Kamis, April 25, 2024

Kritik “Dua Garis Biru” untuk Kaum Terdidik

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Mengapa film Dua Garis Biru sempat ditolak ramai-ramai? Jawabanya sederhana: karena begitulah hakikat sebuah bangsa yang kecanduan moral. Saking kecanduannya, sisi gelap selalu dilihat sebagai kegelapan. Bahkan, sisi terang selalu dipandang dari sisi gelap. Padahal, pelajaran terbaik tak selalu muncul dari hal-hal baik. Pelajaran terbaik justru sering berasal dari hal-hal buruk. Eropa sadar bahwa jika agama (Katolik) masuk terlalu dalam ke sistem negara, negara akan kacau kembali. Karena itu, lihatlah di zaman modern ini, Eropa “mengucilkan” agama dari negara.

Bukan berarti Eropa menjadi tak beragama, apalagi tak religius. Periksalah berbagai data betapa negara-negara sekuler jauh lebih damai dan aman daripada negara berdasarkan agama. Saya tak sedang mengajak agar kita pernah mengalami hal-hal buruk, apalagi sampai memburuk-burukkan pengalaman. Saya justru mengajak agar kita terbuka pada setiap keburukan apa pun. Terbuka bukan berarti menerima untuk kemudian ditiru, apalagi dikembangkan. Terbuka lebih pada menerima untuk kemudian dihindarkan.

Kebetulan sekali film Dua Garis Biru adalah sebuah kisah keluarga. Kisah ini menjadi teramat penting karena kini mulai terjadi pendangkalan keluarga. Padahal, seperti kata Max Regus, tidak ada manusia yang tiba-tiba muncul dari ruang kosong. Semuanya selalu berawal dari keluarga. Sayangnya, saat ini definisi berkeluarga sudah sangat menggelisahkan. Berkeluarga disempitkan artinya sebatas sebagai cara untuk memperoleh keturunan, bahkan lebih banal dari situ.

Keluarga menjadi narasi yang kering: ayah mencari nafkah, ibu hanya tukang masak, dan anak hanya hasil perkawinan. Keluarga miskin dari rasa tanggung jawab, edukasi, pengabdian, apalagi kebahagiaan. Maka, tak mengherankan, jika kemudian acap kita dengar beratus-ratus pasangan suami-istri berujung perceraian.

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama pada 2010-2014, misalnya, dari sekitar dua juta pasangan yang menikah, 15% di antaranya bercerai. Nasib anak diabaikan. Malah lebih tragis: anak disamaratakan seperti barang gono-gini.

Jika, misalnya, ada dua anak dari hasil perkawinan, maka mereka akan memperoleh masing-masing satu anak. Teramat banyak kisah getir sebuah keluarga. Ada suami yang kasar pada istirnya, main perempuan lagi; ada perempuan yang mencari penghiburan dari luar hanya karena tak betah dengan ulah suaminya. Tragisnya, kisah-kisah seperti ini tak dialami oleh manusia-manusia miskin. Kisah-kisah seperti ini justru umumnya dialami oleh manusia berpendidikan tinggi yang kebetulan berbinar dalam hal keuangan.

Saya sering sangat dilematis memandang sebuah cinta: apakah semakin tinggi pendidikan maka semakin hilang rasa cinta? Apakah semakin banyak uang, semakin habis pula kebahagiaan?

Saya tak sedang membahas kisah cinta-cintaan di sini. Kita sedang membahas bahwa berkeluarga itu bukan sekadar menyatukan dua insan agar sah serumah. Untuk apa serumah, atau bahasa yang lebih lugas: untuk apa bersetubuh jika tak pernah setubuh? Untuk apa tinggal di atap yang sama jika miskin komunikasi dan diskusi?

Dua Garis Biru sejatinya sebuah kritik sosial. Dan, kritik ini justru pada orang yang berpendidikan tinggi dan berkehidupan mapan. Lebih jauh, ini adalah kritik terhadap pendidikan kita. Kritik itu, misalnya, mengapa pendidikan kita seperti tak menghasilkan apa-apa, kecuali sebatas menimbun gelar?

Jelas saja, dalam film itu ada dua deskripsi keluarga. Dari keluarga, katakanlah miskin (Bima) dan dari keluarga kaya (Dara). Seharusnya, jika dilihat dari segi pendidikan, keluarga Dara mesti lebih matang dalam bersikap.

