Didirikan pasca pemilihan umum, 16 November 2014, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) baru diakui eksistensinya pada 7 Oktober 2016, dan terdaftar sebagai peserta pemilu 2019 dengan nomer urut 11. Partai politik yang dipimpin mantan penyiar televisi Grace Natalie, ini menyasar generasi muda (milenial), kaum perempuan serta konstituen lintas agama.
Memosisikan diri sebagai partai “tengah,” PSI sudah menimbulkan tanda tanya ketika mereka langsung menyatakan mendukung Joko Widodo sebagai calon presiden 2019. Artinya, sejak awal, PSI sudah menggabungkan dirinya sebagai partai koalisi bersama PDIP (18,95%), Partai Golkar (14,75), Partai Nasdem (6,72), PKB (9,04), PPP (6,53), Partai Hanura ((5,26), PKPI (0,91), PBB (1,46) plus partai baru Perindo. Dan, kini bersama-sama mereka mengusung pasangan calon presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin dengan nomer urut 01.
Sebagai parpol baru, di tengah kemelut dan ketidakpercayaan publik terhadap parpol lama, oposisi maupun koalisi pemerintah — yang tidak luput dari praktik kolusi korupsi dan nepotisme serta oknum-oknumnya pernah terkena operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) — PSI tentu harus langsung melakukan “diferensiasi” (differentiation).
Karena ingin menggaet pemilih pemula dan pemilih dewasa yang kecewa terhadap perilaku parpol lama, PSI tentu harus membedakan dirinya secara nyata dan tegas. Untuk itulah, sesuai dinamika yang ada, PSI langsung mewacanakan melawan intoleransi, poligami, peraturan daerah berdasarkan syariah, korupsi, kebobrokan/kemalasan anggota parlemen, dan ancaman fundamentalisme.
Ketika parpol lama hanya membahas aneka wacana itu secara bisik-bisik, namun tak berbuat apa-apa, PSI justru meneriakkannya dengan lantang (il dit tout haut, ce que les autres pensent tout bas). Sesuatu yang memang seharusnya dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat. Ibarat di tengah pasar atau di dalam mal yang heboh, PSI harus berteriak. Pertama, agar publik tahu apa siapa yang berbicara begitu lantang. Kedua, agar publik menyimak apa yang mereka katakan dan apa alasannya. Ketiga, agar publik memberikan reaksi pro atau kontra terhadap pernyataan mereka. Keempat, mengamati bagaimana reaksi publik: tak peduli, tidak ingin tahu, atau hanya menganggap hal itu sebagai teriakan dari yang ingin mencari perhatian.
Dari pantauan media massa (cetak dan elektronik) serta dari pelbagai paltform media sosial, tampaknya PSI cukup mencapai ketiga tujuan itu. Diperkuat dengan dengan pelbagai informasi yang mereka sendiri umumkan melalui iklan di media cetak dan elektronik serta di media luar ruang.
Reaksi kontra tampaknya hanya muncul dari kalangan yang tidak melarang poligami, dan yang menganggap perda syariah merupakan ketetapan yang sudah diputuskan final di daerah tertentu, sehingga tidak boleh diganggugugat lagi. Padahal, poligami bukanlah monopoli penganut agama tertentu, karena pemeluk agama lain juga ada yang melakukannya, baik resmi maupun tak resmi.
Sementara perda syariah di luar wilayah istimewa/khusus adalah melanggar hak asasi manusia dan tidak sesuai konstitusi dan dasar negara. Dan, kasus intoleransi seperti penolakan/pengusiran pemeluk agama tertentu dari suatu wilayah agama lain, memang muncul beberapa kali dan ditanggapi secara lantang oleh para pengurus PSI.
Dalam beberapa kasus itu, suara PSI cukup terdengar dan didengar oleh kelompok minoritas yang menjadi korban. Sehingga, PSI mendapatkan simpati dan banyak yang berjanji akan memberikan suaranya pada pemilihan anggota legislatif 17 April 2019, bersamaan dengan pemilihan presiden. Baik untuk calon mereka di DPR maupun di DPRD Provinsi dan DPRD Kota/Kabupaten.
