Sudah lama ditanamkan dalam batok kepala kita bahwa militer lebih disiplin dan lebih nasionalis dari sipil mana pun. Punya solidaritas dan kehormatan yang kuat dalam korps (jiwa korsa). Ia juga manusia yang serba bisa di bidang pekerjaan apapun.
Faktanya: omong kosong.
Mitos ini diciptakan terutama sejak Orde Baru untuk membenarkan keterlibatannya dalam politik, dalam jabatan-jabatan sipil, beking-membeking, dan akhirnya untuk melindungi bisnis-bisnis militer sendiri.
Padahal setiap profesi punya disiplin. “Tapi kan disiplin dan tidak disiplin dalam militer taruhannya nyawa. Semua harus presisi.”
Memangnya sipil seperti dokter bedah jantung atau bidan desa tidak melibatkan taruhan nyawa? Atau penjaga palang pintu kereta. Bagaimana dengan petugas PLN yang kalau tidak disiplin dalam prosedur kerja bisa mati tergantung di tiang listrik?
Lebih fatal lagi, disiplin dikaitkan dengan kerapihan (rambut cepak) atau kebersihan markas (barak), apalagi baris berbaris.
Padahal rambut cepak tak ada urusannya dengan kerapihan, apalagi disiplin. Rambut cepak 1-2-3 cm hanyalah urusan kepraktisan dalam militer, tak bisa dijambak dalam perkelahian, dan tidak mudah diidentifikasi dalam keseragaman (there are safety in numbers).
Kebersihan dan kerapihan markas (barak) adalah pertimbamgan strategis dalam benteng tempur mana pun guna meminimalisasi spot bagi penyusup atau sabotase seperti bom, booby trap, kamera mata-mata dll. Benteng atau kastil sekelilingnya selalu berupa hamparan luas yang bersih dari semak dan mudah diamati.
Nah, kalau Mendikbud mau menanamkan jiwa korsa atau solidaritas ke anak Indonesia, sejak kapan harus militer?
Panggil saja anak-anak Vespa. Hujan badai pun jika mendengar ada anak Vespa lain yang mogok atau kesulitan di jalan, ia akan berangkat menolong. Atau anak-anak pecinta alam.
Kalau anak sekolah malas bangun pagi, untuk apa panggil tentara sebagai contoh atau teladan. Panggil saja fotografer. Dia bisa bangun sama pagi butanya dengan serdadu dan sama disiplinnya agar tidak ketinggalan momen sunrise.
Kalau Menteri Muhadjir mau mengajari anak Indonesia apa itu presisi, siapa bilang urusannya hanya dengan profesi yang kerjanya membersihkan dan bongkar pasang senjata atau Alutsista.
Panggil Balawan atau Dewa Bujana. Main tone bersih dalam gitar juga soal presisi dan disiplin ribuan jam latihan. Sama uletnya dengan Kopassus. Jari geser nol koma sekian milimeter saja nadanya bisa fals. Itu presisi. Apalagi dokter ahli beda syaraf.
Kalau memang hanya militer yang kompeten mengajarkan “jiwa korsa”, jangan lupa agar Kemendikbud memasukkan contoh kasus pembantaian di penjara Cebongan atau pembakaran Mapolsek Ciracas atau Mapolres Ogan Komering Ulu.
Apa tidak cukup militerisasi yang mengarah pada simbol-simbol determinasi fisik dan kekerasan di dunia sipil?
Lihat seragam laskar FPI, Banser, Kokam, PP, IPK, sampai Hansip, Menwa, Satpam, atau Satpol PP. Semua sama: sepatu lars, PDL, dan baret. Hanya beda warna. Ini semua sipil.
Lihat bagaimana sekolah calon aparat sipil STPDN atau IPDN yang pendidikannya “dimiliterisasi”? Tradisi kekerasan turun temurun, arogansi pada rakyat yang seharusnya dilayani, dan pada akhirnya pun lulusannya tidak bebas korupsi.
Atau sekolah-sekolah pelayaran yang masih menerapkan perploncoan-perploncoan fisik karena kadung dibikin “cepak” dan main barak-barakan. Apa hubungannya disiplin dan presisi dalam dunia pelayaran dengan pendidikan ala militer?
Apakah kalau pendidikannya gaya pesantren mental mereka akan berbeda menghadapi laut yang ganas? Omong kosong.
Saya pernah menulis bagaimana disiplinnya para awak kapal Rainbow Warrior dalam segala hal, bahkan dibanding kapal perang tentara.
Pemerintahan Jokowi sedang memberi karpet merah pada militer di berbagai sektor. Dari jabatan-jabatan publik, program Bela Negara, pertanian, hingga dilibatkan di sekolah-sekolah umum seperti gagasan Menteri Pendidikan Muhadjir ini.
Sementara di sisi lain, trauma masa lalu, kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang melibatkan militer tak disentuh sama sekali dalam lima tahun pemerintahan Jokowi. Bahkan TNI masih diistimewakan dari jangkauan tangan KPK dalam perkara korupsi. Padahal KPK dibentuk dan UU Antikorupsi lahir karena kejahatan ini sudah meluas dan masuk extraordinary crime. Itu artinya tak hanya sipil yang korup, tapi termasuk institusi militernya.
Kini ada ide lagi memasukkan mereka ke lembaga pendidikan dengan alasan yang absurd.
Padahal militer memiliki karakter dan metode yang berbeda. Demi efektivitas rantai komando dalam tempur, mereka hanya mengenal kalimat perintah, bukan sanggahan, kritisisme, bahkan bantahan.
Sementara di sekolah, di lembaga pendidikan, kita justru harus mengajarkan yang sebaliknya pada anak-anak kita. ***