Acara gerakan #2019GantiPresiden kembali mendapat penolakan di Pekanbaru. Banyak orang membela kelompok yang dimotori oleh Mardani Ali Sera dan Neno Warisman ini dengan alasan kebebasan menyatakan pendapat. Bagi saya ini bukan lagi sebuah pernyataan pendapat, tapi sebuah kampanye politik.
Mardani dan Neno Warisman itu politikus aktif dari sebuah partai politik, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Agenda ganti presiden ini juga jelas-jelas merupakan agenda PKS. Kegiatannya deklarasi, mengumpulkan banyak orang, menggiring orang pada suatu preferensi politik tertentu. Itu adalah kampanye.
Mengganti presiden itu sah bila dilakukan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum dilakukan di bawah tata tertib yang sudah ditetapkan melalui undang-undang. Termasuk di dalamnya ada tata tertib kampanye. Gerakan ganti presiden di luar masa kampanye, yang disponsori oleh sebuah partai politik pengusung salah satu calon presiden adalah kampanye liar.
Bagaimana dengan gerakan sejenis, misalnya yang menyatakan ingin tetap Jokowi? Sama saja. Itu juga sebuah kampanye liar. Demikian pula usaha-usaha untuk menghalangi gerakan-gerakan tersebut oleh kelompok mana pun. Jadi gerakan kelompok Neno Warisman itu adalah kampanye liar, dan gerakan orang-orang yang menghadangnya juga gerakan liar. Gerakan liar lawan liar seperti ini harus dihentikan.
Orang-orang yang berdalih bahwa gerakan itu bukan kampanye adalah orang-orang yang terbiasa menutupi substansi dengan dalih-dalih formal. Itu mirip dengan orang yang mengaku tidak makan nasi, tapi menghabiskan tiga mangkuk lontong. Sekali lagi ini jelas sebuah kampanye politik milik PKS. Agendanya untuk meraih dukungan untuk PKS, juga untuk calon presiden yang didukungnya. Metodenya, mengumbar keburukan lawan. Sekali lagi, ini bukan sekadar sebuah pernyataan pendapat.
Banyak politikus tak beretika yang mencoba menutupi substansi dengan dalih-dalih formal. Sebelum 2014, Prabowo sudah menebar iklan politik dengan memakai statusnya sebagai Ketua HKTI. Tidak ada logo Gerindra di situ. Juga tidak ada ajakan untuk menjadikan Prabowo sebagai presiden. Tapi coba kita tanya Prabowo, untuk apa dia beriklan? Kalau dia jujur, pasti jawabannya untuk menjadi presiden.
Tidak hanya Prabowo yang begitu. Aburizal Bakrie menghabiskan entah berapa ribu jam tayang untuk mengiklankan dirinya. Demikian pula Hari Tanoe, Wiranto, Soetrisno Bachir, dan lain-lain. Mereka tentu saja berdalih bahwa itu bukan kampanye. Tapi masyarakat tidak bodoh, mereka tahu bahwa itu adalah iklan kampanye.
Para politikus berdalih menutupi substansi, lembaga pengawas dalam hal ini Bawaslu berlagak pilon. Sandarannya hanya pada asas legal formal belaka. Etika politik yang seharusnya jadi fondasi penting demokrasi justru diabaikan. Secara keseluruhan Bawaslu itu lembaga yang lembek. Nyaris tidak ada hal besar yang pernah ditangani Bawaslu terkait pelanggaran pemiu. Yang ditangani hanya hal-hal yang bersifat tetek bengek saja.
Politik uang, misalnya, begitu telanjang terjadi di mana-mana, di berbagai level pemilihan umum. Tapi hanya secuil yang pernah ditindak oleh Bawaslu. Bawaslu tidak punya cukup perangkat untuk mengumpulkan bukti berbagai pelanggaran. Atau lebih tepat lagi, mereka enggan bekerja keras untuk melakukan itu. Mereka lebih nyaman duduk di kantor yang sejuk, dengan jabatan mentereng, sambil sesekali tampil di media.
Demokrasi tidak hanya tegak di atas aturan-aturan formal, tapi juga di atas etika. Aturan formal bahkan bisa dibuat oleh para politikus demi kepentingan mereka. Kita semua tentu masih ingat bagaimana DPR membuat UU MD3 yang isinya sangat anti demokrasi itu. Kalau kita hanya berpatokan pada hal-hal legal formal, maka kita harus menerima undang-undang yang antidemokrasi itu. Tentu saja hal itu tidak bisa kita lakukan.
Politikus yang memakai dalih formal untuk menutupi substansi adalah orang yang korup dalam pikiran (corrupted mind). Pikiran korup ini bisa menjadi dasar tindakan korup. Berbagai bentuk korupsi di ranah legal formal berawal dari pikiran korup ini. Tak heran bila berbagai kasus korupsi terus muncul, dengan pelaku para politikus tadi. Pangkalnya adalah tindakan berbasis pikiran korup yang tidak pernah ditegur. Alih-alih ditegur, perilaku korup
itu malah dibela.
Saya berulang kali menegaskan, jangan maklumi politikus. Politikus itu terbiasa melanggar. Hal-hal yang sudah jelas secara legal formal pun mereka langgar. Apalagi yang sifatnya abu-abu. Kita sebagai pemilih jangan biasakan membela mereka. Sebaliknya, kita harus terus melancarkan kritik. Kalau tidak begitu, kita akan terus dimanipulasi dan ditipu.
Pelanggaran kampanye ini termasuk yang harus dikritik keras. Pemilih tidak seharusnya membiarkan pelanggaran semacam ini. Juga tidak sepatutnya turut serta. Sayangnya sangat banyak pendukung politik yang kehilangan nalarnya, dan mendukung politikus secara membabi buta.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah gerakan spontan masyarakat yang hendak mengungkapkan pendapat. Sama sekali bukan. Gerakan #2019GantiPresiden adalah gerakan sistematis sebuah kekuatan politik untuk suatu kepentingan politik. Gerakan yang mengadangnya juga bukan gerakan spontan. Itu juga sebuah gerakan politik sistematis.
Bila hal-hal semacam ini dibiarkan, politik kita akan makin banyak diisi oleh hal-hal liar. Kita tidak sedang membangun demokrasi, tapi hanya politik liar. Politik liar sangat rawan berkembang menjadi konflik horizontal dan anarki. Kalau semakin sering, anarki dan konflik itu gampang membesar, lalu sulit dikendalikan. Karena itu perlu dicegah sejak dini.
Bawaslu sekali lagi perlu keluar dari zona nyaman, dari sebuah lembaga yang hanya peduli soal-soal legal formal menjadi lembaga yang juga peduli pada etika. Jadilah lembaga penegak dan pengawal demokrasi.