Sudah kurang lebih setahun kami dinyatakan lulus dari Program Pendidikan Reguler Angkatan LIX Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI. Saat menutup PPRA LIX, Gubernur Lemhannas Agus Wijoyo berpesan kepada seluruh alumni untuk mengimplementasikan seluruh pengetahuan dan wawasan yang diperoleh selama pendidikan, melalui pemahaman dan cara berpikir komprehensif, integral, holistik, dan sistematis.
Pesan itu terus melekat pada kami, segenap alumni Lemhannas yang dari awal masuk/mulai pendidikan memiliki asa yang melambung tinggi karena memasuki lembaga pendidikan yang diklaim sebagai pencetak the next national leaders. Walau tak selalu berharap menjadi pejabat tinggi negara, dengan mengikuti pendidikan ini, setidaknya telah terbuka jalan untuk merealisasikan cita-cita yang selalu kita tulis dalam diari masa kanak-kanak, yakni “menjadi orang berguna bagi nusa dan bangsa.”
“Berguna bagi nusa dan bangsa” adalah terminologi yang lahir begitu saja di masa sekolah, yang saat itu kita belum tahu apa makna dan konsekuensinya. “Banyak orang pintar, tapi tidak berguna bagi bangsanya,” begitu nasihat para guru kita. Mereka adalah para koruptor, para penipu, dan para penguasa yang menindas rakyat.
“Mereka tak berguna, walau ilmu dan jabatan yang dimilikinya sangat tinggi.” Kata-kata ini semakin membuat kita bingung, apa maksudnya? Setelah dewasa barulah kita mengerti bahwa banyak cara untuk mengabdi pada bangsa dan negara. Ilmu tinggi saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah kuatnya karakter serta tingginya komitmen untuk membela dan mamajukan ibu pertiwi.
Tanpa karakter dan komitmen yang kuat, tingginya ilmu dan jabatan bisa berubah menjadi ancaman dan berbahaya. Kita ingat akan sabda Rasulullah SAW: “Barang siapa bertambah ilmu, tapi tidak bertambah petunjuk, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah.” Petunjuk adalah hidayah, yang dalam bahasa teknis berarti karakter dan komitmen untuk tetap berada di jalan kebenaran.
Di Lemhannas, kami dibentuk dibawah satu nilai “Tan Hana Dharma Mangrwa” –sebuah semboyan yang memiliki makna sangat dalam “tiada kebenaran yang mendua”. Semboyan ini merupakan kelanjutan dari Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular. Harapannya, siapa pun yang menjadi alumni lembaga ini akan menjadi kader-kader pemimpin yang menyadari dengan sepenuh jiwa dan raganya hanya untuk bangsa dan negara, tidak mendua untuk yang lain.
Pengabdian yang menjunjung tinggi empat konsensus dasar yaitu Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Pasca Lemhannas yang ada hanyalah jalan pengabdian untuk Indonesia. Pengabdian sebagai kerelaan dan kesiapan melakukan apa pun sebagai perwujudan kesetiaan, kecintaan, penghormatan disertai dengan keikhlasan tanpa pamrih.
Penulis pun teringat kata-kata jenderal Sudirman di organisasi tempat penulis berkhitmat selama ini yaitu Muhammadiyah. Jenderal bintang lima ini pernah berseru: “Sungguh Berat Jadi Kader Muhammadiyah, Ragu dan Bimbang Lebih Baik Pulang!” Apalagi janji pengabdian untuk sebuah bangsa. Pengabdian harus selalu diikuti dengan amanah, dan menjalankan amanah adalah hal terberat, termasuk amanah jabatan.
Kami dipertemukan dalam sebuah lembaga sebagai kawah candradimuka tempat pemantapan dan penggemblengan kader-kader pemimpin tingkat nasional bernama Lemhannas RI. Sebagai think-tank para pemikir bangsa, kami harus memahami bangsa ini secara utuh, dari segala aspeknya, aspek astagatra, iptek, dan hubungan internasional. Dari lembaga ini diharapkan akan lahir pemimpin-pemimpin nasional yang mampu berpikir strategis, visioner, dan bertanggung jawab.
