“Kalau hasrat sudah mau, ya mesti.” – Tengku Zulkarnain, seorang laki-laki, dalam debat tentang Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di kanal iNews Sore, tertanggal 8 Maret.
Tengku—yang disebut sebagian kelompok sebagai ustadz—adalah salah seorang tokoh yang gencar menolak RUU PKS. Pada 11 Maret, Tengku meminta maaf melalui laman Twitternya karena dengan ceroboh telah menyebarkan info yang salah tentang RUU PKS. Setelah mencermati RUU PKS, Tengku menyatakan bahwa ia tidak menemukan pasal tentang penyediaan alat kontrasepsi dari pemerintah untuk pasangan remaja ataupun pemuda yang ingin melakukan hubungan suami istri, sebagaimana yang sebelumnya ia tuduhkan. Ia juga mencabut pernyataan tersebut.
Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, Tengku tidak bersuara sama sekali tentang, “Kalau hasrat sudah mau, ya mesti,” yang ia lontarkan sebagai argumen untuk menolak aturan terkait perkosaan dalam pernikahan. Tak hanya sampai sana, Tengku juga mendapat banyak kecaman (meski juga sejumlah dukungan) karena mengatakan, “Sampai kiamat, kami nggak terima (bila dianggap pemaksaan hubungan seks kepada istri adalah kekerasan),” dan, “Istrinya diam saja, tidur saja, nggak sakit kok.”
Tengku bukan satu-satunya orang yang memiliki pandangan seperti itu. Karenanya, ia berani menggunakan kata ganti ‘kami’. Pandangan tersebut tidak lepas dari obsesi manusia untuk dapat mengambil kendali atas sesuatu. Obsesi ini dikenal dengan sense of control.
Pada dasarnya, manusia memang memiliki sense of control. Keinginan untuk mengendalikan sesuatu adalah perasaan yang secara lahiriah dan batiniah dimiliki oleh manusia, bahkan sejak ia masih bayi. Sementara, kuat atau lemahnya perasaan itu dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Ketika segala hal di sekelilingmu nampak berantakan dan tidak terpegang, pernahkah kamu mendadak ingin memotong rambut atau mengecatnya dengan warna mencolok? Atau, membobol rekeningmu sendiri dan membelanjakannya tanpa pikir panjang?
Itu adalah contoh sederhana dari pemenuhan sense of control. Kamu menolak kalah oleh situasi, lalu menempuh jalan lain agar mampu membuktikan pada diri sendiri bahwa kamu masih punya kendali atas sesuatu. Tidak peduli apakah jalan itu berhubungan atau tidak dengan situasi yang tengah kamu hadapi. Ketika manusia gagal memenuhi sense of control, bukan tidak mungkin ia mengalami depresi dan kecemasan luar biasa.
Tentu saja sense of control bisa jadi berbahaya ketika bertabrakan dengan hak orang lain. Dalam relasi suami-istri, contohnya, lingkungan sosial yang patriarkis cenderung membuat sense of control yang dimiliki pihak suami menjadi lebih kompleks. Suami merasa istri adalah objek yang perlu ada di bawah kendalinya. Pengendalian ini sering diromantisasi sebagai bentuk pemuliaan terhadap perempuan—bahwa dengan berada dalam kendali suami, maka istri terjamin harkat hidupnya secara lahir dan batin. Padahal, dari sisi yang lain, ‘pemuliaan’ itu bisa jadi hanyalah usaha suami untuk memenuhi sense of control dirinya sendiri.
Selama ini, sudah terlalu banyak wacana yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan dalam segala aspek. Bahwa laki-laki adalah kelompok dominan sementara perempuan submisif, dan bahwa laki-laki adalah pemilik sementara perempuan hanya properti. Wacana-wacana ini menjadi racun bagi kebutuhan akan sense of control yang dimiliki manusia—mereka menciptakan standar tidak sehat tentang apa yang bisa dan harus dikendalikan.
“Kalau hasrat sudah mau, ya mesti,” adalah salah satu bentuk pemenuhan sense of control yang teracuni itu. Ini bukan masalah ketidakmampuan Tengku dan sejenisnya dalam mengendalikan birahi diri mereka sendiri; sebaliknya, self-centeredness atau keegoisan yang tumbuh karena sense of control beracun itu menguatkan prinsip tentang apa yang bisa dan harus mereka kendalikan.
Pada konteks ini, termasuk vagina istri-istrinya. Dalam teori criminal spin, Natti Ronel menyatakan bahwa “Saya bisa” dan “Saya harus” adalah motivasi individu dalam mengembangkan karir kejahatannya. Self-centeredness membuat kesadaran individu hanya fokus pada hasrat miliknya sendiri. Dua motivasi ini dapat mendorong individu untuk lebih jahat lagi, untuk mengambil kendali lebih dalam lagi, tanpa peduli orang lain memiliki hasratnya sendiri.
Perkosaan sendiri adalah salah satu jenis kejahatan yang berproses. Artinya, seorang pelaku perkosaan cenderung telah mulai melakukan pelecehan seksual jauh sebelum ia ketahuan menjadi pelaku perkosaan. Selain itu, para pelaku perkosaan umumnya tidak merasa dirinya merupakan pusat masalah. Mereka menyadari bahwa mereka “mungkin” memaksakan kehendaknya terhadap korban, tapi “perkosaan” adalah diksi yang berlebihan bagi mereka.
Turut penting untuk diketahui, perkosaan tidaklah melulu soal seks, melainkan tentang pengendalian. Ini adalah tentang ketimpangan relasi yang menyebabkan individu merasa wajib dan/atau berhak mengendalikan individu lainnya. Oleh sebab itu, istri rentan mengalami perkosaan dari suaminya sendiri, terlebih bila ia berada dalam pernikahan yang berpegang teguh pada patriarkisme. Kenapa ada suami yang tidak mau membujuk istrinya secara baik-baik sebelum berhubungan seks? Salah satunya adalah karena alam bawah sadar suami menganggap cara demikian membuat dirinya menjadi pihak yang dikendalikan, bukan mengendalikan. Maka, ditempuhlah cara koersif seperti memerkosa.
Saya percaya, hanya suami bermental pemerkosa yang takut akan dipidana istri ketika hendak mengajaknya berhubungan seks. Sense of control tidak sepaket, dan memang tidak perlu diiringi dengan mental pemerkosa. Sungguh, itu tidak sedikit pun membuat suami jadi perkasa.