Sabtu, April 20, 2024

Kasus Neneng Nurhasanah dan Persoalan Birokrasi Kita

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.

Bupati Bekasi Neneng Nurhasanah ditangkap KPK. Neneng bersama beberapa orang pejabat Pemda Bekasi diduga menerima suap dalam proses perizinan proyek perumahan berskala raksasa milik konglomerasi Lippo Group yang dikenal dengan nama Meikarta.

Neneng menjadi kepala daerah yang entah keberapa yang dicokok KPK karena korupsi. Ia juga bukan kepala daerah pertama yang dicokok karena kasus suap perizinan, khususnya perizinan untuk bisnis properti.

Apakah kita bahagia dengan situasi ini? Banyak orang bahagia. Mereka menganggap bahwa kita sedang memerangi korupsi. KPK ada di garis paling depan. Kita bisa merasa optimistis bahwa korupsi akan bisa kita berantas. Tapi saya tidak. Coba perhatikan bahwa hampir setiap bulan KPK menangkap pelaku korupsi. KPK sedang berperang melawan korupsi, tapi tidak memenangkannya. Saya khawatir KPK sebenarnya sedang mengalami kekalahan. Yang berhasil ditangkap KPK boleh jadi hanya puncak gunung es korupsi yang sedang menggerogoti negeri ini. Yang tidak terdeteksi KPK mungkin jauh lebih banyak.

Yang tidak terjadi dalam kegiatan memberantas korupsi ini adalah kegiatan pencegahan. Mungkin agak berlebihan kalau kita sebut tidak ada usaha pencegahan. Tapi kita harus mengakui kenyataan bahwa korupsi memang belum bisa kita cegah. Bukti nyatanya adalah terus terjadinya penangkapan oleh KPK tadi.

Apa yang sebenarnya terjadi? Bagi saya yang biasa bersinggungan dengan pemerintah dalam urusan bisnis, masalahnya memang sangat besar. Sayangnya hal-hal mendasar pada masalah besar itu belum disentuh.

Masalah pertama yang bisa kita soroti adalah proses untuk mengurus sesuatu sangat berbelit dan memerlukan waktu lama. Dua tahun lalu seorang rekan saya mengurus izin mendirikan bangunan untuk perluasan bisnis di perusahaan tempat ia bekerja. Tapi ia tersangkut masalah sertifikat tanah yang belum diperbaharui. Ada sebagian dari tanah milik perusahaan yang diminta oleh Pemda disumbangkan untuk kepentingan fasilitas umum. Proses untuk mendapat pengesahan penyerahan tanah tadi, kemudian berdasarkan pengesahan itu dibuat sertifikat tanah baru, sangat lambat. Mengurusnya perlu waktu setahun lebih. Padahal perusahaan harus segera membangun perluasan pabrik baru. Perhatikan bahwa dalam hal ini perusahaan tidak minta izin untuk membebaskan tanah. Perusahaan sedang mengurus hibah tanah kepada pemerintah. Untuk hal begini saja urusannya sangat rumit.

Mengapa proses itu begitu berbelit? Banyak sebabnya. Ada faktor regulasi bisnis yang masih centang-perenang. Ada banyak tumpang-tindih, sehingga tidak ada panduan yang jelas dalam pengambilan keputusan oleh pejabat pemerintah.

Selain tumpang-tindih, banyak pula regulasi yang kabur maknanya, sehingga interpretasinya sangat tergantung pada pejabat yang menafsirkan. Saya terpaksa harus memberi catatan kaki pada setiap laporan kepada atasan saya di Jepang soal regulasi, bahwa yang saya sampaikan adalah tafsir saya, atau tafsir seorang pejabat pemerintah. Tafsir pejabat lain bisa saja berbeda. Harap dimaklumi.

Itu masih ditambah lagi dengan pejabat-pejabat yang tidak kompeten. Mereka tidak paham regulasi, juga lambat bergerak. Sikap dalam pelayanan tidak berbasis pada prinsip “costumer satisfaction“. Kita sebagai pengguna jasa tidak diperlakukan sebagai pelanggan. Sering terjadi dalam proses perizinan, izin kita tidak keluar karena pejabat yang mengurus tidak tahu harus melakukan apa.

Sudah cukup? Belum. Masalah harus ditambah dengan buruknya sistem pengarsipan. Birokrasi kita masih mengelola dokumen dengan pola abad XX. Saat itu volume dokumen yang diurus tidak banyak, jadi tidak ditata dengan baik. Di masa itu mereka masih bisa mengurusnya, karena sedikit. Tapi begitu volume dokumen bertambah, banyak lembaga pemerintah yang kelabakan.

Nah, proses perizinan yang lambat itu adalah kesempatan “bisnis” bagi pejabat korup. Ada demand bisnis dari pengusaha, ingin proses perizinan segera beres. Ada supply dari pejabat, mereka bisa mempercepatnya. Ada yang segera bekerja giat dan memprioritaskan dengan imbalan uang. Ada yang melengkapi yang tak lengkap. Ada yang membenarkan yang tak benar. Pokoknya kebutuhan pengusaha harus dipenuhi, izin harus keluar. Ketika dua kepentingan itu bertemu, ada supply ada demand, terjadilah bisnis korupsi.

Bagian ini belum terlihat disentuh dalam usaha pencegahan korupsi. Pemerintah telah meluncurkan OSS yang diklaim akan mempercepat proses perizinan. Tapi itu hanya menyangkut perizinan pokok untuk penanaman modal saja. Itu pun masih menghadapi banyak kendala akibat centang-perenangnya sistem dan regulasi yang mengatur urusan bisnis perusahaan.

Menyelesaikan masalah ini adalah kerja besar. Kita harus mengurai benang kusut regulasi, menata ulang sistem pengarsipan sambil mengarahkannya pada sistem tanpa kertas, membangun sistem pengelolaan perizinan yang transparan, mendidik aparat untuk lebih terampil dan kompeten, serta berorientasi pada pelayanan. Juga membenahi mental mereka, membersihkan sifat-sifat korup mereka. Juga membuat sistem pengawasan yang efektif. Perhatikan bahwa fungsi-fungsi pengawasan pada inspektorat masih jauh dari memuaskan kinerjanya.

Langkah-langkah itu masih sangat minim bila dibandingkan dengan besarnya masalah yang harus diselesaikan. Sayangnya, itu tidak tampak sebagai prioritas penting pada pemerintahan Jokowi, yang kabarnya memang lebih fokus pada pembangunan infrastruktur.

Hasanudin Abdurakhman
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.