Siniar (podcast) komedian Pandji Pragiwaksono kian menegaskan bahwa budaya kita adalah sedikit tahu, tapi sudah merasa sok tahu. Sedikit saja tahu tentang gambaran FPI beserta Muhammadiyah dan NU di Jakarta, tapi sudah berani membuat kesimpulan sembrono bahwa Muhammadiyah dan NU jauh dari rakyat kecil. Beda dengan FPI yang diklaimnya dekat dengan akar rumput. Istilah kiwarinya, sotoy.
Apalagi, pembacaan itu tidak lahir dari pengalaman sendiri. Akan tetapi meminjam ungkapan dari sosiolog Thamrin Tomagola.
Tak pelak, kritik konyol yang tidak pada tempatnya itu langsung dihujani sejumlah tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Misalnya dari Savic Ali ini. ”Statemen ’dua ormas besar Islam (NU dan Muhammadiyah) jauh dari rakyat. Mereka elite-elite politik.’ Apakah juga kutipan dari Pak @tamrintomagola? Buat saya statemen soal FPI dekat dengan (sebagian) rakyat oke aja, tapi imbuhan (karena) NU-MU jauh dari rakyat dan elitis problematis,” cuit Savic Ali, pemimpin redaksi Islami.co yang berafiliasi dengan NU, melalui akun Twitter-nya.
Ketua Umum Cyber Indonesia Muannas Alaidid juga turut berkomentar. ”Jadilah komedian yg baik, jgn komentarin & menghukumi sesuatu yg anda @pandji tdk ketahui, Dzolim anda. NU & Muhammadiyah berjasa dlm mencerdaskan kehidupan bangsa & membantu masy. saran sy unt para pembohong & pengadu domba sebaiknya MINTA MAAF kpd ke 2 ormas islam terbesar tsb,” katanya di akun @muannas_alaidid.
Dua ormas yang jadi sasaran pun tak luput memberikan tanggapan. Diwakili oleh generasi muda masing-masing. Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Razikin menyebut pernyataan sang komedian berpotensi menyinggung perasaan kader yang kini malah tengah berjuang membantu korban bencana di Sulawesi Barat dan Kalimantan Selatan.
”Saya hanya sarankan kepada saudara Pandji, jika ingin menjadi analis sosial, perlu banyak baca, jangan asal ngoceh saja. Ocehan suadara itu dapat menimbulkan kemarahan kader-kader Muhammadiyah,” katanya dikutip dari Sindonews, Kamis (21/1).
Senada, Ketua Bidang Kajian Strategis Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Nuruzzaman menilai bahwa pernyataan Pandji itu tak berdasar karena tak mengetahui realitas yang terjadi di lapangan dan tak pernah belajar dari sejarah. ”Orang dia komedian. Ya, kita tertawain aja, kan sedang melucu. Ngapain serius-serius. Menurut saya karena memang Pandji ga tau saja. Pandji gak tau. Gak pernah mau belajar atau tidak buka sejarah,” kata Nuruzzaman dilansir dari CNNIndonesia.com, Kamis (21/1).
Ucapan yang Jadi Bola Panas
Sudah sewajarnya seorang influencer (pemengaruh) yang merangkap komedian seperti Pandji Pragiwaksono menanggung dampak dari perbuatan yang dilakukannya. Termasuk kritik ”serangan balik” dari warganet. Itulah hukum sebab akibat. Hal itu tak lain karena ia adalah influencer dan amat mungkin ucapannya dapat memengaruhi persepsi publik, khususnya para pengikutnya. Sebab, menurut analis media sosial Drone Emprit and Kernels Indonesia Ismail Fahmi, seorang influencer sudah punya pengaruh yang cukup besar.
Pernyataan seperti ini amat berbahaya jika dialamatkan kepada masyarakat post-truth. Masyarakat yang hidup di era ketika persepsi mereka tidak lagi dibentuk oleh fakta dan rasio, melainkan oleh sentimen dan kepercayaan. Bahaya sekali apabila pengikut Pandji di YouTube yang jumlahnya ratusan ribu itu turut mengafirmasi pernyataan sang pemengaruh. Apalagi sampai ada buzzer (pendengung) yang ikut campur di dunia maya.
Saya jadi teringat kasus YouTuber Indira Kalistha yang memancing kesumat warganet juga akibat ocehan ngawurnya yang meremehkan virus korona kala itu. Hingga akhirnya, yang bersangkutan meminta maaf secara terbuka karena tampaknya tak tahan mendapat hujatan dari warganet.
Saya pikir, Pandji mesti belajar dari kasus tersebut. Di era serbainternet seperti saat ini, ucapan kontroversial seorang influencer amat mudah menjadi bola panas yang menggelinding liar. Terlebih, komentar Pandji berada di momen setelah FPI dibubarkan pemerintah sebelum kemudian ”berganti baju” menjadi FPI juga, Front Persaudaraan Islam.
Pandji boleh mengagung-agungkan setinggi langit ormas satu, tapi tak eloklah kalau harus membanding-bandingkan dengan dua ormas lain. Sebab, ia hanya mengambil contoh sebagian untuk membuat kesimpulan secara keseluruhan. Itu pun kalau contoh yang diambil benar. Benar secara faktual atau juga benar berasal ucapan Thamrin Tomagola yang dikutipnya. Inilah yang dalam kajian bahasa disebut pars pro toto, tapi dalam versi yang keliru: penyebutan suatu bagian benda yang mewakili keseluruhan benda itu.
Pandji harus pandai-pandai membaca, baik membaca tulisan maupun membaca situasi. Janganlah pengetahuan yang seujung kuku itu kemudian dijadikan konklusi yang pada akhirnya mendiskreditkan Muhammadiyah dan NU. Pandji mesti juga turun dari pucuk menara gading dan melawat ke desa-desa nun jauh dari ibu kota bahwa di sana telah hidup ranting-ranting Muhammadiyah yang tentu saja berdampingan dengan wong cilik.
Jangan melihat Indonesia dari kacamata Jakarta melulu. Jangan hanya melihat Muhammadiyah dan NU di bawah langit ibu kota.
Yang juga mesti diketahui Pandji, dakwah amar makruh nahi mungkar Muhammadiyah memang tidak berada di ruang gegap gempita. Dakwah Muhammadiyah kerap berada di ruang sunyi, jauh dari ingar-bingar suatu perkara. Bukan, misalnya, mengutip Nadjib Hamid, identik dengan membawa pentungan ke tempat kemungkaran seraya memekikkan takbir sambil ngaploki para pelaku maksiat dan memorak-porandakan tempat maksiatnya.
Sejak awal, dakwah amar makruf nahi mungkar persyarikatan berada dalam bingkai gerakan kultural tanpa aura riuh rendah. Pendirian sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, panti sosial, hingga model anyar MDMC dan MCCC menunjukkan bahwa dakwah Muhammadiyah sungguh nyata dan manfaatnya dirasakan masyarakat. Kendati tidak tersorot gempita media.
”Melihat kasusnya, ternyata pengetahuan Pandji segitu lah. Mungkin membacanya kurang banyak, srawung-nya (bersilaturahmi) kurang jauh,” komentar seorang teman.