Kadang saya jengkel dengan orang-orang yang mengejek secara berlebihan terhadap apa yang namanya SJW (Social Justice Warriors). Entah karena apa, saya sering bersimpati pada masalah-masalah yang dibela oleh para SJW.
Kadang cara-cara yang mereka tempuh memang menjengkelkan. Misalnya, kalau ada aktivis anti plastik yang nyinyir sekali menghakimi orang lain yang masih memakai plastik. Seolah merekalah hakim agung yang menentukan mana yang boleh mana yang tidak.
Tapi banyak aktivis anti plastik yang baik, yang bekerja sangat efektif dan berdedikasi. Mereka konsisten menganjurkan orang memakai tas atau kontainer yang bisa dipakai ulang. Mereka juga menyodorkan alternatif. Seperti misalnya menggunakan kembali daun pisang, daun waru, atau daun jati sebagai pembungkus.
Nah, kenyinyiran ini juga kadang dibungkus motif yang entah mengapa membikin tidak nyaman. Di Bali pernah beredar satu video dari orang Belanda yang mengaku “wartawan.” Dia memfilmkan polisi yang menilangnya karena dia tidak memakai helm.
Apa yang terjadi kemudian adalah ketika si polisi mengajak ‘wartawan’ bule ini ke pos jaganya. Disana, polisi ini membagi dua uang tilang yang Rp 200 ribu itu. Dan bilang begini, “Yang seratus ribu untuk negara saya. Nah, yang seratus ribu lagi untuk kita.” Lalu si polisi membeli bir dan mereka minum dan ketawa bersama. Eh, si bule mungkin nggak ketawa.
Happy?
Nggak juga. Si ‘wartawan’ merekam semua adegan itu, mengunggahnya ke Youtube untuk menunjukkan betapa korup dan tidak bermoralnya polisi Indonesia.
Dia merasa dirinya sebagai hakim maha benar. Persoalannya kemudian menjadi tambah rumit karena dia orang Belanda, bekas penjajah Indonesia. Orang kemudian menambah bahwa ada elemen rasisme juga disini.
Polisi itu memang korup. Tapi wartawan ini juga melanggar dan dia juga senang-senang saja diberi minum bir dari sebagian pungli tilangnya itu. Polisi itu berusaha untuk ramah, ironisnya, dengan menggunakan uang si Belanda ini.
Apakah si polisi ini salah? Tentu saja. Apakah dengan demikian di Belanda ini benar? Belum tentu juga. Dia melanggar aturan dengan tidak memakai helm. Bahwa orang lain di jalan dia lihat tidak memakai helm, itu tidak dengan serta merta membenarkan dia tidak memakai helm. Ketika ditilang dia membayar. Ketika disodori bir dia ikut minum.
Tapi dia berusaha menjadi hakim moral untuk polisi ini? Seolah-olah dia lebih tinggi dan lebih suci? Mudah-mudahan karmanya membuat dia menjadi bir, yang membuat kencing orang jadi lebih lancar.
Nah, foto-foto yang Anda saksikan di tautan ini juga karya seorang wartawan. Dia membela penyu dan segala macam binatang yang “dipelihara” di pusat “penangkaran” penyu di Pulau Serangan, Bali Selatan. Dia menyoroti kondisi pemeliharaan penyu dan perlakuan semena-mena terhadap binatang-binatang disana.
Untuknya ini menjadi masalah karena binatang-binatang ini ada disana karena turisme. Para turis senang berfoto dengan binatang. Sementara binatangnya sendiri menderita sekali.
Keprihatinannya tentu sangat baik. Tidak diragukan kondisi di penangkaran itu sangat buruk. Sama seperti polisi yang korup juga sangat buruk.
“Jurnalis” ini juga tidak melihat bahwa orang-orang ini hanya mengais sedolar dua dolar dari bisnis ‘penangkaran’ ini. Orang-orang ini tidak akan menjadi kaya raya hanya karena usaha seperti itu.
Apakah tidak ada cara lain untuk memperbaiki situasi ini ketimbang memberi stigma orang-orang biasa yang tidak punya kemewahan seperti para SJW ini?
Yang lebih menjengkelkan adalah di bagian paling bawah dia mengemis-ngemis agar orang-orang membeayai perjalanannya kelliling dunia untuk ‘mengekspos’ pelanggaran hak-hak binatang lewat turisme. Mengapa kemudian ia jadi bukan SJW?
Dia merasa lebih suci daripada pemilik dan pekerja ‘penangkaran’ yang hidupnya melata itu. Namun, saya berani bertaruh, dia sama sekali tidak tahu persoalan apa yang ada di Pulau Serangan.
Dia sama sekali tidak melihat persoalan yang ditimbulkan oleh proyek reklamasi yang dilakukan Tommy Suharto dan dibantu militer pada jaman Orde Baru. Apakah dia tahu berapa banyak penduduk asli tergusur oleh proyek yang kini mangkrak itu? Apakah dia tahu bahwa reklamasi itu juga mengakibatkan konflik sosial yang amat parah dimana keluarga pecah dan saling membunuh?
Oh, tahukah dia bahwa di barat pulau itu juga akan direklamasi? 800 hektar tanah baru akan dibikin, yang mungkin akan lebih berpengaruh terhadap penyu yang dia bela karena marina-marina akan dibangun, dan akan menampung ratusan perahu yatch?
Jadi keadilan (justice) apa yang sesungguhnya diperjuangkan oleh orang-orang ini?