Nadiem adalah pribadi yang “tak butuh bantuan.” Ketika ia memutuskan sesuatu, tak ada pertimbangan dengan kiri-kanan. Yang saya maksud adalah orang-orang yang rela membantunya secara gratis. Para relawan dan teman-teman seperjuangan. Tapi niat baik itu diabaikan.
Padahal sejak Nadiem terpilih, kursinya digoyang oleh banyak pihak. Sebagai bocah bau kencur yang tiba-tiba menduduki kursi panas yang biasanya jadi jatah ormas keagamaan, tentu ia tak bakal nyaman. Kejatuhannya hanya soal waktu. Tergantung kekuatan politik yang mendorong kekecewaan itu.
Karena merasa telah tahu jalan, Nadiem memilih jalan sendiri. Akhirnya ia menuai karma. Bom waktu itu meledak. Mestinya seorang menteri itu tidak hanya membuat kebijakan, tapi juga menjaga hubungan baik.
Dalam tradisi perpolitikan kita, pos Kementerian Agama biasanya diisi oleh orang-orang NU. Sementara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diisi oleh orang-orang Muhammadiyah. Ini memang bukan tradisi yang baik. Karena menteri itu dipilih karena kemampuannya, bukan karena relasi politiknya.
Tapi itulah yang berjalan selama ini. Jika hendak membuat perubahan, lakukan dengan cerdik. Jangan mendeklarasikan perang secara terbuka. Kecuali seseorang itu punya kekuatan politik yang sangat besar. Ia mampu meredam semua benturan.
Ketika Jokowi membuat manuver dengan memasukkan orang luar seperti Nadiem, mestinya sang menteri paham harus jaga hubungan baik-baik. Libatkan mereka. Minta petunjuk. Karena bagaimanapun, kita ini orang timur.
Ketika Nadiem memilih Bhakti Tanoto dan Putera Sampoerna untuk Program Organisasi Penggerak (POP) dan menggelontorkan dua puluh miliar pada mereka, keretakan itu telah terpicu. Memang para konglomerat itu menjanjikan dana tambahan, sehingga terakumulasi jadi lima puluh miliar. Tapi kita bicara soal hubungan baik tadi.
Soal nominal mungkin tak terlalu besar. Tapi sekali lagi, yang membuat NU dan Muhamadiyah meninggalkan grup itu karena mungkin merasa kurang dihargai. Kalau orang Jawa bilang, kurang diuwongke. Belakangan PGRI juga menyusul tinggal gelanggang dengan alasan yang serupa.
Nadiem telah memilih risiko untuk berjalan sendiri. Ia mungkin orang baik dan cerdas. Tapi siapapun membutuhkan teman yang menunjukkan arah perjalanan. Bukan hanya teman dalam berbagi bantuan.
Apalagi di tengah rimba raya politik yang sedemikian ganas. Tak cukup hanya menjadi baik dan pekerja keras. Tapi agaknya Nadiem senang bergaul dengan kalangan kelas atas. Merasa kuat dan mampu berjalan sendirian.
Sekarang tentu akan kita lihat titik balik peristiwa ini. Apakah kekecewaan para senior ini akan menjungkalkannya dari kursi panas? Jika tidak ditangani dengan baik, jabatan menteri muda itu tak akan berumur lama.
Saya telah membaca gelagat ke arah sana. Narasi untuk menjungkalkan Nadiem mulai dibangun dan disebarkan dari grup-ke grup WA. Semacam ingin membentuk bola salju dari atas bukit. Saat ini mungkin masih kecil, tapi jika tidak segera diredam sebentar lagi akan sulit belokkan.
Tapi Nadiem tentu punya tim yang akan memikirkan jalan keluarnya. Rekan-rekan kelas atas yang menjadi kawan bermainnya. Paham ya, Ndro?