Masalahnya sederhana, sebenarnya. Atlet Indonesia Miftahul Jannah dilarang bertanding di Asian Para Games karena ia memakai jilbab. Disuruh melepas ia enggan. Apa boleh buat, ia kena diskualifikasi, kalah tanpa bertanding.
Menurut keterangan yang muncul belakangan, sang atlet sendiri sudah tahu
peraturannya begitu. Tapi ia mencoba mendobrak aturan itu.
Ya, begitulah aturan yang ditetapkan induk organisasi olahraga Judo. Tidak
sulit untuk memahami mengapa ditetapkan begitu. Olahraga ini mirip gulat.
Dalam bertanding atlet saling tarik baju, juga saling banting. Lilitan kain
di leher dianggap bisa membahayakan atlet.
Ini soal keselamatan. Induk organisasi olahraga ini tidak secara khusus
melarang orang berjilbab bertanding. Yang dilarang adalah atribut yang bisa
membahayakan atlet.
Sayangnya, narasi yang berkembang kemudian adalah soal anti-Islam. Penyelenggara digambarkan sebagai pihak yang selalu membenci Islam, menghalangi umat Islam menjalankan syariatnya. Makin konyol lagi, ini dikaitkan dengan pemerintah Jokowi segala. Padahal ini peraturan bukan peraturan pemerintah.
Tak kurang pengurus MUI pun bicara dengan nada sama. Ia minta agar peraturan ini diubah, atas nama HAM. Lho, peraturan ini ada justru untuk melindungi HAM, yaitu menyelamatkan hak hidup atlet. Herannya, pengurus MUI ini tidak lebih dahulu memikirkan masalahnya dari sudut pandang syariat Islam sendiri.
Ada banyak kasus sejenis, di mana orang Islam begitu mudah menyalahkan
pihak lain, tanpa lebih dulu melihat diri mereka sendiri.
Dulu pernah tersebar kabar, perempuan dilarang masuk ke ruang ATM sebuah bank BUMN
karena dia pakai cadar. Alasannya tentu saja soal keamanan. Orang pakai helm, topeng, atau kaca mata hitam juga dilarang masuk. Tapi pelarangan terhadap pemakai cadar langsung dianggap sebagai sikap anti-Islam.
Ada banyak orang yang begitu gampang membangun narasi Islam yang terzalimi.
Sedikit-sedikit mereka langsung menuduh pihak lain anti-Islam atau
islamofobia. Padahal masalah yang dihadapi malah tidak berhubungan langsung
dengan Islam. Kebetulan saja yang ditetapkan pihak lain atas dasar suatu
keperluan tidak sesuai dengan kehendak orang Islam.
Banyak orang didoktrin, lalu percaya, bahwa di luar sana ada pihak-pihak yang membenci dan memusuhi Islam dan umatnya. Mereka digambarkan selalu mencari cara untuk menghancurkan umat Islam.
Dalam hal vaksin yang heboh tempo hari, begitu juga narasinya. Vaksin itu tidak hanya haram, tapi didesain untuk menghancurkan umat Islam, tuduh mereka.
Maka, apa pun yang terjadi, ketika ada suatu yang tidak menyenangkan, reaksinya sama: itu pekerjaan orang-orang yang anti-Islam.
Sebagian orang Islam berada dalam suasana psikologis seperti itu. Mereka meyakini bahwa ada pihak-pihak yang memusuhi. Mereka sendiri merasa bahwa mereka tidak memusuhi siapa pun. “Merekalah yang menzalimi dan memusuhi kami,” tuduh mereka.
Benarkah begitu? Dalam kasus judo tadi tuduhan itu tidak benar. Demikian pula dalam kasus vaksin, dan banyak kasus lain. Akhirnya, yang terjadi justru sebaliknya. Orang tidak memusuhi umat Islam. Umat Islam merasa orang-orang memusuhi mereka. Lalu mereka menjadi paranoid terhadap berbagai pihak. Tanpa mereka sadari, justru mereka yang menyuburkan permusuhan.
Itu kondisi psikologis orang bermental korban. Mereka selalu menyalahkan orang lain. Mereka selalu merasa bahwa orang-orang di sekitar bersekongkol untuk memusuhi dan mencelakan mereka. Segala keburukan yang diderita adalah akibat tindakan pihak lain.
Orang-orang ini tanpa sadar larut dalam narasi yang mereka bangun. Mereka menikmatinya. Mereka menemukan fakta-fakta yang mendukung narasi itu. Padahal itu adalah fakta-fakta palsu, yang mereka bangun sendiri dengan persepsi mereka. Mereka tanpa sadar telah merugikan diri sendiri.
Kerugiannya berupa terhambatnya kemajuan, karena mereka selalu menghindar
dari pihak-pihak yang mereka curigai. Jaringan mereka jadi terbatas. Mereka berusaha membentuk jaringan eksklusif juga tidak berhasil. Akibatnya, mereka makin tertinggal.
Yang lebih nyata adalah kerugian seperti yang diderita orang ketika menolak vaksin. Anak-anak mereka diserang penyakit, lalu terhambat pertumbuhannya. Sementara anak-anak dari kalangan yang mereka musuhi, tumbuh sehat. Kelak kalau anak-anak mereka kalah bersaing karena pertumbuhannya kurang sehat, mereka akan makin menyalahkan pihak lain pula.
Umat Islam harus mengurangi sebanyak mungkin narasi seperti ini. Ada begitu
banyak manusia baik yang tidak memusuhi siapa pun. Mereka hidup untuk
menebar kebaikan, tanpa memandang suku, agama, atau apa pun atribut
penerimanya. Mereka hanya melihat satu identitas, yaitu manusia. Kita umat Islam seharusnya juga begitu.