Beberapa hari terakhir, jagat maya disibukkan oleh postingan seorang netizen. Perkaranya sangat remeh-temeh. Klepon dituduh tidak islami gara-gara tidak menutup aurat, dan mengajak untuk beralih ke Kurma.
Bisa saja pencetus ide gila itu hanya bercanda. Bisa juga serius. Apa yang bisa kita tangkap dari fenomena peng-agamaan kudapan tersebut?
Respon warganet beragam. Kebanyakan, warga yang tidak dipisahkan oleh suku, bangsa, agama dan teritorial itu ikut memberi komentar miring, sejak kapan kue punya agama? Benar, saya sepemandangan. Kue tidak ada agama dan tidak pernah beragama dan tidak penting juga.
Klepon salah satu kue favorit saya, terutama di saat bulan puasa. Kue ini unik, terbuat dari tepung, di dalamnya ditaruh gula merah, luarnya dibalut kelapa kukur dan daun pandan yang dipotong kecil-kecil sebagai pengharum.
Saya bukan ahli kuliner, jadi tulisan ini tidak membahas bagaimana cara membuat Klepon yang enak atau apa pengaruhnya terhadap kesehatan. Saya juga tidak tertarik membahas siapa “penemu” istilah itu.
Jauh dari situ, beredarnya meme dan berita yang mengulas tentang religiusitas Klepon, memaksa saya untuk merenung, lantas bertanya kepada diri sendiri, apakah serendah ini sudah selera kita untuk becanda? Atau jangan-jangan ini justru menjadi potensi disintegrasi bangsa?
Setidaknya, saya melihat tiga hal dari fenomena tersebut. Pertama, selera humor. Penulisnya memilih humor untuk menyampaikan pendapat. Tidak sedikit penulis yang memakai humor sebagai instrument.
Salah satunya Mahbub Djunaidi. Melalui humor, Mahbub dengan bebas menulis gagasannya di masa orde baru. Dengan humor pula, Gus Dur menjadi salah satu penceramah dan penulis yang paling disukai dan disegani. Padahal kedua penulis hebat ini hidup di zaman otoriter.
Atau, bagaimana Komika menelanjangi sesuatu dengan gaya humor yang membuat penontonnya terpingkal.
Sekilas, humor-humor itu bagi sebagian orang adalah nista. Misalnya, ketika penulis atau komika membahas kebiasaan suku tertentu, justru sebagain dari yang merasa tersinggung justru melapor ke pihak berwajib dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan.
Bisa saja, si pencetus ide tujuannya menghibur kita, pembaca. Apalagi di tengah suntuknya karena Korona.
Bisa saja penulisnya dengan satir ingin menyentil kebiasaan sebagian orang yang terlalu sibuk mengurusi cara orang berpakaian. Kalau benar demikian, sungguh selera humor saya sudah menurun, karena salah menangkap pesan yang ingin disampaikan.
Kedua, potensi disintegrasi bangsa. Sebagaimana Anda ketahui, Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku, Bahasa, agama.
Akhir-akhir ini, apalagi menjelang hajatan pemilu, masyarakat kita terbelah. Kekuatan politik memisahkan dengan isu agama, menyampingkan gagasan.
Pemisahan berdasarkan perbedaan memang sangat riskan untuk keberlangsungan bangsa yang multi ini.
Bisa jadi juga, kasus Klepon itu menjadi cerminan dari segresi sosial pada lapisan masyarakat tertentu.
Mendefenisikan sesuatu berdasarkan keyakinan, sama dengan merefleksikan sikap individu terhadap individu yang lain.
Klepon adalah miniatur. Jauh lebih besar dan lebih banyak dari itu kasus-kasus serupa dapat kita jumpai di tengah-tengah kita.
Ketiga, residu pilpres. Sebagaimana kita tahu, sejak pemilihan presiden 2014 dan 2019, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua: pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo.
Pertarungan yang penuh emosi bagi masyarakat paling bawah itu benar-benar berada di ujung jurang yang curam. Kalau tidak ditangani dengan tepat bisa membuat Indonesia berkeping.
Rivalitas di akar rumput menyisakan cerita-cerita sedih dan tak masuk akal. Satu ketika pengurus Mesjid A menolak menshalatkan jenazan si X hanya gara-gara beda dukungan politik.
Sampai-sampai, persaingan itu menyeret nama binatang: Kampret dan Cebong. Kampret indentik dengan pendukung Prabowo, Cebong untuk pendukung Jokowi.
Syukur yang mendalam, pertarungan itu berakhir manis untuk Indonesia. Setelah menang, Jokowi meminta Prabowo untuk menjadi Menteri Pertahanan, posisi yang sangat strategis. Dan syukurnya lagi, Prabowo mengaminkannya.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana akibatnya jika kedua tokoh bangsa itu tidak bersatu kembali. Bukan apa-apa, di bagian bawah, kompor penyulut sudah menunggu, siap membakar.
Bagi sebagian kompor itu, pilpres bukan hanya mencari pemimpin yang paling baik dari yang baik, atau mencegah yang paling buruk untuk berkuasa. Tapi lebih dari itu, pilpres digunakan untuk menghimpun pahala.
Jadilan pertarungan yang berdarah-darah itu sebagai akibatnya. Para kompor itu masih ada dan terus ada di Indonesia. Setelah pilpres usai, mereka mencari instrument berikutnya yang dapat diboncengi.
Apakah Klepon Syariat itu merupakan residu dari pilpres? Bisa jadi.
Sebenarnya, Klepon ini menggambarkan sebagian besar masyarakat kita. Klepon bisa kita temukan hampir di semua pulau di nusantara dengan berbagai nama. Di Aceh dinamakan dengan Boh Rom-rom, Boh cikik teungku, di Sumatera Barat Onde-onde, Melaka dan nama lain.
Klepon menjadi kudapan semua kalangan. Kita bisa menemukannya di pasar kaki lima hingga di restoran mewah.
Penyuka Klepon dari berbagai status sosial, mulai masyarakat pekerja, pejabat, hingga konglomerat.
Klepon adalah pemersatu lidah-lidah nusantara. Sebagai orang Aceh, lidah saya menyukai pedas, kawan saya yang besar di Jawa menyukai manis.
Tapi kita semua dapat menerima Klepon dengan senang dan gembira. Di tengah banyaknya perbedaan, Klepon adalah pemersatu kita, pemersatu bangsa, selain tante Erni yang cantik jelita itu.