Senin, November 18, 2024

Pemilu Bukan untuk Mencegah yang Terburuk Berkuasa

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
- Advertisement -

“Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.” Konon itu ucapan Romo Franz Magnis-Suseno. Entah kapan dan dalam konteks apa kalimat itu diucapkan, saya tidak tahu. Saya tidak menemukan tautan yang menunjukkan Romo Magnis berkata begitu. Yang saya temukan hanyalah pernyataan ajakan untuk tidak abstain atau golput. Pilihlah yang kadar keburukannya lebih sedikit, begitu pesannya.

Secara pragmatis bisa saja ajakan tadi dimaknai begitu. Memilih yang kadar keburukannya lebih sedikit sama artinya dengan mencegah yang terburuk terpilih dan berkuasa. Tapi tetap saja lebih tepat dimaknai sebagai ajakan untuk memilih yang terbaik. Yang kadar keburukannya lebih sedikit adalah yang terbaik di antara pilihan yang ada. Jadi pemilu adalah untuk memilih yang terbaik.

Pemilu untuk mencegah yang terburuk berkuasa terdengar sangat tendensius. Konteksnya sangat jelas, yaitu antiprabowo. Prabowo digambarkan sangat buruk, dan harus dicegah, agar jangan sampai berkuasa. Saya tidak yakin Romo Magnis partisan seperti itu, walau kemungkinan itu tidak sama sekali tertutup. Tapi jelas pernyataan ini tidak tepat untuk menggambarkan tujuan pemilu.

Pemilu adalah untuk memilih yang terbaik di antara yang buruk. Itu pun hanya sebuah tujuan minimal saja. Pragmatis minimalis. Pemilu seharusnya memilih yang terbaik di antara yang baik-baik. Tapi mungkinkah itu terjadi? Justru itu yang harus kita tuju. Selama kita pasrah dengan kenyataan, dan puas dengan pilihan minimalis, maka kualitas pemilu tidak akan meningkat. Partai-partai hanya akan berlomba untuk tidak jadi yang terburuk saja, bukan berusaha untuk menjadi yang baik dan terbaik.

Masalah terbesar dalam soal pemilu adalah pandangan sempit, bahwa pemilu itu hanyalah proses kampanye lalu pemilihan. Orang berpikir, pilihan-pilihan yang disediakan kepada mereka adalah pilihan yang tidak bisa mereka pengaruhi prosesnya. Jadi mereka tinggal dihadapkan pada pilihan itu, dan memilih yang terbaik dari yang ada.

Orang sudah demikian terjebak pada pragmatisme yang dibangun oleh partai-partai dan para politikus. Partai-partai maupun politikus menjadikan pemilu hanya sebagai arena pertarungan untuk berebut kuasa. Rakyat dengan senang hati menjadi bagian dari pertarungan itu, dengan melupakan hal-hal yang lebih substansial seperti ideologi, masa depan bangsa, dan pembangunan.

Ungkapan tadi, bahwa pemilu adalah untuk mencegah yang lebih buruk berkuasa, bahkan mencerminkan kerelaan untuk turun lebih rendah lagi. Orang pasrah bahwa politik memang hanya patut diisi oleh orang-orang kotor, yang sanggup melakukan hal-hal kotor.

Dengan pemilu kita memilih anggota legislatif yang akan membuat undang-undang dan peraturan daerah. Kita juga memilih presiden dan kepala daerah. If we just choose the lesser evil, we still choose the evil. Karena itu pemilu tidak boleh memasang target minimalis. Politikus dan partai politik harus didorong untuk meningkatkan kualitas.

Bagaimana caranya? Pertama, tetapkan standar untuk pilihan kita. Tetapkan standar yang tidak rendah. Jangan mau jadi pemilih murahan yang mau memilih politikus atau partai berstandar rendah. Kalau tidak ada yang memenuhi standar, bagaimana? Jangan pilih. Artinya abstain atau golput? Iya.

Tapi bukankah itu sama halnya dengan membiarkan yang terburuk berkuasa? Tidak. Itu hanya pernyataan propaganda politik kelompok yang mengklaim pihak mereka lebih baik. Dalam konteks pilpres sekarang, kedua kubu mengeluarkan pernyataan itu untuk orang-orang yang dianggap potensial menjadi pemilih kelompoknya. Ada asumsi, bahwa Anda adalah calon pemilih yang akan memilih kelompoknya.

- Advertisement -

Kita bisa buat hitungan sederhana. Kalau ada kandidat A dengan elektabilitas 55%, kandidat B 45%, lalu Anda memilih golput, apa yang akan terjadi? Kandidat A akan menang. Anda tidak mengubah peta apa pun. Yang tadinya akan menanglah yang menang. Kecuali tentu saja, kalau Anda adalah pendukung A yang kemudian memutuskan untuk tidak memilih. Seandainya pun iya, Anda tidak perlu berkecil hati. Anda seorang swing voter, hal biasa dalam pemilu. Anda hanya tidak berayun ke pihak sana, tapi hanya tidak memilih saja.

Tapi apa efeknya? Dalam jangka pendek tidak ada. Seperti digambarkan di atas, Anda tidak berkontrobusi membuat perubahan. Anda menyerahkan kepada pemilih lain untuk memutuskan. Tapi secara jangka panjang, kalau itu menjadi fenomena besar, itu akan menurunkan legitimasi pemilu. Meski tidak mutlak, efeknya bisa membuat partai dan kandidat berpikir, dan sadar bahwa pemilih sudah semakin cerdas.

Ibarat 2 orang sedang berjualan di pasar, sedikit yang membeli. Salah satu dari mereka tetap akan menjadi penjual dengan dagangan paling banyak dibeli. Tapi mereka sadar bahwa dagangan mereka tidak laku. Itu bisa jadi tekanan untuk memperbaiki diri.

Jadi, solusinya adalah golput? Bukan. Solusinya adalah tetapkan standar, platform bagi pilihan Anda. Posisikan bahwa Anda bukan pemilih yang terbaik di antara yang buruk. Anda adalah pemilih yang hanya mau memilih yang baik.

Selain itu jagalah jarak dari politikus. Biasakan mengkritik mereka. Jangan memaklumi kesalahan mereka. Lebih-lebih lagi, jangan mencari-cari dalih untuk membenarkan tindakan politikus. Jangan jadi pengikut seperti orang-orang yang berada di suatu sekte agama.

Politikus itu bukan nabi. Mereka hanyalah orang yang hendak kita beri tugas melakukan pekerjaan untuk kita. Kita yang seharusnya menentukan bagaimana mereka harus bersikap.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.