Seringkali kegiatan kesenian dan peristiwa-peristiwa budaya yang diadakan untuk masyarakat gagal mencapai klimaksnya karena ikut campur pemerintah yang terlalu besar. Dana yang dialokasikan untuk kegiatan kesenian dan menumbuhkan gairah berkreatifitas masyarakat justru hanya jadi alasan pemerintah, pihak penguasa ataupun politisi yang bersembunyi dibaliknya untuk tampil di panggung-panggung festival.
Untunglah, pada kegiatan Kemah Seniman yang baru saja di gelar di Payakumbuh Minggu lalu ( 11-13 Nov 2021) penguasaan panggung oleh pemerintah ataupun politisi tidak begitu dominan. Sebagai penyedia dana, tentu hasrat menggunakan panggung ‘orang banyak’ ini bagi kepentingan pragmatis dan pemenuhan hendak berkuasa akan selalu ada, untungnya kurator acara cukup paham dengan ‘keliaran hasrat’ itu.
Pemerintah dan politisi hanya dihadirkan pada moment pembukaan dan penutupan kegiatan, selebihnya para senimanlah yang menentukan, akan mengapa mereka di acara perkemahan itu. Hanya saja (sayang sekali) rumusan akan mengapa mereka itu, itu betul yang sampai hari ini, setelah seminggu lebih acara usai, yang belum terdengar dipemberitaan. Apa belum terumuskan atau bagaimanakah sebenarnya. Akibatnya ya, yang tersisa dalam memori kita tentang acara tersebut hanyalah seremonial pembukaan dan penutupan saja.
Kalau memang pemerintah yang direpresentasikan lewat kehadiran Gubernur Sumatera Barat, Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Walikota Payakumbuh dan politisi yang direpresentasikan oleh Ketua DPRD Sumbar tidak mengambil alih pentas secara dominan, mengapa pemberitaan media seputar kemah seniman ini didominasi oleh kegiatan seremonial pembukaan dan penutupan saja?
Pertanyaan itulah yang kemudian mendorong saya menulis esai pendek ini. Ketika media hanya menjadi ‘corong’ penguasa dan politisi, harus ada yang mau sedikit bersusah payah keluar dari lingkaran itu.
Mungkin kurator acara atau penulis-penulis yang datang sebagai peserta dalam acara tersebut tengah menyiapkan tulisan yang bernas soal acara kemah seniman tersebut, yang sebernas-bernasnya, tetapi belum sempat terpublikasi. Atau mungkin juga pihak yang diharapkan tersebut masih menderita kelelahan setelah tiga hari sibuk dengan acara. Atau mereka masih ‘fana’ dalam nikmatnya kebahagiaan setelah berkumpul bersama.
Tulisan ini tentu saja tidak merupakan hasil kesepakatan yang benar-benar bisa menggambarkan peristiwa yang terjadi selama Perkemahan Seniman berlangsung. Ini hanyalah catatan kecil dari seorang ‘pakiah singgah’, yang datang ke acara tanpa diundang.
Saya bukan seniman dan juga bukan peserta resmi Kemah Seniman tersebut. Saya datang ke perkemahan itu untuk memenuhi panggilan hati saja, karena separo lebih hidup saya memang ‘berhuru’huru’ dengan kawan-kawan penggerak budaya dan kesenian saja. Karena datang tak diundang, jelas saya tidak menerima uang saku pengganti transportasi atau mendapat fasilitas lainnya, tapi – lagi-lagi— itu tak jadi soal benar bagi saya.
Bertemu dengan para seniman Sumatera Barat, bersembang bual sampai tengah malam, mendengar musik, melihat tarian, mendengar bacaan-bacaan puisi itu sudah lebih dari segalanya. Kata Kuyut (Iyut Fitra), salah seorang kurator merangkap EO (Event Organizer) acara kemah itu, target acara adalah bagaimana membuat seniman berbahagia. Temanya Alih Wahana, Alih Wacana. Ya semacam alih-alih tempat dan alih-alih cerita lah, kira-kira. Dari Seniman yang biasa sengsara menjadi seniman yang bahagia.
“Berkesenian itu harus dengan hati riang. Seniman harus bahagia.” Demikian kira-kira semangat perkemahan ini. Dengan rumusan bahwa kebahagiaan yang diinginkan itu ‘mambasuk dari bumi’. Artinya, kebahagiaan yang diinginkan itu harus datang dari dalam jiwa bukan diumpan dari luar. Tercapaikah target itu?
Saya pikir tentu jawabannya tergantung bagaimana dan sedalam apa kata ‘bahagia’ didefinisikan bersama. Kalau kita merujuk kepada pikiran Al Ghazali dalam Kimiya al Sya’adah (Kimia Kebahagiaan) atau yang diterjemahkan dalam bahasa lain menjadi The Alchemy of Heppiness, maka kebahagiaan itu punya tingkatan-tingkatannya sendiri, sesuai dengan potensi diri (jiwa) manusia.
Ada orang yang cukup berbahagia bila terpenuhi urusan makan, minum dan kebutuhan biologisnya. Inilah cerminan kebahagiaan binatang ternak piaraan dalam diri (baha’im). Ada pula yang meletakkan kebahagiaannya bila dia berhasil mengalahkan lawan dalam adu argumen, berhasil menyerang atau membunuh lawan laksana kelompok hewan liar dalam diri (siba’). Ada yang bahagia setelah sukses melakukan tipu daya, menggiring opini, menyembunyikan kebenaran dan menggantinya dengan yang tidak benar laksana kebahagiaan Setan. Dan ada pula yang bahagia ketika berhasil menjadi patuh saja, tunduk, ikut dan tak membantah atau marah sama sekali atas apapun yang terjadi, ini laksana kebahagiaan ala malaikat.
Gnothi Seauton kai meden agan, demikian kata Socrates. Kenali dirimu sendiri dan jangan berlebihan. Untuk mengukur target kebahagiaan yang didapat tentu para seniman kita yang hadir di acara perkemahan tersebut bisa mengukurnya sendiri. Masih tersisakah kebahagiaan itu, kawan? Atau sudah habis bersama lesapnya rasa lelah?
Wallahua’lam bissawab. Allahlah yang lebih tahu kebenaran sesungguhnya.