Ramainya upaya mempermalukan Salib yang wa bil khusus berupaya menistakan Kekristenan cukup menguras energi kebatinan kita. Upaya usang mempermalukan Salib faktanya sudah jutaan kali dilakukan sejak zaman Pontius Pilatus dan Nero. Dalam upaya- upaya itulah eksistensi Salib berulang kali diuji apakah ia layak tetap menjadi pusat teologi umat Kristen.
Secara sosiologis, pilihan Salib adalah pilihan untuk dipermalukan. Sebagai alat penghukuman pada zamannya, kekaisaran Romawi melakukan eksekusi di kayu Salib untuk mereka yang diputus sebagai penjahat kejam, pengkhianat, dan kriminal yang tidak dapat direhabilitasi lagi. Maksudnya jelas mempermalukan dan menebar teror untuk tidak lagi meghargai mereka yang disalib. Mereka yang disalib dipersonifikasikan sebagai alat setan dan bahkan setan itu sendiri menurut delik hukum LEX ROMANA yang kerap didukung oleh para pemuka agama Yahudi di Palestina.
Karenanya, sebagai ancaman terhadap agama formal mayoritas di Palestina pada waktu itu, para pemuka Yahudi bersekongkol untuk mempermalukan Yesus dengan hukuman sekeji mungkin. Hal ini jelas untuk mempermalukan “kompetitor” pengkritik agama mereka yang semakin tergerus kepengikutannya karena hadirnya sang “rising star”, Yesus anak tukang kayu dari Nazareth. Mempermalukan dan meneror bagi mereka adalah strategi terbaik mematikan semangat kepengikutan sang penebar kabar kebaikan yang membongkar kemunafikan agama dan pemimpinnya pada saat itu.
Apakah Yesus terima disalib dan dipermalukan? Susah menjawab hal ini karena ada momen di Getsemani malam sebelum disalib ia sampai harus berkata, “seandainya cawan (penghukuman) ini boleh lalu dari padaku, tapi biarlah kehendak-Mu Bapa yang terjadi.” Ia juga pasti sedih dan marah dikhianati Yudas yang menjualnya sebagai alat setan.
Ia juga pasti sedih, bahkan disangkal, bukan oleh tuduhan para musuh-musuhnya, tapi oleh Petrus sebagai salah satu murid kekasih-Nya. Kulminasinya adalah ketika Yesus berteriak di kayu salib mengatakan “Eloi Eloi Lama Sabakhtani” atau Allahku Allahku mengapa Engkau meninggalkan aku. Dalam saliblah totalitas mempermalukan, pengkhianatan, ditinggalkan dan dianiaya dialami sang Yesus.
Tapi, apakah Salib sebagai alat mempermalukan ia tinggalkan? Cukup dengan kompromi dan manut kepada para pemimpin agama, ia bisa bebas murni karena kongkalikong. Bukan saja Pilatus tidak menemukan kesalahan apa pun, bahkan 5 hari sebelumnya ia didapuk oleh seluruh penduduk kota Yerusalem menjadi Raja Israel. Rating popularitas dan akseptabilitas secara politis sangatlah tinggi. Ialah “Hossana”nya rakyat, pemimpin Israel baru yang bisa membawa perubahan. Ia harapan kaum proletar, keajaiban di antara agamawan, serta penghiburan di antara pendosa dan penista.
Dalam segala “keberuntungan” yang ia miliki, Yesus memilh jalan dipermalukan melalui Salib. Walaupun sebagai makhluk sakti yang dicatat Injil melakukan ratusan kali mukjizat, mudah saja ia hengkang dari palang kayu biadab itu. Ia terima dipermalukan. Dari Saliblah ia mengoreksi kedegilan hati para pemuka agama dan semua konspirasi politik jahat para penguasa.
Dekonstruksi praktik sosial, budaya, politik, dan keagamaan dilakukan dari posisi dipermalukan di kayu Salib. Upaya mempermalukan untuk menghentikan spiritualitas pembebasan yang mengancam kelompok status quo dijungkirbalikkan di Salib. Mens Rea perselingkuhan penguasa dan pemuka agama dikontestasi secara apik di bukit Golgota itu.
Yesus menerima Salib dengan ucapan yang sangat menohok, “Ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Dalam ekspresi lembut inilah, Ia ungkapkan kebodohan manusia karena kejahatan. Pada hakikatnya sepanjang sejarah manusia terjadi piramida pengorbananan manusia karena kejahatan mempertahankan kekuasaan dalam wujud takhta dan harta. Untuk itulah manusia menjadi bodoh sebodohnya dengan tidak tahu dan tidak mau tahu apa yang mereka lakukan.
