Senin, Oktober 14, 2024

Kecemburuan Netflix Lewat Social Dilemma?

Ranah, Rantau dan Jokowi

Membedah Anxiety

Rezky Dwiantoro
Rezky Dwiantoro
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

Cemburu merupakan suatu hal yang sangat lumrah dalam suatu hubungan, tak pelak, ketika salah seorang dari suatu hubungan tidak mendapatkan perhatian, kecemburuan mulai menyelimuti hati, perasaan sedih, gelisah dan kecewa menjadi satu kesatuan yang kompleks. Sehingga berbagai tindakan dilakukan untuk mendapatkan kembali perhatian dari seseorang yang diinginkan.

Jika kecemburuan biasanya berkutat kepada suatu gambaran realitas yang ada, seperti antara pasangan laki-laki dan perempuan, orang tua dengan anak, pimpinan dengan anggota dan bahkan hewan peliharaan dengan majikannya.

Kecemburuan yang terjadi saat ini tidak berposisi pada sosok makhluk hidup, akan tetapi makhluk fiktif yang bernama Netflix, sedangkan manusia di sini sebagai penggerak kecemburuannya.

Netflix sendiri merupakan salah satu penyedia jasa streaming film yang telah ada sejak tahun 1997, berawal dari DVD yang disewakan oleh Reed dan Marc, saat ini Netflix sudah menjadi penyedia jasa streaming film atapun program televisi terbesar di Planet ini.

Selain menyediakan jasa streaming film milik rumah produksi Hollywood, Netflix turut memproduksi beberapa film lewat rumah produksi milik mereka sendiri, salah satunya film Social Dilemma yang tengah menjadi perbincangan banyak orang, dan bahkan menduduki posisi 10 film teratas Netflix. Hingga pada akhir film ini, banyak dari penonton yang mulai merasa resah akan keberadaan perangkat sosial media yang setiap harinya mereka gunakan.

Namun, saat berada dipertengahan film Social Dilemma, penulis mulai bertanya-tanya perihal alasan Netflix membuat film ini, apakah sebagai alarm? untuk penontonya yang sekaligus pengguna sosial media, ataukah sebuah propaganda? yang diciptakan lewat film dokumenter, hal ini diasumsikan karena kecemburuan Netflix terhadap sosial media. Sekarang, mari coba kita lihat film Social Dilemma secara holistic, tentu terdapat pilihan salah satu yang benar diantara dua pertanyaan sebelumnya, namun tak dapat dipungkiri jika keduanya sama-sama benar.

Manusia Sebagai Agenda Baru

Kecemburuan diawali dari keinginan para creator sosial media untuk menjadikan manusia sebagai agenda baru dalam berbisnis, beristilahkan “jika sulit menjual produk kepada manusia, maka manusia itu sendirilah produknya”. Hal ini menjadi sangat masuk akal ketika para creator mulai mengarahkan teknologinya untuk menggaet lebih banyak pengguna.

Terlebih, pengguna sosial media naik menjadi 3.8 Billion pengguna pada masa pandemi ini, hingga Juli 2020, terhitung angka ini hampir menyamai jumlah separuh populasi manusia di Planet ini. Dengan pengguna sosial media sebanyak 3.8 Billion ini, Facebooklah yang menduduki posisi puncak dengan 2.7 Billion pengguna, wajar saja jika Facebook yang paling diuntungkan dalam bisnis big data ini, dilain hal bagi pembelinya, Facebook tak jauh beda seperti bongkahan berlian yang berada di pinggiran sungai.

Artificial Intelligence (AI), Algoritma dan Kebiasaan Baru

Dengan jumlah data sebesar ini, bukan tidak mungkin jika Facebook dan sosial media lainnya menciptakan robot-robot pilihan mereka, dilengkapi dengan algoritma ke khasan masing-masing para creator, robot ini diciptakan bertujuan untuk membentuk habit baru dari setiap penggunanya.

Jika kita sempat merasa bahwa datangnya sosial media akan merubah pola hidup kita dengan sendirinya, kita sudah salah besar mengartikan maksud creator dalam penciptaan tekonologinya. Habit ini bukanlah suatu kecelakaan, akan tetapi sebuah pengaturan yang telah dilakukan oleh para creator sosial media, untuk membuat penggunanya tetap berada dalam track yang diinginkan.

