Terus terang, ada seorang politisi yang tidak pernah saya perhatikan serius. Dia adalah Megawati Sukarnoputri. Saya akui, saya tidak pernah melihatnya sebagai politisi yang mumpuni. Dia menjadi ketua partai hanya karena embel-embel nama dibelakangnya: Sukarnoputri.
Namun hari ini secara tidak sengaja saya menonton siaran langsung pidato Megawati pada pembukaan Konggres V PDIP di Hotel Bali Beach, Denpasar, Bali. Untuk PDIP, terutama untuk Megawati dan Presiden Joko Widodo, Bali memiliki makna yang penting.
PDIP melakukan Konggres pertamanya sesudah Orde Baru disini. Setelah itu, mereka menang pemilu. Namun kemenangan itu tidak bisa diterjemahkan untuk bisa memerintah. Kita tahu, poros tengah — koalisi partai-partai Islam dan partai peninggalan Orde Baru (khususnya Golkar) — bersekutu menjegal Megawati menjadi presiden. Dia hanya menjadi wakil presiden. Sementara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden.
Akhirnya Gus Dur digulingkan hanya 18 bulan setelah menjabat sebagai presiden. Mereka yang dulunya menaikkan Gus Dur pulalah yang menjadi pelempar batu pertama penggulingannya. Megawati akhirnya menjadi Presiden RI yang ke-5. Dia menghabiskan masa jabatan Gus Dur sebelum akhirnya dikalahkan dalam Pilpres 2004 oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemilihan presiden langsung.
Bali adalah lumbung suara PDIP. Pada Pilpres 2019 kemarin, Presiden Jokowi menang dengan 91,6% di provinsi ini. Terbesar di seluruh Indonesia. Tidak heran, Jokowi memakai pakaian adat kebesaran raja-raja di Bali naik ke panggung saat membuka Konggres PDIP ini.
Ekspektasi saya sangat rendah ketika mengetahui bahwa Megawati akan berpidato membuka Konggres. Dia pasti akan membaca dari teks pidato yang sudah dipersiapkan. Dan, sama seperti presiden Orde Baru, Suharto, Megawati akan membacakan kertas pidatonya dengan cara yang sangat membosankan.
Namun ekspektasi itu runtuh ketika Megawati berhenti membaca kertas pidatonya. Dia mulai bicara tanpa teks. Ini untuk pertama kalinya saya melihat sosok yang lain. Dia bicara terus dan menjadi dirinya sendiri.
Disinilah saya melihat kualitas Megawati sebagai “Mamak Banteng,” sebagai Matriarch dari sebuah partai besar pemenang Pemilu. Dia mulai bicara langsung kepada kadernya. Secara lepas dia bergurau seakan di meja makan.
Pembukaan Konggres ini dihadiri hampir semua petinggi partai, wakil presiden (yang masih menjabat maupun yang terpilih) dan presiden Jokowi sendiri.
Saya terkesan ketika Megawati mulai menceritakan bagaimana dia menghadapi kampanye Prabowo yang memindahkan kantornya ke Solo, Jawa Tengah. Prabowo menganggap itu langkah strategis. Namun sesungguhnya itu blunder besar. “Banteng itu kalau tidak ada musuh, dia akan merumput,” katanya. Namun kalau ada musuh, dia akan mengasah tanduknya dan bertarung. Saya tidak tahu bagaimana perasaan Prabowo ketika ditunjukkan kesalahan strategisnya justru di kandang lawannya.
Megawati juga tidak lupa akan sejarah masa lalunya. Dia menyindir Erlangga Hertanto, Ketua Golkar, untuk tidak memotongnya nanti saat pembagian jatah kekuasaan. Dia ingat pengalaman bagaimana dia seringkali dipotong walaupun sudah menang Pemilu.
Namun, peringatan terkeras Megawati justru diarahkan kepada Presiden Jokowi, kader partainya sendiri. Dia menegaskan bahwa PDIP adalah partai pendukung utama Jokowi. “PDIP harus mendapat yang terbanyak,” katanya. Menurutnya wajar kalau PDIP meminta jatah. “Wong yang tidak ikut (mendukung Jokowi) aja minta,” katanya.
Sungguh saya tidak pernah melihat Megawati bicara seperti ini. Dia kelihatan santai dan sangat menguasai forumnya. Tidak mengherankan. Dialah yang paling besar di forum ini. Dialah si Mamak Banteng. Dialah sang Matriarch.
Kita tahu bahwa Megawati akan terpilih lagi menjadi Ketua PDIP. Ini berarti Megawati akan memimpin PDIP selama 25 tahun (1999-2024). Ia juga sudah pernah memimpin PDI (1993-1996) sebelum dijungkalkan oleh pemerintah Suharto lewat peristiwa berdarah 27 Juli 1996.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya, sampai kapan Megawati akan mampu memimpin PDIP? Jelas bahwa sebagai sebuah partai PDIP mengalami problem ‘Sultanisme.” Partai ini dikendalikan oleh ketua yang berdarah biru dan dianggap sebagai seorang ‘monarch’ yang hanya bisa diganti sesudah dia meninggal. Penggantinya pun, bisa diramalkan akan berasal dari keturunannya.
PDIP adalah sebuah partai modern namun dengan model kepemimpinan yang sangat feodalistik.
Saat ini Megawati berusia 72 tahun. Dia akan berusia 77 tahun pada 2024 nanti. Bukan soal usia yang menjadi persoalan. Tapi soal tidak bisanya orang-orang muda yang memiliki kemampuan dan ide-ide gemilang yang harus diuji lewat jalur kepemimpinan.
Akankah PDIP bisa bertahan? Bagaimana PDIP akan menavigasi perubahan? Bagaimana ia akan mampu mengakomodasi kader-kader muda yang potensial?
Namun, ada pula kemungkinan lain yang muncul dalam pikiran saya. Bayangkanlah PDIP tanpa Megawati. PDIP memiliki beragam kader dengan beragam kepentingan. Konflik kepentingan sangat keras di dalam partai.
Mungkin Megawati hanya perlu hadir disana. Dia hanya diperlukan untuk memoderasi konflik. Dia diperlukan sebagai kekuatan simbolik partai. Agaknya, PDIP harus mencari keseimbangan ini. Memang banyak kader-kader muda potensial yang muncul dalam tubuh partai ini. Bahkan diantara kader itu ada yang menjadi presiden.
Selain itu, sebagaimana biasa dalam sistem yang sultanistik, problem terbesar yang dihadapi partai ini adalah problem suksesi. Biasanya, yang dipersiapkan adalah anggota dinasti dari pemimpinnya. Disini pun kita melihat kemungkinan PDIP terjerumus menjadi Korea Utara.
Megawati sang Matriarch menjadi solusi untuk problem jangka pendek PDIP, yakni jangkar untuk menghindari konflik di dalam partai. Namun, sang Matriarch juga menjadi problem jangka panjangnya. Khususnya dalam hal kepemimpinan di dalam partai.