Menurut Hermeneutik, ada tiga posisi pembaca ketika berhadapan dengan teks. Posisi subordinat, sejajar dan superior. Dalam posisi subordinat, pembaca adalah orang yang didikte teks. Dia memamah apa yang disajikan sebuah teks tanpa perlawanan. Adapun dalam posisi sejajar, dikarenakan asupan informasi yang dia terima sebelumnya, maka pembaca bisa berinteraksi dan memahami teks secara lebih mendalam sampai melakukan dialog imajiner dengan pembuat teks. Sementara dalam posisi superior, pembaca adalah orang yang bisa mendikte, mengevaluasi juga mengkritisi sebuah teks.
Karena manusia selalu berkembang dan berubah, tidak heran bila sebuah teks itu bukan hanya akan menghadirkan makna berbeda bila dibaca oleh dua orang yang berlainan, tetapi juga akan menghasilkan makna berbeda bila dibaca oleh orang yang sama di waktu berbeda. Diantaranya karena ada posisi yang berubah antara pembaca dan teks. Pandangan ini selaras dengan tafsiran atas perintah Iqra (baca). Menurut Quraish Shihab, kata Iqra dalam ayat-ayat Quran yang pertama turun terulang dua kali. Maknanya, kita harus mengulang bacaan karena pengulangan bacaan akan melahirkan makna berbeda.
Mungkin konteks inilah yang membuat saya membaca kembali beberapa karya salah satu Intelektual Muslim terkemuka yang sudah tiada ini, Almarhum Kuntowijoyo. Karena saya yakin, pembacaan kembali bukan hanya akan menghasilkan makna yang berbeda, tetapi juga menangkap makna yang dulu mungkin terlewat tidak kita pahami.
Lalu bagaimanakah diantara pemikiran Almarhum itu?
Ketika dimintai pendapat tentang pemikiran Alm. Kuntowijoyo, Sosiolog kondang Arief Budiman menyebutkan bahwa beliau adalah salah satu dari segelintir cendikiawan Indonesia yang produktif. Gagasan beliau biasanya mendalam, tidak hanya berupa kesan sekilas.
Namun bila kita membaca kembali pemikiran Almarhum, kita tidak hanya akan menemukan sebuah ide, tetapi juga kedirian seorang cendikiawan. Ada pancaran tanggung jawab moral seorang cendikiawan. Kita akan menangkap kesan kuat pembelaan almarhum terhadap umat Islam yang menurut beliau disisihkan, tapi disisi lain dengan sangat dingin Almarhum memberikan kritik mendalam kepada umat Islam. Karenanya di satu sisi kita membacanya adanya concern beliau akan peningkatan SDM umat, mobilitas sosial umat dan orientasi politik umat Islam yang lebih jernih dan rasional, tapi di sisi lain beliau dengan sangat datar dan serius mengatakan bahwa umat Islam itu tidak perlu Partai Islam.
Beliau juga tidak sungkan mengkritik Muhamadiyyah, organisasi sosial keagamaan tempat dia bernaung. Menurutnya Muhamadiyyah adalah gerakan kebudayaan tanpa strategi kebudayaan. Ada hal yang perlu dikoreksi dan di evaluasi dari upaya purifikasi ajaran Islam yang diusung Muhamadiyyah. Hal itu bisa kita lihat dari beberapa gagasan sentral beliau tentang Ilmu Sosial Profetik (ISP), budaya, dan juga Politik Islam.
ISP adalah projek intelektual dan gagasan sentral almarhum yang sampai sekarang terputus belum ada yang melanjutkan. Untuk menggambarkan maksud dari ISP ini, peraih Ph.D dari Columbia University ini mengatakan : “Selama umat memahami Islam hanya sebagai transendensi semata-mata dan hukum halal-haram, Islam tidak akan sanggup meyakinkan orang dan mampu ikut dalam memecahkan permasalahan bangsa dan manusia. Apalagi jika Islam hanya dipahami sebagai hukuman berdasarkan syariat (potong tangan, rajam, cambuk)”.
ISP adalah upaya Kuntowijoyo untuk memberi paradigma Islam pada Ilmu pengetahuan. Namun hal yang mesti dicatat, ISP berbeda dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan yang dilontarkan Ismail Raji al-Faruqi dari International Institute of Islamic Thought di Amerika dan Naquib Al-Attas dari Malaysia.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah upaya agar umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu Tauhid. Dari Tauhid akan muncul tiga kesatuan, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Selama umat Islam tidak mempunyai metodologi sendiri, maka umat Islam akan selalu dalam bahaya. Islamisasi pengetahuan bermakna mengembalikan pengetahuan pada Tauhid atau konteks kepada teks.