Segala cara, termasuk membunuh, mempermalukan, dan menghancurkan sesama manusia, dilakukan untuk rencana jahat yang ada. Manusia melakukan persengkokolan busuk bahkan melalui agama. Di kayu Salib, Yesus menyadari kebodohan mereka yang mempermalukan-Nya dan mengampuninya.
Di kayu Salib juga ia tidak hanya berkata, tapi juga bertindak dengan pergerakan “out of the box”. Ada ucapan “Sesungguhnya, hari ini juga kamu akan bersama Aku di dalam Firdaus” kepada salah satu kriminal yang disalib dan dipermalukan.
Dalam kapasitas sebagai orang kudus, seharusnya Yesus bisa menghujat kedua penyamun yang juga disalib di kanan dan kirinya. Tapi, siklus mempermalukan orang lain dipatahkan ketika ada kesempatan untuk itu. Yesus tidak ikutan dalam multiplikasi kekerasan, tapi konsisten dengan perjuangan yang memuliakan manusia lain, sejelek apa pun mereka. Deklarasi mengajak ke Taman Firdaus adalah pemuliaan manusia lain yang sudah divonis salah dan rusak.
Sejatinya Salib itu memang setan. Salib adalah alat setan. Di palang kayu jahat itu setan ingin menghancurkan rencana Ilahi untuk kebaikan kemanusiaan. Siapa pun boleh menuduh Salib sebagai setan dan alat setan. Tapi, siapa pun boleh juga meyakini bahwa Salib menghancurkan infiltrasi setan untuk memperburuk kondisi kemanusiaan yang rusak dan dirusak oleh dosa dan azab.
Di Saliblah dosa dinihilkan oleh kebaikan. Euanggalion dalam bahasa Yunani, atau Injil dalam bahasa Indonesia asupan dari bahasa Arab, yang berarti “kabar baik”, dipertontonkan di Salib dengan jelas. Ketika manusia lain ingin mempermalukan dan menjatuhkan sesama manusia, Salib jadi model pemartabatan manusia.
Semakin dipermalukan, ironisnya tak pelak Salib malah semakin menambah gaung ajaran hakiki sang figur yang disalib. Dalam ajaran-Nya, Ia mengatakan, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu… dan… Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Dalam dua hal vertikal dan horisontal inilah indikator ketakwaan dan kebermanfaatan spiritualitas seorang anak manusia diuji. Mirip ungkapan hablum minallah wahablum minannas yang seharusnya bisa dipraktikkan semua manusia dalam menjalankan ibadah dan amaliyahnya.
Permalukanlah Salib separah-parahnya, dan itu bagian dari spiritualitas umat manusia untuk bisa melawan kejahatan. Di kayu Salib ada setan, di palang biadab itu ada dosa dan di sanalah segala kejahatan dan kebejatan kemanusiaan terakumulasi. Tapi, di Salib itu juga ada permaafan sejati. Di kayu Salib ada inisiatif Allah untuk solusi kejahatan dan kecurangan manusia.
Di kayu Salib martabat manusia dikembalikan di mana kemanusiaan hakiki dikembalikan sesuai rencana Ilahi, Sang Pencipta. Karena Salib ikhtiar memanusiakan manusia lain seharusnya terus diupayakan di tengah derasnya niatan buruk saling menjatuhkan dan menghancurkan.
Salib yang dipermalukan adalah monumen hidup rencana sempurna Ilahi dan keterbatasan manusiawi yang rentan akan keberdosaan. Namun, kalaupun dipermalukan ribuan kali, Salib tetaplah Salib. Dalam Salib kita bisa berkata, Tuhan mengasihi kita dan oleh karenanya kita harus mengasihi siapa pun sesama manusia kita.
Agitasi anasir kejahatan tidak pernah akan bisa menghancurkan inisiatif Ilahi yang hadir dalam hati nurani manusia-manusia baik, siapa pun dia, yang mau menjadi anak-anak Tuhan.
Salam damai karena Salib.
Baca juga
Ceramah Salib Somad dan Pentingnya Pemahaman Antar-Iman
Kebangkitan Yesus: Hidup atau Mati?
Jangan Menuduh Kristen Itu Syirik!: Memahami Kristologi Qur’an