Namun, entah kenapa, justru keluarga Bima yang jauh lebih arif. Ketika Dara ketahuan hamil di luar nikah, kedua dari masing-masing orang tua marah. Marah itu biasa. Itu ekspresi kekecewaan. Namun, kemarahan keluarga Dara tampak kurang berpendidikan.

“Jadi orang tua itu bukan cuma hamil sembilan bulan sepuluh hari, itu pekerjaan seumur hidup” kata Ibu Dara. Kalimat itu elegan. Itu kalimat yang sangat mendidik. Namun, kalimat itu minim tindakan. Kalimat itu hanya teori. Karena diungkapkan Ibu Dara sebagai perwakilan dari kaum terdidik, maka kalimat itu benar-benar menunjukkan betapa pendidikan kita selama ini miskin praktik.

Inflasi teori, defisit aplikasi. Bukti sahihnya. Siapa tokoh-tokoh koruptor kita? Bukankah mereka adalah deretan orang-orang bertitel? Kurang diragukan apa lagi mereka soal apa itu nasionalisme? Tetapi, apakah mereka sungguh mempertahankan negara ini? Saya jadi teringat pada Agus Noor: bahwa satu-satunya penyebab negara ini tak jauh menjadi negara gagal adalah karena orang miskin (tak berpendidikan) memberdayakan dirinya dengan baik. Sebaliknya, dengan Ibu Bima.

Ya, ya, ya. Kelihatannya ia lebih brutal. Ia tampar anaknya. Hidup ini keras, kurang lebih begitu pesannya. Dan, memang begitulah fakta berbicara: orang miskin hidup di antara kekerasan. Tetapi, tamparan adalah tamparan. Itu sentuhan yang lebih berarti daripada sekadar kalimat tanpa teladan. Buktinya, Bima dan Dara melakukan hal terlarang di rumah Dara. Mengapa di rumah Dara? Pesan terjauhnya sederhana: karena kini rumah  (khususnya rumah orang kaya) sudah tinggal sebatas tempat tidur, bahkan sebatas investasi belaka. Motifnya ekonomi, bukan lagi sosial.

Ini pesan yang akrobatik bagi kaum terdidik dan kaum mapan: supaya rumah bukan lagi sebatas tempat tidur. Tak bisa ditampik, kaum terdidik selama ini sangat kering dalam berkeluarga. Rumah jadi sebatas tumpukan beton dan  atap, tanpa jiwa dan denyut kehidupan.

Di dalam rumah itu, ayah sebatas pencari nafkah. Bagi ayah, begitu nafkah beres, urusan keluarga seakan sudah beres seolah-olah keluarga hanya sebatas angka dan rupiah. Keluarga miskin akan diskusi. Memang, kini ada semacam kebahagian digital: sebuah keluarga pergi ke kafe, makan bersama, foto bareng, lalu mengunggah ke medsos.

Tetapi, ini bukan tipe keluarga yang baik. Sebab, alih-alih diskusi, mereka pergi ke kafe justru mengasingkan diri dari anggota keluarganya. Mereka sibuk dengan medsos mereka. Mereka menunggu panen like dan komentar. Mereka pun seakan berutang untuk membalas komentar itu. Dampaknya, sesama anggota keluarga minim bicara dengan mulut, dengan tatapan mata, dengan sentuhan, apalagi dengan hati. Dampak yang lebih brutal, terjadilah keluarga-keluarga Dara. Anak kesepian sehingga mencari hiburan dari luar.

Tragisnya, ketika tercebur ke lumpur pergaulan bebas, oh, orang tua berpendidikan ini malah menyalahkan si anak. “Kamu membuat malu keluarga kita yang terpandang,” kurang lebih begitu orang tua menanggalkan dirinya dari tanggung jawab. Padahal, andai orang tua hadir, apa Anda yakin akan ada Dara-Dara yang tercebur?

Sekali lagi, film ini film kritik. Sayangnya, kritik itu justru kepada orang-orang terdidik. Orang yang sempat paling kukuh menolak film ini siapa coba? Tetapi, sudahlah, pendidikan kita ternyata hanya bisa memproduksi titel. Mengapa kemudian mereka sempat menolak film ini barangkali hanya cara bagi mereka untuk tidak menerima kritik.

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.