Melalui cara pandang seperti diatas, menurut almarhum muncul pertanyaan penting mengenai kedudukan pengetahuan dalam Islam. Pengetahuan adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah muamallah, sehingga rumusan “Semua boleh kecuali yang dilarang” berlaku untuk pengetahuan. Hanya kalau pengetahuan sudah menjadi egoistik (secara berlebihan merujuk kepada diri sendiri) dan melampui batas-batasnya sehingga tidak lagi semata-mata pengetahuan, maka hilanglah statusnya sekedar muamallah.
Karena kadang-kadang pengetahuan mengklaim sebagai kebenaran. Biologi dengen teori evolusi sering mengaku diri sebagai kebenaran, psikologi Freud menganggap Agama sebagai ilusi yang harus dimusnahkan dari peradaban, atau generalisasi Antropologi yang mengatakan bahwa semua peradaban akan menuju sekulerisme.
Menurut almarhum pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu di Islamkan karena Islam mengakui objektivitas. Suatu teknologi akan sama saja baik di tangan seorang muslim maupun non-muslim. Karenanya orang harus pintar-pintar mana yang harus diislamisasi mana yang tidak. Karena metode itu dimana-mana sama. Metode survei, metode partisipan, metode grounded dapat dipakai dengan aman tanpa ada resiko bertentangan dengan Iman. Dalam pengetahuan dan kesenian, ada rentang dari yang objective-variable sampai ke yang subjective. Rentang itu ialah Kimia, Biokimia, Biologi, Kedokteran, Psikologi, Antropologi, Sejarah, Biografi, Novel, Epik, dan Lirik. Untuk Ilmu yang benar-benar objektf kiranya sangat bergantung dari niat individu, maka niat itulah yang memerlukan Islamisasi bukan Ilmunya.
Karena itu almarhum menyarankan orang merubah pola “Islamisasi Pengetahuan”, yang berpola dari konteks ke teks, menjadi “Mengilmui Islam” yang bergerak dari teks ke konteks. Hal ini dilakukan karena menurut ilmu budaya dan sosiologi pengetahuan, realitas itu pada dasarnya tidak dilihat secara langsung, tapi melalui tabir (kata, konsep, simbol, budaya, persetujuan masyarakat). Orang melihat realitas tidak seperti anjing melihat tulang; animal’s faith tidak pernah terjadi pada manusia.
Orang Jawa dulu melihat raja melalui simbol-simbol; mitos Nyi Loro Kidul, upacara labuhan, sastra Babad Tanah Jawa (raja adalah keturunan para nabi dan dewa), tata cara sembah, warna payung, dan larangan-larangan. Orang Amerika dulu melihat Soviet melalui simbol: film tentang KGB dan “Tentara merah”, konsep “Tirai besi” dan “Anti merdeka” Aparat pemerintah Soekarno melihat orang Masyumi, PSI, dan Murba melalui konsep “Kontra-Revolusi”. Orde Baru melihat orang yang mengkritik kebijakannya melalui konsep “Anti Pancasila” dan melihat orang Islam sebagai “ekstrem kanan”
Hal ini juga mesti dilakukan karena ilmu-ilmu sekular pada dasarnya tidak objektif seperti yang didaku. Pengilmuan Agama dimaksudkan supaya sifat subjektif Agama berubah jadi sifat objektif ilmu. Norma agama (seperti berbohong itu tidak boleh) akan menjadi pagar objektivitas
Selain itu, alasan mengembangkan gagasan mengenai niscanya perumusan teori – dalam hal ini teori sosial – yang didasarkan kepada Al-Quran, adalah bahwa kita perlu memahami Al-Quran sebagai paradigma. Apa yang dimaksud dengan “Paradigma” adalah seperti yang dipahami oleh Thomas Kuhn bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh Mode of Though atau Mode of Inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan Mode of Knowing tertentu pula. Seperti Immanuel Kant yang menganggap “Cara mengetahui” sebagai “Skema konseptual” atau Marx menamakannya sebagai “Ideologi” dan Wittgenstein yang menyebutnya sebagai “Cagar bahasa”
ISP dicetuskan Almarhum juga karena ada kamendegan ilmu sosial akademis dan ilmu sosial kritis yang hanya menjelaskan fenomena sosial saja. Kemandegan ini sempat dipecahkan dengan kemunculan Ilmu Sosial Transformatif yang juga berupaya mentranformasikan masyarakat. Hanya saja kemunculan ilmu sosial transformatif tidak bisa memberikan jawaban jelas atas pertanyaan kemana arah transformasi itu akan dilakukan.
