah dalam beberapa hari ke depan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan. Dalam naskah RKUHP tersebut perihal penghinaan kepala negara diatur dalam salah satu pasal: “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun enam (6) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Perlukah pasal penghinaan kepala negara?
Bagi beberapa orang mungkin RKUHP yang akan disahkan tersebut akan memberikan jalan untuk melakukan tuntutan hukum pada Tempo. Namun menurut saya, situasi yang dihadapi presiden Jokowi sekarang justru membuktikan bahwa pasal penghinaan kepala negara itu sungguh tidak perlu. Yang presiden perlukan sekarang justru dukungan agar ia fokus bekerja, dan bukan distraksi terkait polemik berkepanjangan di masyarakat tentang citra beliau. Dukungan agar presiden tidak terdistraksi terutama harus datang dari pihak yang merasa pendukung pribadi presiden Joko Widodo.
Kerja, Kerja, dan Kerja
Belum lama presiden Joko Widodo terpilih kembali, pekerjaan yang beliau harus selesaikan langsung menumpuk di depan mata. Semuanya pelik, dan semuanya mempertaruhkan rasa percaya masyarakat pada pemerintah.
Pertama, krisis yang terjadi di Papua beberapa waktu lalu masih menuntut perhatian penuh presiden Jokowi. Rentetan peristiwa lanjutan dari krisis Papua kemarin masih menghiasi media nasional dan lokal. Pun, gejolak yang sudah terlanjur muncul perlu secara terus menerus diturunkan suhu politiknya dan dicegah agar tidak muncul kembali.
Kedua, krisis kepercayaan sedang berkembang ketika sekelompok masyarakat merasa sedang terjadi usaha untuk melemahkan KPK secara sistematis. Kritik tajam bermunculan dan pemerintah dirasa tidak berada di pihak yang membela KPK. Presiden Jokowi lagi-lagi berada di dalam posisi yang sulit: menangkis kritik dan juga dituntut menunjukkan komitmennya pada usaha pemberantasan korupsi.
Ketiga, bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di kabupaten Pelalawan, Riau yang terjadi minggu ini menuntut respon segera kepala negara. Presiden Jokowi sebagai akibatnya harus berada di Riau memantau langsung penanganan krisis kebakaran hutan.
Jika kegiatan presiden Jokowi minggu-minggu ini harus digambarkan secara singkat, maka slogan dari kampanye beliau lah yang paling tepat: kerja, kerja, dan kerja. Persoalan citra entah ada di urutan prioritas yang keberapa, tapi yang pasti bukan yang pertama.
Pun jika citra kepala negara penting, mungkin bagi pendukung presiden Jokowi, maka usaha menuntut Tempo saya rasa tidak akan membantu menaikkan citra kepala negara. Fakta bahwa pasal penghinaan presiden ini pernah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 menyiratkan bahwa pasal ini punya fondasi hukum yang tidak kokoh. Belum lagi, ia secara sosiologis ditentang oleh sebagian besar masyarakat kita yang demokratis.
Hampir pasti, pengesahan RKUHP di minggu mendatang akan menuai polemik berkepanjangan akibat dari berbagai pasal kontroversial di dalamnya. Pasal penghinaan kepala negara hanya satu dari sekian pasal yang sedang disorot secara kritis oleh masyarakat. Memasukkan presiden Jokowi dalam hiruk pikuk kontroversi pasal ini bisa dipastikan tidak akan membantu pekerjaan beliau.
Fokus bukan Distraksi
Dalam demokrasi, citra kepala negara sangat bergantung pada bagaimana pekerjaan riil negara diselesaikan dalam satu periode pemerintahan. Keberhasilan dalam bidang ekonomi, sebagai misal, akan membantu naiknya elektabilitas dalam periode pemilihan berikutnya jika kepala negara maju kembali sebagai petahana. Ini yang disebut dalam literatur ilmu politik sebagai economic voting yang sifatnya retroaktif. Benar, presiden Jokowi sudah ada di periode kedua dan tidak akan maju kembali dalam pemilu. Namun bagaimana beliau akan dikenang akan sangat bergantung dari bagaimana beliau menyelesaikan persoalan riil yang sedang dihadapi bangsa ini.
Citra kepala negara, sebaliknya, saya yakin tidak akan dipengaruhi oleh bagaimana sebuah majalah membuat sampul tentang beliau. Jika presiden Jokowi tidak merasa perlu untuk memperkarakan sampul majalah Tempo, maka saya rasa pendukungnya juga harus menghargai tanda-tanda tersebut.
Kepala negara sedang bekerja keras, mari kita dukung beliau dengan tidak membuat polemik tambahan.