Laporan utama majalah Tempo minggu ini tidak saja menyajikan berita. Ia menjadi berita. Tidak banyak berita yang menjadi berita. Media massa lain hanya menyiarkannya.
Apa yang dilakukan Tempo sejatinya sangat sedikit dilakukan oleh media-media di Indonesia. Tempo menginvestigasi. Dia menggali sedalam yang dia mampu.
Tempo punya kemewahan untuk melakukan itu, karena dia terbit seminggu sekali. Sangat berbeda dengan media yang harus memperbaharui konten 1×24 jam, yakni media daring.
Jurnalis-jurnalis di media daring dituntut harus mengejar informasi yang terbaru setiap saat. Kelambatan dalam hitungan menit adalah kerugian. Tidak heran, jurnalis-jurnalis media daring seakan bekerja 24 jam. Jika tidak bisa menjadi yang pertama menayangkan satu peristiwa, minimal tidak ketinggalan jauh-jauh amat. Mereka selalu bergerak dan punya waktu yang sangat sempit untuk mengecek silang fakta-fakta di lapangan.
Hal tersebut karena media daring melayani pembaca yang juga ‘mobile.’ Pembaca media tradisional adalah immobile. Anda tidak bisa membaca koran atau majalah terbaru kapan saja Anda mau. Anda harus menunggu dia terbit.
Kalau Anda mau tahu perkembangan satu kejadian, Anda harus menunggu besok pagi (atau bahkan minggu depan!). Tidak bisa segera. Itulah sebabnya untuk banyak golongan tua membaca koran menjadi satu ‘ritual.’ Bangun pagi, kadang tanpa sikat gigi, baca koran, sambil menyeruput kopi panas dan pisang goreng.
Imajinasi memperoleh informasi seperti itu sudah tidak ada lagi. Ritual itu sudah semakin usang. Banyak orang meratapi ‘senjakala media cetak.’ Namun itulah kenyataannya.
Lihat saja kenyataan ini. Ketika membuka Facebook hari Minggu siang, saya mendapati seorang kawan saya membagi laporan utama Tempo. Tidak sampai satu jam, saya sudah menjumpai paling tidak lima kawan saya memasang laporan utama itu di lini massa-nya.
Laporan ini di-copy oleh seorang yang berlangganan Tempo, yang dengan riang gembira membagikannya kepada siapa saja. Ini adalah mentalitas kaum ‘mobile.’ Seperti para jurnalis media online, setiap pembaca yang ‘mobile‘ ini juga selalu berusaha menjadi yang pertama.
Siapa yang pertama membagikan, dia menjadi yang paling bahagia. Tentu, sebagai ganjarannya dia mendapat ‘like‘ dan apa yang dibagikan itu dibagi lagi ke orang lain (share). Semakin banyak like dan share yang dia dapatkan, semakin banggalah dia. Orang menyebutnya ‘viral.’
Mentalitas ini menjadi berbahaya jika masuk ke dalam wilayah politik. Karena politik adalah juga soal membentuk persepsi. Tapi itu soal lain. Lain kali saja kita bahas.
Nah kembali ke Tempo. Majalah cetak, urat nadi ekonomi media ini, baru muncul hari Senin. Itu pun di Jakarta. Ketika Laporan Utama itu dibagikan, majalahnya barangkali masih dicetak.
Ketika laporan Tempo terbit di hari Senin, semua orang sudah tahu apa yang ada dalam majalah ini. Mungkin orang membeli majalahnya juga. Terutama kaum pembaca yang masih suka ‘bau kertas dan tinta’ serta duduk sambil ongkang-ongkang kaki di pagi hari dengan kopi, rokok, dan majalah. Sementara itu, jutaan orang sudah menikmati laporan utama tersebut. Jika saja Tempo adalah media daring, dia akan menikmati jutaan klik dan jutaan share. Setiap klik adalah uang.
Apakah itu salah? Ya, begitulah. Informasi itu adalah komoditinya Tempo. Mereka bukan yayasan sosial. Jurnalis-jurnalis mereka perlu makan. Punya keluarga. Perlu bayar cicilan KPR atau mobil sekon.
Untuk membuat jurnalisme yang baik butuh biaya yang tidak sedikit. Lalu apakah ini salahnya pembaca? Saya kira juga tidak.
Mungkin saya harus mengatakan bahwa Tempo hadir pada zaman yang sudah sangat berubah. Jika tidak bisa mengubah zaman, maka Tempo yang harus berubah. Maksud saya, model bisnis Tempo yang harus menyesuaikan diri dengan mobilitas pembacanya.
Bagaimana caranya? Nah, itu pekerjaan konsultan media yang harus menjawab :P
Saya kira, kejadian ini harus membuat Tempo melakukan retret agung untuk mencari makna “click, like & share” adalah uang. Mereka mungkin sudah tahu itu tapi tidak serius berpikir tentangnya.
Tapi, bagaimana pun juga, saya tetap hormat pada apa yang dilakukan Tempo. Saya sesungguhnya kuatir kita kehilangan media yang baik dan sehat ini. Bukan karena mutu jurnalistik mereka buruk. Justru sebaliknya. Hanya saja mereka tidak mampu menerjemahkannya menjadi uang, yang mereka perlukan untuk terus hidup.