ISP tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. ISP tidak sekedar mengubah demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Karenanya ISP secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat.
Bagi Almarhum sendiri cita-cita perubahan Islam itu dasarnya terdapat di surat Ali Imran ayat 110 yang berbunyi “Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah”. Dari ayat ini, terkandung tiga muatan nilai ISP yaitu humanisasi (Menegakan kebaikan/amar ma’ruf), liberasi (mencegah kemungkaran/nahi munkar) dan transendensi (tuminuna billah).
Ide ini diilhami oleh Sir Muhammad Iqbal ketika berbicara peristiwa Mi’raj Nabi Muhammad. Menurut Iqbal, seandainya Nabi itu seorang mistikus, maka sejatinya beliau tidak akan kembali lagi ke Bumi ketika sudah bertemu Tuhannya. Karena selai itu adalah cita-cita tertinggi, juga disana Nabi sudah merasa tentram bertemu Tuhan dan berada di sisinya. Namun ternyata Nabi kembali ke Bumi untuk menggerakan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sjarah. Beliau memulai suatu tranformasi sosial budaya, berdasarkan cita-cita profetik.
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Karena sekarang ini kita mengalami proses dehumanisasi dimana masyarakat industrial sudah menjadikan kita sebagai masyarakat abstrak tanpa wajah kemanusiaan. Orang mengalami objektivasi ketika berada di tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari kemiskinan, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang terperangkap dalam kesadaran teknoloratis dan mereka yang tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa.
Sementara Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materalisme dan budaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimenstri transendental yang menjadi bagian sah dari dimensi kemanusiaan. kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan.
Dengan Ilmu sosial profetik, kita juga akan melakukan reorientasi terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap mode of though dan mode of inquiry, bahwa sumber pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiris, tapi juga dari wahyu.
Namun almahurm mengingatkan bahwa dengan gagasan ISP ini, orang tidak perlu menghidap kekhawatiran yang berlebihan terhadap dominasi sains Barat dewasa ini. Betapapun, dalam proses Theory-building, kita memang tak dapat menghindarkan terjadinya peminjaman dari dan sintesis dengan khazanah ilmu barat.
Dari sisi sejarah Islam, maka pengingatan almarhum ini pada dasarnya bisa diamini. Islam pernah menjadi sangat dominan dan pioner dalam peradaban manusia di abad pertengahan, ketika Eropa sedang mengalami abad kegelapan, justru ketika dirinya membuka diri kepada capaian yang sudah diperoleh bangsa lain. Meski orang Islam tidak sepakat dengan seni patung Yunani yang kerap mengeksploitasi sisi erotis perempuan, namun orang Islam menerima dengan sangat terbuka filsafat Yunani dan bahkan menjadi penterjemah dan penjelas warisan pemikiran Yunani. Walau orang Islam menentang praktek ibadah orang Persia, namun dari Persia orang Islam belajar birokrasi sehingga bisa menata negaranya dengan sangat baik. Begitu juga dengan India. Meski penduduk India dominan beragama Hindu, tetapi dari India lah orang Islam belajar tentang Matematika.
Ketika menjelaskan operasionalisasi ISP, Almarhum membandingkannya dengan teori sosial Marxist. Dalam perspektif marxist, basic struktur (ekonomi) adalah alas perubah supra struktur (kesadaran). Sementara secara sosiologis, masyarakat menurut Karl Marx dibagi menjadi proletar dan borjouis dan tujuan akhir dari perubahan adalah terjadinya kesamaan kelas. Sementara menurut ISP, orang Islam itu bergerak karena kesadaran bukan motif ekonomi. Karenanya supra struktur lah yang merubah basic struktur. Lalu secara sosiologis, masyarakat itu dibagi dalam dua, yaitu orang dholim (penganiaya) dan madhlum (yang dianiaya) dan tujuan perubahan itu bukan kesamaan kelas tapi keadilan.