Jumat, Maret 29, 2024

10 Tahun Perjalanan Hati Keluarga Yudhoyono

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.

Saya senang dengan keluarga Yudhoyono. Selalu membuka diri untuk diketahui oleh publik. Sangat sadar akan diperhatikan. Juga sadar untuk mencari perhatian.

Citranya adalah keluarga bahagia. Kompak. Ibu, bapak, anak, cucu, dan menantu. Lihatlah pakaian mereka. Seragam. Bagaikan kelompok Paduan Suara PKK yang hendak lomba di Kabupaten.

Tapi mereka bukan keluarga sembarangan. Mereka adalah apa yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “The First Family.” Mereka keluarga penguasa tertinggi. Sekalipun tidak lagi menjabat, biasanya sebutan itu tetap melekat.

Gambaran seperti itu mau tidak mau mengingatkan saya pada buku Saya Siraishi tentang pembentukan konsep keluarga pada zaman Orde Baru. Saya merunutnya sebagai sebuah ideologi yang sangat hirarkis, dengan presiden sebagai Bapaknya.

Konsep ini masih terpatri kuat dalam keluarga Yudhoyono. Ada Bapak sebagai kepala keluarga. Ada ibu yang sekalipun di belakang ayah, tapi mengiringinya dengan hati (sic!). Ada anak-anak yang patuh dan taat pada orangtua. Menantu yang cantik tanpa satu kekurangan. Dan cucu-cucu yang lucu. Sebuah keluarga yang sempurna, bukan?

Si Bapak pintar bernyanyi dan berpuisi. Pada zaman Soeharto, rakyat Indonesia tahu presidennya suka beternak, main golf, sesekali mengisap cerutu dan minum jenewer (semasih muda, sebelum jenewer masuk daftar dosa), dan sesekali menembak.

Zaman si Bapak, rakyat Indonesia mengenal presidennya sebagai pencipta lagu. Lagunya dinyanyikan dalam setiap kesempatan kenegaraan. Saya tidak tahu, apakah beliau tidak merasa aneh ketika mendengar lagu ciptaan sendiri dinyanyikan dan ditonton oleh beliau sendiri? Ah, mungkin hanya saya saja yang merasa aneh. Saya yang tidak pernah mencipta lagu dan karenanya tidak pernah mendengarkan lagu ciptaan sendiri.

Biasanya, Bapak yang membuat cerita. Masih ingat bahwa dia tidak pernah terlihat bahagia, tertawa, atau membikin lelucon?

Lain Bapak lain pula Ibu. Si Ibu kelihatan lebih ceria. Itu sebabnya dia tampak lebih muda daripada usianya.

Nah, pekan lalu si Ibu yang menjadi berita karena meluncurkan sebuah buku. Ya, buku! Ia berjudul Ani Yudhoyono: 10 Tahun Perjalanan Hati. Kalau Saudara terheran dengan judul ini, itu artinya Saudara tidak pernah mengikuti metafora-metafora yang dipakai keluarga ini.

Sebenarnya sederhana saja. Buku ini menceritakan perjalanan si Ibu mengikuti suaminya menjadi presiden selama sepuluh tahun.

“Menjadi pembelajaran hidup luar biasa dan mendapat pengalaman luar biasa karena tidak semua perempuan Indonesia bisa memperolehnya,” katanya dikutip sebuah media, yang tampaknya hanya menyalin dari press release. Ya, jelaslah. Tidak semua orang bisa menjadi istri presiden, bukan?

Demikian berkesan dan banyak pengalaman yang awalnya hanya dibagikan kepada anak-anaknya, kini dia ingin agar rakyat Indonesia tahu.

“Saya ceritakan pengalaman kepada Agus, Ibas, Annisa dan Aliya. Mereka antusias mendengarkan cerita saya. Mengapa tidak pengalaman langka saya bagikan pada rakyat Indonesia?” katanya.

Buku ini sangat tebal, yaitu lebih dari 500 halaman. Namun, si Ibu mengklaim sekalipun tebal buku ini tidak membosankan. Karena buku ini berisi foto-foto. “Meski cukup tebal tidak membosankan untuk dibaca, selain bahasa enak, cerita menarik dan penuh dokumentasi,” katanya berpromosi.

Sementara, bagaimana dengan si Bapak? Seperti biasa, si Bapak bicara datar. Menurutnya, buku ini bagus untuk dibagikan (eh, dibagikan?) karena berisi perjalanan hati selama mendampinginya.

Sampai di sini, saya kembali ke Saya Siraishi. Menurut Saya, konsep keluarga pada zaman Orde Baru tidak sekadar keluarga inti. Dia sebuah konstruksi ideologi politik. Ideologi ini menawarkan perlindungan untuk “mengatasi ketidakberdayaan dan rasa takut”.

Tentu konsep ideologi keluarga itu sudah luntur bersama ambruknya Orde Baru. Namun, di tingkat keluarga Yudhoyono konsep itu tetap hidup dengan kuat. Bapak menjadi pelindung. Ibu mengikuti dengan “perjalanan hati.” Dan anak-anak menjadi penurut mengikuti apa yang dikehendaki orangtua dan percaya bahwa itulah yang terbaik untuknya.

Ideologi keluarga semacam inilah yang ditampilkan sepenuh-penuhnya kepada rakyat Indonesia. Namun, imaji ini tidak bisa sekuat pada zaman Orde Baru karena keluarga Yudhoyono tidak memiliki mesin yang memaksakannya.

Tidaklah begitu mengherankan ketika ideologi ini ditampilkan tanpa kekuatan otoritariannya, yang tampak adalah narsisme tingkat galaktik; yakni narsisme dalam tingkat yang setinggi-tingginya. Itulah “perjalanan hati” yang sesungguh-sungguhnya.

Made Supriatma
Made Supriatma
Peneliti masalah sosial dan politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.