Seperti, tetap berada pada sosial media saat pelajaran di dalam kelas berlangsung, AI bekerja lewat notifikasi yang dikirimkan untuk mengembalikan perhatian pada smartphone, dengan menggerakan algoritma seperti menyuguhkan foto atau video yang kerap kita sukai, hingga mengkaitkan informasi yang tidak penting dengan keadaan sekeliling, hanya untuk mengembalikan perhatian para penggunanya. Karena pattern-pattern yang telah dipelajari oleh AI tidak membiarkan penggunanya untuk menjauh dari smartpone yang mereka milik.

Hoax yang Tidak Ditemukan di Netflix

Terlihat pada film Social Dilemma, momen para creator yang diminta memberikan tanggapan mereka atas polarisasi yang terbentuk dimasyarakat, dan kemudian mereka pun kompak pada satu jawaban, yaitu “seluruh bagian yang mereka ciptakan adalah demi kebaikan para penggunanya, namun mereka tidak menyadari bahwa ciptaannya telah membentuk polarisasi dimasyarakat”.

Memang saat ini, garis merah pada media sosial sangat sulit untuk diamati, dengan banyak sudut pandang para penggunanya, membuat hitam putih informasi atau argumentasi berubah menjadi wilayah abu-abu. Jika sudah pada kondisi seperti ini, tentu para pengguna akan bermuara kepada kelompok-kelompok yang memberi naungan bagi para penggunanya atas satu frekwensi yang sama, sehingga informasi dan arguments yang berasal dari kelompoklah yang akan dianggap paling benar. Polarisasi kemudian menjadi hal yang tak mungkin lagi untuk dielakkan.

Pada gambar, jika dilihat terdapat peningkatan sebesar 58% pada masyarakat Indonesia yang setuju akan sosial media menciptakan polarisasi politik, sedangkan sebesar 6% merasa bahwa terdapat penurunan, dan 36% tidak merasakan dampak apapun. Hasil penelitian CIGI dan Ipsos ini memperlihatkan bahwa besarnya ranah habu-abu di sosial media Indonesia pada tahun 2019 lalu.

Kecemburuan Atas Distraksi Sosial Media 

Pada akhirnya, di mana letak kecemburuan Netflix? Bak dianggap angin lalu, Netflix sangat khawatir akan fokus para penontonnya yang teralihkan oleh sosial media. Bila mengacu pada perkembangan sosial media dan peningkatan penggunanya, Netflix tidak menemukan masalah sedikit pun dan bahkan terbantu oleh sosial media dalam perluasan brand dan penontonnya.

Namun, bila mengacu pada AI yang diciptakan oleh para creator, tentu hal ini menjadi permasalahan yang akan dicemaskan oleh Netflix. Bagaimana tidak? Dengan rata-rata film yang berdurasi lebih dari satu jam, keinginan Netflix untuk membuat para penggunanya tetap fokus pada layar televisi canggih harus terganggu oleh notifikasi smartphone.

Lewat data statistik yang dimiliki Recode.net, terlihat banyak calon pengguna yang mulai mendaftarkan dirinya lewat personal computer dan smartphone, dan kemudian mulai beralih ke layar televisi untuk menikmati tontonan yang diinginkan. Perebutan perhatian dari pengguna Netflix dan sosial media mulai terbentuk difase ini, Netflix yang selalu berusaha mengudapte film-filmnya, bahkan mulai memproduksi filmnya sendiri yang ditargetkan akan sangat cocok bagi penontonnya, harus bersaing dengan notifikasi smartphone yang dikirimkan oleh AI sosial media.

Alih-alih menjadi tempat penyegar pikiran selepas penat akan beraktivitas seharian bagi penontonnya, Netflix malah terlihat seperti suara bising untuk meramaikan suasana di rumah saja. Hal inilah yang menguatkan asumsi terhadap film Social Dilemma, bahwa ini merupakan alat propaganda Netflix untuk menjauhkan penontonnya dari smartphone canggih milik mereka.

Rezky Dwiantoro
Rezky Dwiantoro
Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.