Dunia seketika kalang kabut, kehidupan umat manusia di seluruh negara menjadi redup, nyaris mati. Sebuah virus yang mematikan datang dan menyebar tak terbendung dari segala penjuru arah. Corona nama bekennya, kemudian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut nama resmi penyakit yang disebabkan virus baru corona dengan nama Covid-19.
Perekonomian mandek, negara gonjang-ganjing, pemerintah kebingungan mengatasinya lantaran korban jiwa sudah banyak berjatuhan, bahkan tak sedikit petugas kesehatan yang gugur di medan jihad dalam rangka melawan virus ini. Sampai detik ini juga, belum ada tanda-tanda virus ini mereda. Mungkin dia sedang asik menguji keimanan hamba-hamba Tuhan di tengah zaman yang penuh dengan ketidakpastian dan kerusakan ini.
Tak hanya perekonomian yang dibuat kelabakan, kehidupan umat beragama dan berbagai aktivitas agamanya juga dibuat kelabakan. Umat beragama di berbagai dunia, termasuk Indonesia menjadi ramai ketika pintu-pintu menuju Tuhan ditutup untuk sementara waktu.
Hal ini semata-semata dilakukan untuk mengurangi potensi penyebaran virus yang tak kasat mata. Sebagai konsekuensinya, tempat-tempat yang memungkinkan berkerumunnya orang-orang, baik itu tempat kerja, tempat belanja, tempat wisata, tempat ibadah, dan tempat-tempat lainnya dihimbau untuk dikurangi aktivitasnya bahkan sampai ditutup untuk sementara waktu.
Tentu bukan perkara yang mudah menerima kenyataan ini, terutama bagi umat beragama, agama apapun. Bahkan di antara mereka yang taat dalam beragama ada yang yakin, bahwa Tuhan akan selalu melindungi hamba-hamba yang pergi ke tempat ibadah.
Jika takdirnya meninggal, pasti akan meninggal juga, pun sebaliknya. Pemahaman yang demikian membuatnya abai terhadap himbauan untuk tidak ibadah di tempat biasanya. Yang cukup mengkhawatirkan pemahaman yang seperti ini cukup masif berkembang di tengah masyarakat kita dan ini berbahaya.
Seolah-olah Tuhan sama sekali tidak pernah memerintahkan hamba-Nya untuk berusaha. Bukankah Tuhan sudah berpesan bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai kaum itu merubah dirinya sendiri.
Di tengah pandemi ini, kita harus merubah kondisi ini, ikhtiar atau berusaha kuncinya. Penyebaran virus terus meningkat dan kemana-mana. Tidak sedikit, 192 negara terpapar virus itu. Di Indonesia saja yang awalnya sedikit, kini sudah menyebar kemana-kemana. Hal ini perlu kita waspadai bersama-sama.
Oleh sebab itu, kita sebagai umat beragama juga perlu berusaha dalam rangka mengurangi aktivitas yang melibatkan banyak orang, seperti beribadah sholat Jumat, dan ibadah agama-agama lainnya dengan cara tidak melaksanakan ibadah di tempat ibadah. Bukan tidak melaksanakan ibadah, melainkan tidak beribadah di tempat biasanya untuk sementara waktu. Jadi para pemuka agama perlu untuk mengingatkan jamaahnya sekaligus mencerdaskannya, bersama-sama berusaha mengurangi potensi menyebarnya virus.
Dr Majdi Al Hilali dalam kitabnya “Innahu al Qur’an Sirru Nahdhatina”, menyebutkan bahwa sebuah umat yang menyepelekan ikhtiar manusiawi artinya sudah mengkhianati Allah. Sebab Allah memberikan pada manusia hukum sebab-akibat, dan yang tak peduli dengan itu tandanya tidak mensyukuri nikmat Allah.
Ikhtiar manusiawi itu bisa dalam bentuk physical distancing, di rumah saja, memakai masker, mencuci tangan pakai hand sanitizer. Dengarkanlah pemerintah, fatwa Ulama dan dokter tentang menghindari keramaian, termasuk himbauan untuk sementara waktu tidak shalat Jumat dulu di masjid.
Keputusan itu semuanya dengan dalil dan dengan musyawarah yang panjang. Bukan dengan ego apalagi hanya untuk kepentingan pribadi.Sebab bagaimanapun nyawa seorang manusia itu mahal harganya. Umar bin Khattab yang imannya tinggi, ketika diberi pilihan suatu hari untuk datang ke daerah wabah atau kembali ke Madinah, Umar memilih untuk pulang ke Madinah.
Kalimatnya yang terkenal, “Kita pergi dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain.” Lalu bagaimana dengan kita yang imannya jauh dari sahabat nabi tersebut? Tetap memaksakan diri untuk kontak dengan orang dan bebas pergi kemana-mana?
Kini, semua tempat ibadah ditutup. Corona datang memberikan pesan yang dalam. Umat beragama dipaksa untuk mencari Tuhan, bukan di masjid, gereja, pura, vihara atau bahkan di tengah keramaian. Melainkan pada kesendirian kita, keterisolasian kita, pada mulut yang tertutup rapat, dan pada hakikat yang tersembunyi.
Maka ambillah pelajaran dari peristiwa ini. Agar kita mawas dan tak jatuh dua kali dan kelak ketika wabah selesai, tempat ibadah kembali ramai dengan kita, kajian bisa kembali penuh dengan kita. Semuanya bermula dari menjaga diri kita, kemudian keluarga kita. Apabila kita dan keluarga kita baik, maka kita semua akan baik. Jadi #DiRumahAja untuk kebaikan kita semua dan dunia.