Di lain pihak, banyak pula yang mempertanyakan dan menyayangkan, sebagai parpol baru dan ikut dalam koalisi pemerintahan, mengapa PSI justru ikut mengecam dan mempertanyakan komitmen partai-partai koalisi, yang tampaknya tidak hirau terhadap pelbagai kecemasan yang dirasakan sebagian anggota masyarakat, serta tidak melakukan tindakan atau pernyataan apa pun, paling tidak, sebagai wujud dari kepedulian partai itu terhadap kondisi Negara dan Bangsa yang sudah dalam keadaan bahaya.
Sebuah sikap yang mendapatkan apresiasi banyak pihak, sekaligus menunjukkan kemandirian dan perbedaan. Sejatinya, suara lantang yang seperti itulah yang kelak akan diperlukan, ketika Jokowi-Amin terpilih, untuk menghadapi pihak oposisi, bila parpol koalisi lainnya enggan melawan secara terbuka.
Sayangnya, waktu untuk mempromosikan diri menjelang pemilu 2019 terlalu singkat. Kesempatan untuk menjaring pemilih pemula juga tampak kurang gegap gempita di media sosial. Padahal, sasaran utama mereka adalah generasi milenial yang belum tercemari oleh politik dan politisi busuk. Para pemilih muda juga tampaknya kurang cukup waktu untuk merenung dan berpikir merdeka, atau untuk memisahkan diri dari simpati dan pilihan politik kedua orangtua atau keluarga mereka, terhadap parpol yang sudah diwarisi turun-temurun sejak Orde Baru (1965-1998), dan yang kemudian dilahirkan Orde Reformasi (yang gagal dan telah “dijual” oleh mereka yang mengaku sebagai pelopor utamanya).
Sedangkan untuk menarik simpati dari generasi yang lebih dewasa, tampaknya PSI juga belum cukup memperluas wacana ke wilayah utama yang menjadi problem majeur bangsa ini sekarang dan ke depan: ideologi (Pancasila vs Khilafah), lingkungan hidup, revolusi industri 4.0, lapangan kerja (termasuk “yang online-online itu”), hukum dan penegakan hukum, serta kebudayaan.
Memang, sumberdaya PSI sebagai parpol baru mungkin masih belum cukup. Masyarakat juga belum melihat apa dan bagaimana grand-design PSI untuk Indonesia Masa Depan. Dan sebagai (calon) legislator, para caleg dari PSI pun belum banyak mengungkapkan inisiatif undang-undang apa saja yang akan diusulkan/dibuat/direvisi untuk memperbaiki keadaan negeri yang tingkat/indeks kolusi/korupsinya belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berkurang ini.
Toh, sebagai parpol baru, yang dipimpin orang muda dari generasi baru, yang belum punya pengalaman dalam politik praktis (keluhuran maupun kebusukannya), kemunculan PSI tetap menarik. Selain cantik.
Semoga PSI mendapatkan perolehan suara mencapai ambang batas parlemen empat persen. Kalaupun tidak, diharapkan PSI bisa punya kursi di DPRD I dan DPRD II. Sehingga, bakat-bakat muda yang belum terkontaminasi kebobrokan/kemalasan anggota parlemen tua, bisa memberikan harapan pada generasi baru. Tentu saja dengan tetap meneriakkan secara lantang apa yang oleh parpol lain hanya dijadikan wacana bisik-bisik (atau bahkan menjadi transaksional).
Dengan begitu, citra PSI tidak hanya akan dinilai dari kecantikan dan kegantengan pengurus/anggotanya, tetapi juga dari kepedulian, kejujuran, kecerdasan, kedisiplinan dan ketegasan sikapnya dalam segala hal. Termasuk mengkritisi pihak eksekutif yang tidak becus atau korup. Dan jangan lupa, harus tetap punya cukup nyali dalam menghadapi tekanan dari kelompok fundamentalis/radikalis/ekstremis yang ingin menggantikan ideologi Pancasila, Dasar Negara, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sesuatu yang akan dapat dijadikan bekal untuk pemilu 2024. Sementara saya pribadi akan mencoblos No. 01 & Paket No. 11. Insyaallah.