Selama mudik lebaran kemarin saya bertemu dengan sahabat SMA yang sudah lima tahun tak berjumpa. Kami mengobrol sejak isya sampai subuh. Hal yang kami bahas mulai dari kenangan tolol saat saya menembak gadis dari sekolah lain, sampai dengan hoax selama pemilu lalu.
Sahabat-sahabat saya ini bekerja sebagai PNS. Mulai dari tingkat kota sampai provinsi. Perbincangan mulai menarik saat mereka membahas tentang mengapa Jokowi dibenci PNS. Ada beberapa indikator yang kami perbincangan, misalnya persepsi PNS terhadap Jokowi dan bagaimana Publik melihat Pegawai Negara itu sendiri.
Berdasar riset Badan Kepegawaian Negara (BKN) Juni 2018, diketahui bahwa aduan masyarakat terkait dugaan aparatur sipil negara (ASN) terlibat dalam penyebaran berita bohong atau hoaks. Dari 14 laporan yang diterima BKN selama Mei 2018, pelaku ujaran kebencian didominasi dosen ASN.
Saya belum menemukan riset terkait persepsi masyarakat terhadap PNS, tapi teman-teman saya mengafirmasi bahwa dalam lingkungan pertemanan, Pegawai Negara banyak yang terjebak berita bohong. Ini, menurut mereka, karena rendahnya literasi digital. Mereka tak paham metode verifikasi dan akhirnya membenci Jokowi karena berita-berita hoax.
Sahabat saya menyebut kadang persebaran hoax terjadi bukan karena politis, sebagian karena orang-orang yang baru terpapar teknologi digital seperti internet dan media sosial, belum mampu membedakan hoax dan kebenaran. Misalnya tentang iluminati, dajjal, yahudi, komunis, dan sejenisnya.
Indikator lain adalah survei Roda Tiga Konsultan (RTK) yang dirilis Mei lalu mendapati responden yang berprofesi sebagai PNS sebanyak 42,1 persen memilih Prabowo dan hanya 21,1 persen yang memilih kembali Jokowi. Ketidaksukaan Pegawai Negara terhadap Jokowi, menurut teman-teman saya semakin meningkat saat Presiden Jokowi secara resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Peraturan Pemerintah ini membahas tentang penilaian kinerja PNS yang didasarkan pada sistem prestasi dan sistem karier. Sahabat saya menyebut selama ini banyak PNS yang bekerja seenaknya, datang absen setelah itu hilang untuk kemudian kembali absen pulang. Kinerja diukur hanya berdasarkan kehadiran, padahal banyak tenaga PNS lapangan yang tak bisa absen tapi punya capaian baik.
Belum lagi permainan dari PNS nakal yang selama ini korup dan bermental kotor. Seperti meminta nota kosong, rapat fiktif, perjalanan dinas bodong, sampai pelatihan palsu. Semua ini semain sulit sejak Jokowi jadi presiden. Reformasi birokrasi mengubah PNS harus siap diaudit. Seorang teman menyebut bahwa laporan keuangan harus lengkap, kuitansi harus asli, dan penggelapan adalah tindakan bunuh diri.
Sahabat saya menyebut, peraturan baru Jokowi ini disambut baik oleh para PNS muda. Mereka akan punya kesempatan untuk melakukan inovasi, menunjukkan efektifitas kerja, dan tentu saja berkarir lebih baik. Aturan jokowi memberikan penilaian lebih pada PNS yang melakukan perencanaan kinerja, pelaksanaan, pemantauan kinerja dan pembinaan kinerja, penilaian kinerja, tindak lanjut dan sistem informasi kinerja Pegawai Negara.
Menurut sahabat saya, selama ini, banyak PNS yang seenaknya, dengan adanya ini tentu akan menjadi tolok ukur kinerja antara PNS. Ia menyadari peraturan Jokowi ini akan berimbas pada PNS-PNS tua yang gagap teknologi dan mereka yang ingin cari aman dengan masuk PNS. Apalagi dengan E-Gov saat semua kinerja Pegawai Negara diukur melalui teknologi digital, orang tak lagi bisa santai atau main-main.
Misalnya soal Tukin atau Tunjangan Kinerja. Sebagai orang yang awam dan sama sekali tidak paham dengan birokrasi, sahabat saya menjelaskan dengan baik. Tunjangan Kinerja adalah kompensasi dalam bentuk uang yang diterima oleh pegawai sebagai imbalan dari jasa yang sudah dikerjakannya. Sistem remunerasi PNS selama ini susah sekali diukur, tapi sejak adanya perkembangan teknologi digital, ada komponen-komponen yang mesti dipenuhi sebelum akhirnya bisa mendapatkan Tukin.
Komponen itu adalah mutu kinerja, bobot pekerjaan dan peringkat masing-masing jabatan. Selain itu ada pula unsur penilaian yang menentukan besaran renumerasi, seperti absensi elektronik atau kehadiran, kinerja atau capaian kerja, dan disiplin pegawai. Sahabat saya menyebut selama ini besaran Tukin cuma diukur dari absensi dan kehadiran, Sebelum adanya absensi elektronik, mereka bisa saja memalsu atau enak-enak aja datang untuk absen setelah itu menghilang.
Saya kira sahabat saya ini becanda atau sedang kesal dengan seniornya, tapi temuan dari Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebut bahwa ada pegawai yang hanya absen pada pagi hari, kemudian pulang tanpa mengerjakan tugas-tugas utamanya, lalu pada sore atau malam harinya kembali datang hanya untuk absen pulang.
Praktik ini tak adil, karena beban kerja kadang diberikan pada anak magang, atau PNS muda, sementara yang senior bisa seenaknya. Keberadaan Jokowi mengubah itu semua, yang terdampak tentu tunjangan kinerja pegawai yang menurun. Hal ini Karena banyak pegawai yang tak mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Sekarang tunjangan kinerja mereka bisa sangat fluktuatif. Bisa turun, bisa naik. Jadi jika ia bekerja dengan baik, maka ia akan mendapatkan Tukin yang besar sesuai jabatannya. Kini banyak PNS-PNS senior yang tak punya kemampuan mesti kelabakan dan kebingungan Karena mesti memenuhi standar kerja. Belum lagi ancaman pemecatan bila tak bisa memenuhi target. Semua ini membuat Jokowi demikian dibenci karena menerbitkan PP tentang kinerja Pegawai.
Di sisi lai n PNS muda bahagia dengan adanya PP ini, karena dengan ini jenjang karir, penghasilan, dan ilmu sebagai pegawai negeri akan benar-benar dihargai. Seseorang tak lagi bisa naik pangkat hanya karena faktor kedekatan atau sekedar usia. Semakin baik kerja orang itu, maka penghasilan dan karirnya akan semakin baik. Ukurannya jelas dan siapapun bisa berkompetisi.
Seorang sahabat berkelakar, teman kerjanya di satu dinas berkata bahwa tahun ini ia tak mau memilih Jokowi, karena bikin susah mereka. Saat tulisan ini dibuat beberapa teman yang menjadi Pegawai Negara di berbagai daerah mengirimkan pesan. Mereka membenarkan gejala ini dan menyebut kebencian terhadap Jokowi sebagai ketidakmampuan beradaptasi. Salah seorang dari mereka bahkan mengaku bangga menjadi PNS sejak Jokowi jadi Presiden.