Kehadiran perempuan dalam politik menjadi salah satu indikator penting bagi demokrasi. Melalui kehadiran perempuan dalam politik, potensi keterlibatan perempuan dalam keputusan politik dan kebijakan yang mendukung perempuan bisa diharapkan. Namun, kehadiran perempuan dalam politik nyatanya tidak bisa memberi garansi representasi perempuan dalam politik. Dalam hal ini politikus perempuan tidak cukup hanya hadir (present) tapi juga perlu menjadi representasi.
Ketika kita berbicara tentang representasi, kehadiran (present) saja tidak cukup. Representasi mengandung elemen keterwakilan suara kelompok yang direpresentasikan, dalam konteks ini adalah kelompok perempuan.
Jika aktor politik yang merupakan perempuan tidak menyuarakan aspirasi perempuan/suara perempuan tapi malah justru mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyindir atau bahkan merendahkan perempuan, kita perlu mempertanyakan apakah aktor politik yang merupakan seorang perempuan tersebut telah benar-benar representatif.
Beberapa persoalan kebijakan yang menyangkut hak-hak perempuan, hingga persoalan pangan yang kerap dikeluhkan oleh perempuan tidak selalu mendapat perhatian dan dukungan dari aktor politik perempuan, hal tersebut mengindikasikan bahwa kehadiran perempuan dalam politik tidak selalu representatif, tetapi bisa juga menjadi bagian dari elit politik yang hanya berusaha mempertahankan kepentingan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika kehadiran perempuan dalam politik tidak signifikan dan tidak cukup representatif, apakah kemudian kehadirannya dalam politik adalah sebuah kesia-siaan dan karenanya perempuan tidak perlu terlibat dalam politik sekalian?
Ya tidak begitu juga maksudnya. Poin yang ditekankan di sini adalah persoalan representasi yang mampu menghadirkan suara perempuan, yang berarti kita sebagai rakyat tidak boleh asal memilih atau asal percaya pada perempuan yang mengaku representatif.
Kita perlu menilai lebih jauh apakah sosok tersebut sungguh representative atau hanya sekadar present. Pendapat ini tidak bertujuan untuk membuat rakyat golongan perempuan bermusuhan dengan perempuan aktor politik, tidak sama sekali. Tapi kita memang perlu secara jujur turut mengevaluasi kehadiran perempuan dalam politik.
Tanggung jawab untuk mengevaluasi para aktor politik yang mengaku sebagai representasi perempuan tidak hanya terletak di tangan kelompok rakyat yang perempuan, tetapi juga partai politik dan aktor politik perempuan secara personal perlu merefleksikan persoalan ini.
“Sudahkah saya (kami) sungguh merepresentasikan suara dan kepentingan perempuan?”
“Apa saja yang harus dilakukan agar kepentingan kelompok yang saya wakili (perempuan) bisa semakin terdengar dan terakomodasi secara politik?”
Refleksi tersebut penting agar perempuan dalam politik tidak hanya hadir sebagai simbol representasi tetapi juga memang sungguh representatif. Sebab Representasi selalu membawa konsekuensi tanggung jawab untuk menyuarakan kepentingan kelompok yang diwakilinya, termasuk representasi perempuan.
Jumlah perempuan dalam politik yang meningkat secara kuantitatif memang mengindikasikan kemajuan dalam hal kehadiran. Namun, kita perlu melihat sejauh mana kemajuan kuantitatif tersebut berdampak pada kemajuan kualitatif. Refleksi terkait kualitas representasi perempuan bagi semua pihak penting dalam rangka meningkatkan kebijakan politik yang berperspektif perempuan. Setidaknya hal paling minimal yang bisa dilakukan oleh rakyat (perempuan) jika para wakil perempuan tidak merepresentasikan suara kita dan tidak ada usaha untuk memperbaiki situasi tersebut, maka kita bisa nyinyir konstruktif melalui platform apa saja, tapi tolong jangan dijaring pakai UU ITE.
Para wakil rakyat yang beridentitas perempuan juga wajib mau menerima kritik secara terbuka dan menyadari bahwa baik sebagai manusia maupun wakil rakyat memang itu adalah tanggung jawabnya. Tidak perlu merasa tersinggung dan menderita kalau mendapat kritik, toh mengutip dari quotes yang saya bikin sendiri “barangsiapa menerima kritik dengan terbuka, maka ia adalah sebaik-baik manusia”.