Selasa, Maret 19, 2024

Orang Kristen Bukan Musyrik dan Kafir? (Bag. 1)

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Dalam kitab Syarh al-Maqâshid, Sa’duddin al-Taftazani (w. 792), salah seorang teolog terkemuka dalam mazhab Sunni, menyertakan satu bab khusus yang ia beri judul dengan bab fi al-Asmâ wa al-Ahkâm (seputar nama-nama dan hukum-hukum)

Bab tersebut mengulas secara panjang lebar tentang terma-terma kunci untuk menjelaskan siapa itu orang beriman, siapa itu kafir, siapa itu Ahlu Kitab, siapa itu munafik, siapa musyrik, dan penamaan-penamaan lainnya yang bisa diberlakukan kepada seorang mukallaf, beserta hukum-hukum yang mengitarinya. Hukum orang kafir itu seperti apa, orang beriman itu seperti apa, orang musyrik itu bagaimana, dan begitu seterusnya.

Penjelasan mengenai istilah-istilah itu menjadi penting, karena baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam diskusi-diskusi ilmiah kita seringkali menjumpai orang-orang yang memaknai istilah-istilah tersebut secara keliru. Yang satu dicampuradukkan dengan yang lain.

Menyebut orang musyrik sebagai orang beriman, dan menyebut orang beriman sebagai orang musyrik. Menyebut orang beriman dengan sebutan kafir, dan menyebut orang kafir dengan sebutan orang beriman. Konsekuensinya, tidak ada batasan yang tegas antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Hal itu sering kita jumpai. Tak terkecuali ketika kita berjumpa dengan tulisan-tulisan Mun’im Sirry.

Dalam pandangan Mun’im, misalnya, orang Kristen itu disebut sebagai orang beriman. Karena mereka masih percaya Tuhan dan hari akhir. Dan karena mereka orang beriman, maka mereka tidak boleh dikafirkan. Sebagaimana tidak boleh dikafirkan, mereka juga—seperti yang dia tegaskan dalam salah satu tulisan yang lalu—tidak boleh disebut musyrik. Keliru kalau kita menyebut mereka sebagai orang-orang musyrik.

Alhasil, orang Kristen itu, dalam pandangan Mun’im, bukan orang kafir, juga bukan orang musyrik. Lalu apa? Mereka adalah orang-orang beriman (mu’minûn). Persis seperti umat Muslim yang memiliki kesempatan yang sama untuk meraih keselamatan.

Keyakinan orang Kristen akan ketuhanan Yesus tidak menjadi soal. Sebab, dalam pandangan Mun’im, kritik yang tersaji dalam al-Quran tidak tertuju kepada keyakinan yang dianut oleh mayoritas umat Kristiani sekarang.

Trinitas itu, kata Mun’im, berbeda dengan tritseisme. Yang hendak dikritik al-Quran itu ialah tritseisme (keyakinan akan tiga Tuhan), bukan trinitas (Satu Tuhan dalam tiga pribadi). Karena itu, keliru besar kalau Anda mengkritik pandangan kaum Kristiani dengan kritik yang Anda temukan dalam al-Quran.

Al-Quran hanya ingin berpolemis dan memenangkan kontestasi teologis saja. Tidak menggambarkan keyakinan umat Kristiani sebagaimana adanya. Itulah ringkasan dari pandangan Mun’im, yang saya baca dari beberapa buku dan artikel-artikelnya.

Banyak poin yang bisa kita komentari dari gagasan Mun’im itu. Tapi, masalahnya, sejak awal saya cukup ragu, apakah Mun’im—sebagai seorang doktor yang konon ahli dalam bidang studi al-Quran itu—bisa menjelaskan istilah-istilah kunci yang dia kemukakan itu dengan benar?

