Kamis, Maret 28, 2024

Oposisi Setengah Hati Prabowo Subianto

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.

Kalau diibaratkan permainan sepak bola, kubu calon presiden Prabowo Subianto itu sudah tertinggal cukup jauh dari lawannya, Joko Widodo.

Sejumlah survei oleh berbagai lembaga menunjukkan bahwa Jokowi unggul dengan tingkat elektabilitas di atas 50 persen. Ada yang hasil surveinya tampak sangat meyakinkan, dengan tingkat elektabilitas sampai 57 persen. Sedangkan Prabowo tidak jauh beranjak dari angka 30 persen. Poin tertinggi yang bisa ia raih adalah sekitar 35 persen. Kalau dalam pertandingan sepak bola, Prabowo sudah tertinggal dengan skor 0-3.

Apakah pertandingan sudah berakhir? Tidak. Sebagai petahana yang mengklaim diri sudah banyak membuat perubahan, sebenarnya elektabilitas Jokowi yang sekitar 50 persen itu tergolong rendah. Seharusnya ia bisa punya elektabilitas 60 persen lebih. Masih terbuka cukup lebar peluang Prabowo untuk membalikkan keadaan.

Masalahnya, Prabowo tidak pandai bermain. Alih-alih melakukan manuver yang menusuk pertahanan lawan, mencetak gol untuk meraih kemenangan, Prabowo banyak terjebak off side dan melakukan kesalahan. Konyolnya, kesalahan itu dilakukan di daerah pertahanan sendiri, di dekat kotak penalti sendiri, sehingga memberi peluang besar bagi lawan untuk mencetak gol.

Prabowo mencoba membangun serangan untuk menurunkan pamor Jokowi. Sayangnya isu yang ia pilih sangat konyol. Ambil contoh isu kekerasan yang dialami oleh Ratna Sarumpaet. Prabowo melihat itu sebagai peluang, ibarat sebuah umpan terobosan dari pemain belakang. Tapi ia sangat ceroboh, sehingga umpan itu direbut dan dimakan lawan.

Lalu ia mencoba membangun isu soal kegagalan pembangunan. Ia mengangkat isu kesenjangan. “Tragedi Boyolali” yang akhirnya mempermalukan Prabowo itu adalah usaha untuk membangun retorika bahwa pembangunan oleh Jokowi gagal, karena hanya menghasilkan kesenjangan. Sayangnya, teknik permianan yang disuguhkan Prabowo sangat mentah. Retorikanya sangat buruk, sehingga justru jadi bumerang. Kesalahan yang sama ia ulangi dalam isu tukang ojek.

Apa maumu, Prabowo? Ada begitu banyak amunisi untuk menyerang Jokowi. Pertahanan Jokowi di titik strategis sebenarnya banyak yang terbuka dan lemah. Misalnya dalam soal pembangunan infrastruktur yang jadi andalannya. Kini proyek LRT dan kereta cepat Jakarta-Bandung dihentikan. Apa masalahnya? Satu, ini soal lemahnya perencanaan dan koordinasi. Pembangunan itu menimbulkan efek sampingan yang sangat besar, yaitu kemacetan yang sangat parah.

Kalau cerdik memainkan isu, justru situasi ini bisa diolah menjadi serangan tajam ke jantung pertahanan Jokowi. Prabowo bisa menunjukkan bahwa telah terjadi salah kelola dalam program pembangunan infrastruktur Jokowi. Kumpulkan data, tunjukkan berapa kerugian yang ditimbulkan akibat salah kelola itu. Itu akan jadi peluru yang sangat tajam, yang meyakinkan bahwa Jokowi tidak cukup berhasil.

Soal pembangunan ini bukan hanya perkara lemahnya perencanaan. Mungkin juga ada masalah anggaran di situ, sehingga dihentikan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa penghentian itu berefek positif terhadap neraca perdagangan. Artinya, selama ini pembangunan itu telah mengganggu neraca perdagangan, yang akibat nyatanya adalah melemahnya nilai tukar rupiah. Artinya pembangunan itu dilakukan dengan cara yang ceroboh.

Demikian pula isu-isu lain. Penganiaya Novel Baswedan belum juga jelas dalangnya. TKW kita dipancung di Saudi Arabia tanpa sepengetahuan pemerintah. Baiq Nuril divonis penjara atas kejahatan yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Hal-hal seperti ini pun tidak diolah oleh tim Prabowo menjadi serangan tajam kepada pemerintah.

Prabowo dan timnya mungkin terlena dengan pendukungnya sendiri. Ibarat dalam permainan sepak bola lagi, setiap mereka menggiring bola, pendukung mereka berteriak histeris. Teriakan itu dianggap sudah cukup oleh Prabowo. Ia menganggap sorakan itulah kemenangan. Jadi ia tak lagi bernafsu untuk menyerang dan mencetak gol.

Lebih mengkhawatirkan lagi, jangan-jangan Prabowo memang tidak bernafsu lagi untuk menang. Ia sudah merasa kalah. Ia merasa sudah jauh tertinggal, dan hanya ingin berlari-lari menggiring bola tanpa perlu mencetak gol. Prabowo memang sudah tua. Kelelahan tak lagi bisa ia sembunyikan. Yang tersisa hanya gengsi, malu kalau menyerah kalah. Tapi gengsi itu tidak cukup untuk menutupi fakta kelelahannya.

Tidak tampak ada kreativitas pada kubu Prabowo. Anak-anak muda yang berkumpul di kubu itu tampaknya lebih mementingkan eksistensi mereka sendiri ketimbang kemenangan Prabowo.

Dalam politik, ini situasi yang buruk. Oposisi seharusnya memainkan peran penyeimbang dan pengoreksi. Peran itu tidak mampu dimainkan oleh Prabowo dan timnya. Ini adalah tim yang berpolitik tanpa ideologi, tanpa gagasan, tanpa energi.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.