Cara pandang saya terhadap Nadiem harus saya geser sedikit. Rupanya man behind Gojek itu menyimpan beberapa kejutan. Pertama soal unggah-ungguh. Baru saja beredar foto acara kedatangan Nadiem ke PBNU. Dalam acara itu dia tampak membungkuk dan mencium tangan seorang kyai.
Ternyata, Nadiem sebelum jadi menteri itu sudah sering sowan ke pesantren-pesantren. Jadi gambaran “bocah bengal” yang sekolah di luar negeri itu tidak benar. Ia masihlah anak Indonesia yang diajarkan budi pekerti khas Indonesia. Cium tangan salah satunya.
Saya tidak melihat itu sebagai sesuatu yang rendah. Meskipun Nadiem adalah seorang menteri, tapi ia juga adalah seorang “santri”. Jokowi juga sering melakukannya ketika bertemu ulama.
Kedua, soal radikalisme. Saya baru tahu, perang terhadap radikalisme di dunia pendidikan terus dilakukan. Terutama di dalam wilayah kementerian yang dikendalikan oleh Nadiem. Soalnya, nadiem sendiri yang baru saja mengatakannya dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Ade Armando.
Sebelumnya, saya selalu menganggap Mendikbud itu lembek. Sekolah-sekolah radikal dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan subur. Ternyata tak seburuk itu, meskipun memang belum benar-benar aman.
Nadiem sendiri dengan tegas mengatakan, tidak memberikan tempat bagi radikalisme. Tentu saja tidak mungkin membubarkan sekolah begitu saja. Penyebar ajaran radikal di sekolah-sekolah negeri itu melalui oknum gurunya. Yang perlu dilakukan Kemendikbud adalah mempeketat pengawasan. Jika kedapatan ada guru “cingkrang” yang mau mencuci otak siswanya, langsung usir saja.
Apalagi ada kewenangan yang tumpang-tindih antara Mendikbud dan Menag. Sekolah yang disinyalir radikal itu kebanyakan ada di bawah komando Menag. Dan seperti kita tahu, Menag, siapapun orangnya, hampir bisa dipastikan memble.
Sebab agama adalah sesuatu yang maha penting di Indonesia. Jauh lebih penting dari akal sehat. Kegarangan Menag kita di awal menjabat, langsung gembos begitu menghadapi fakta, ia tak punya kuasa apa-apa terhadap ormas-ormas yang mabuk agama. Selain sendiko dhawuh, Menag tak punya pilihan lain demi keamanan kursinya.
Ketiga, soal komitmen untuk merombak praktik “bisnis” di bidang pendidikan. Salah satu yang paling jelas adalah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dulu uang BOS ini dikuasai oleh Provinsi, sekarang diubah langsung ke sekolah masing-masing. Tidak ada lagi uang sunatan oleh oknum nakal.
Nadiem juga akan mengganti UN dan berupaya memformulasikan kurikulum yang tidak memberatkan siswa. UN ini adalah biang kerok yang membuat banyak siswa tertekan dan bunuh diri. Penggantinya adalah Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang mengukur kemampuan minimal para siswa dalam literasi dan numerasi.
Guru-guru terbaik diplot sebagai kepala sekolah. Dan yang tak kalah penting, kualitas guru ditingkatkan dengan program pelatihan yang lebih komprehensif, bukan hanya seminar. Selama ini program-program semacam itu tidak jelas hasilnya. Kali ini akan diupgrade sedemikian rupa sehingga jelas outputnya.
Tiga poin di atas itu saya pikir cukup untuk menggeser penilaian sebelumnya terhadap Nadiem yang cenderung muram. Bagaimanapun juga, ia masih muda. Wajar jika ada sedikit grusa-grusu dan blunder. Tapi sejauh ini dia berusaha memperbaikinya. Salah satunya dengan sowan ke ulama itu.
Niat baik dan sikap tegas itu penting. Tapi unggah-ungguh dan “nguwongke” juga penting. Jangan sampai niat baik yang disampaikan dengan cara yang salah justru membawa perpecahan. Karena esensi sejati dari pendidikan itu terletak pada karakter dan keadaban.
Titik berat Nadiem selanjutnya adalah pada tim yang ada di bawahnya. Blunder soal Program Organisasi Penggerak tempo hari, yang membuat beberapa ormas ngambek, besar kemungkinan karena tidak beresnya orang-orang di sekitar Nadiem. Kurang gesit dan kurang luas wawasannya.
Menteri muda itu seperti sedang dijerumuskan.
Memang tindakan itu tidak sepenuhnya salah. Tapi tradisi kita mengenal unggah-ungguh. Niat baik saja tidak cukup. Perlu ada komunikasi dan kerja sama. Terutama kepada ormas tradisional yang gagap proposal.
Tentu saja kita semua masih menunggu realisasi pernyataan Nadiem yang sebagian belum terwujud. Terutama soal perang terhadap radikalisme di sekolah. Meskipun harus digaris tebal, hanya sekolah yang ada di bawah kendali Mendikbud. Soalnya sekolah yang ada di bawah kendali Menag, sepertinya kita telah kehabisan kata-kata…