Apakah dia bisa memberikan definisi yang tepat tentang siapa itu mukmin dan siapa itu kafir, misalnya? Siapa itu musyrik dan siapa itu Muslim? Apakah Mun’im bisa membedakan istilah-istilah itu dengan baik? Kalau Mun’im termasuk sarjana yang layak diperhitungkan, setidaknya dia harus tahu tentang kaidah-kaidah dasar dalam membangun suatu definisi yang benar.

Problem Definisi

Tak ada yang bisa menolak bahwa perumusan definisi yang benar dalam membangun suatu argumen itu sangatlah penting. Dari definisi yang salah pasti akan lahir kesimpulan yang salah. Dengan definisi yang benar, kita juga tak akan sulit untuk melahirkan kesimpulan yang benar.

Seorang pengkaji ilmiah yang jujur pasti tak akan memandang remeh tentang pentingnya definisi ini. Sebab dialah yang menjadi fondasi utama di balik kokoh-tidaknya suatu argumen. Kalau merumusakan definisi saja sudah kacau, bagaimana mungkin kita bisa puas dengan kesimpulan yang dia hasilkan?

Definisi itu, kata para logikawan, harus jelas cakupannya, harus jelas pembedanya. Pertanyaannya: Kalau orang Kristen dikatakan beriman, lantas bagaimana Anda membedakan orang beriman dengan orang kafir? Dan bagaimana Anda membedakan orang kafir dengan orang musyrik?

Tiga istilah ini, dan istilah-istilah lainnya, tentu harus diberikan penjelasan yang tegas dan jelas sebelum ketiganya kita berlakukan kepada satu individu atau kelompok tertentu.

Mungkin Mun’im mengira bahwa orang Kristen itu dikatakan beriman karena mereka masih percaya Tuhan dan percaya pada hari akhir. Karena itulah dua fondasi keimanan utama yang termaktub dalam salah satu ayat al-Quran.

Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (QS [2]: 62).

Merujuk pada ayat di atas, kepercayaan orang Kristen terhadap dua asas keimanan tersebut cukup menjadi alasan bagi kita untuk menyebut mereka sebagai orang-orang beriman.

Sayangnya Mun’im lupa, bahwa al-Quran bukan undang-undang dasar yang bisa dicomot pasal per-pasal dan setelah itu dilahirkan satu kesimpulan universal. Ayat al-Quran saling melengkapi satu sama lain. Meminjam ilustasi para mufassir, ayat al-Quran itu ibarat satu kesatuan rantai yang tak terpisahkan.

Yang tidak dijelaskan oleh ayat yang satu, dijelaskan oleh ayat yang lain. Yang tidak disinggung oleh ayat yang satu, dirinci oleh bunyi ayat yang lain. Begitulah ciri khas al-Quran.

Alhasil, tidak bisa kita mencomot satu ayat kemudian melahirkan kesimpulan yang bersifat universal tanpa memerhatikan ayat yang lain. Sebagai seorang sarjana studi al-Quran, Mun’im harusnya tahu dan mengamalkan itu.

Penyebutan Tuhan dan hari akhir dalam ayat tersebut tentu tak berarti bahwa dasar keimanan hanya terbatas pada dua asas itu saja. Bagaimana dengan malaikat? Kitab suci? Dan nabi-nabi? Bukankah itu juga termasuk dasar-dasar keimanan yang harus kita percayai?

Dua asas tersebut disebutkan karena dia yang menjadi dasar utama, yang kalau saja keduanya diimani, maka dasar-dasar keimanan yang lain juga pasti tak akan dia ingkari. Tapi itu bukan berarti bahwa dasar keimanan itu hanya terbatas pada dua asas itu saja.

Dalam ayat lain, misalnya, al-Quran menyebutkan bahwa keimanan terhadap para rasul juga merupakan bagian dari dasar-dasar keimanan, yang kalau saja diingkari, maka yang bersangkutan tergolong sebagai orang-orang kafir. Perhatikan ayat ini dengan baik:

Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain), serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir), merekalah orang-orang kafir sebenarnya. Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan. (QS [4]: 150-151). Bersambung.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.