Kami digembleng dengan metode pembelajaran yang modern, mencakup semua dimensi kompetensi: skill, knowledge, dan attitude. Mulai dari orientasi, outbound, dilanjutkan dengan pembelajaran jarak jauh melalui video conference, ceramah, diskusi kelompok, studi strategis dalam negeri (SSDN) dan studi strategis luar negeri (SSLN) untuk menambah pemahaman dan pengalaman dalam belajar kepemimpinan nasional serta internasional, melaksanakan simulasi olah sistem manajemen nasional (olahsismenas) agar memiliki kemampuan berkoordinasi, berkolaborasi dengan semua stakeholder bangsa, kamudian ada penugasan, wawancara, dan di akhir pendidikan semua wajib membuat sebuah karya ilmiah perorangan yang di sebut TASKAP.
Nara sumber yang dihadirkan dalam pendidikan ini terdiri dari tokoh-tokoh nasional, para professional, para pengambil keputusan di kementerian/lembaganya, serta para pakar yang memiliki kompetensi di bidangnya masing-masing.
Kami yang dalam satu angkatan berjumlah seratus orang, berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda dan mewakili berbagai institusi dan profesi, berasal dari Aceh sampai Papua, mewakili agama-agama di Indonesia, mewakili gender, etnik, golongan bahkan bangsa-bangsa di dunia.
Ada dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, kopertis, Kadin Indonesia, Ormas, dan sembilan orang dari delapan negara sahabat. (Malaysia, Singapura, Australia, Timor Leste, Myanmar, Bangladesh, India, dan Sri Langka).
Penulis bisa bergabung dalam pendidikan ini atas rekomendasi sebuah organisasi yang menjadi payung besar umat Islam, merupakan lembaga yang memiliki legalitas mengeluarkan fatwa di negeri ini. Terima kasih tak terhingga kepada MUI, dan pemimpinnya yang telah memberikan amanah dan kesempatan yang berharga ini kepada penulis.
Tujuh bulan menjalani masa pendidikan menambah ilmu pengetahuan, membuka wawasan kebangsaan, memahami lebih dalam geopolitik dan geostrategis Indonesia, memperluas jaringan, membangun tim kerja yang solid, dalam menyampaikan gagasan-gagasan strategis. Ditanamkan kepada kami kesadaran bahwa dalam membangun bangsa ini harus dilakukan bersama-sama dalam satu visi secara komprehensif.
Saat ini Ibu pertiwi kita sedang dirundung duka akibat wabah Covid-19 yang belum diketahui kapan akan berakhir. Inilah saatnya pembuktian apa yang sudah diajarkan. Kemampuan membangun komunikasi, bersinergi dan berkoordinasi bersama-sama komponen bangsa yang lain, untuk menutup lubang besar itu agar tak semakin menganga. Bergotong royong, bahu membahu, menyingsingkan lengan baju.
Perkatakan disatukan dengan perbuatan, melaksanakan apa pun yang diputuskan, bukan lain yang dirapatkan lain yang dijalankan. Ego sektoral harus ditanggalkan untuk menemukan persamaan yang akan menjadi peluang dan kekuatan, bukan perbedaan yang akan menjadi hambatan dan ancaman. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan sebagai dampak Covid-19. Semboyan “Tan Hana Dharma Mangrwa” itu sudah waktunya direalisasikan.
Perjalanan satu tahun setelah dinyatakan lulus dari pendidikan, banyak di antara kami yang sudah berada pada posisi-posisi strategis di negeri ini dan kami yakin akan terus ada yang menanjak mencapai pucak karir tertinggi. Bukan lagi the next national leaders. Tapi sudah menjadi the national leaders.
Untuk Lemhannas, Covid-19 memberikan pelajaran yang sangat berharga. Bahwa pendidikan bisa dibuat dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Pendidikan untuk mencerdaskan, membuat yang tidak mengerti menjadi mengerti, dan membentuk karakter. Pendidikan bukan semata-mata untuk adu gengsi, tapi bagaimana agar jika seseorang terdidik dengan sendirinya menjadi bermanfaat dan berharga.
Acara-acara seremonial dengan kultur yang militeristik, perayaan-perayaan yang tidak esensial, tapi menghabiskan biaya yang tinggi dan pemborosan, sebenarnya bisa dikemas dengan lebih sederhana tanpa mengurangi makna dan esensinya.
Keharusan implementasi semangat “Tan Hana Dharma Mangrwa” tidak hanya untuk siswa tapi juga untuk Lemhannas sendiri. Pendidikan yang berkualitas harus didukung sumberdaya manusia yang profesional dan berkarakter. Hanya dari lembaga yang berkualitas akan lahir alumni-alumni berintegritas yang memiliki komitmen tinggi untuk membangun bangsa dan negaranya.