Minggu, November 24, 2024

Kala “Gerungisme” Mendungukan Manusia

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
- Advertisement -

“Apa artinya menjadi manusia?” Barangkali ada banyak interpretasi terhadap pertanyaan itu. Orang-orang di seluruh dunia memiliki jawaban dan sudut pandang yang berbeda mengenai pertanyaan ini. Fisikawan Albert Einstein, misalnya, percaya bahwa “upaya manusia yang paling penting adalah perjuangan moralitas dalam tindakan kita. Keseimbangan batin kita dan bahkan keberadaan kita bergantung padanya. Hanya moralitas dalam tindakan kita yang dapat memberikan keindahan dan martabat bagi kehidupan.”

Jika kita memulai penelusuran lebih jauh tentang manusia, ada banyak pemahaman dan perspektif tentang manusia. Dari peradaban tertinggal hingga peradaban yang lebih modern. Dalam ensiklopedia hingga buku-buku yang telah ditulis menyebutkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengekspresikan emosi, cinta, perawatan kebencian dan lain-lain.

Jelas, kita tahu bahwa hewan memiliki kemampuan yang sama untuk menunjukkan cinta kepada anak-anak mereka dan hewan lain seperti halnya manusia. Oleh karena itu, ini menunjukkan bahwa memiliki kemampuan menunjukkan emosi seperti cinta, benci, kemarahan, dan lain-lain tidak mendefinisikan kita sepenuhnya sebagai manusia.

Menjadi manusia tidak berarti memiliki dua telinga, satu hati, dua tangan, atau menjadi kaya, memiliki harta, dan lain-lain. Di sisi lain, menjadi manusia berarti memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan yang salah. Seseorang harus bisa mengetahui seberapa etis dan tepat keputusan itu. Seseorang harus tahu sejauh mana memperhatikan batasan-batasan berbicara. Seorang manusia tidak harus menerima apa pun yang diperintahkan kepadanya, ia lebih suka bisa sendiri mengetahui haknya. Muncul pertanyaan: bagaimana kebencian muncul? Apakah kebencian ditakdirkan dalam diri manusia?

Kebencian tidak ditakdirkan dan tidak dilahirkan, tapi dibuat. Sifat alami manusia. Menjadi manusia berarti memiliki kemampuan berpikir rasional dan kritis. Sebagai manusia, mereka memang memiliki kemampuan ini, tetapi karena mereka tidak dapat menggunakannya, saya percaya tidak ada perbedaan antara mereka dan hewan. Mereka harus dapat berpikir secara mendalam di luar hal-hal nyata di dunia.

Label Dungu
Lantas, bagaimana jika seorang manusia berani melabeli manusia lain dengan label “orang dungu?” Mendengar label dungu mengingatkan saya dengan Rocky Gerung. Apa yang terjadi jika (intelektual) semacam Rocky menyebut Anda dungu? Apakah Anda marah, atau benci? Misalnya, Anda merasa marah, apakah Anda akan menyerangnya? Barangkali dengan kata-kata yang jauh lebih pedas, mengajak adu fisik atau memilih mengabaikannya?

Kaum intelektual hari ini telah berubah menjadi pesohor politik, sarat dagelan. Lebih tahu segalanya dibandingkan yang lain. Ia bahkan tidak dapat berbuat apa-apa demi masa depan bangsa ini. Ia cuma tahu merusak, menghasut hanya karena ia jauh lebih baik bermain diksi ketimbang yang lain. Maka, tak salah, ada banyak kata-kata sejenis yang berseliweran di ruang publik, seperti: dungu, tolol, idiot, sontoloyo, bodoh, dan gila. Istilah ini tentu saja, hampir seluruhnya, keluar dari mulut orang-orang yang katanya intelektual (baca: “Gerungisme”).

Kaum intelektual maupun filsuf sejati harus berpegang pada prinsip kebijaksanaan dan kemanusiaan. Kaum intelektual berpikir dahulu sebelum bertindak; berpikir dulu sebelum berbicara. Apakah pikiran saya ini nanti melukai orang lain atau tidak? Seorang bijaksana takkan suka bermain politik praktis. Baginya, politik adalah jalan untuk memaslahatkan manusia. Itu yang membedakan kaum intelektual dengan politisi. Politisi tidak berarti kaum intelektual. Politisi boleh berpikir dan berbicara apa saja, sebebas-bebasnya ia mau. Bahkan ia tidak peduli telah melupakan batas-batas moral yang telah ada. Pertimbangan moral inilah yang seharusnya membedakan politisi dengan kaum intelektual.

Meski hari ini kita sudah melihat ada banyak kaum intelektual berubah menjadi politisi, sebaliknya politisi berubah menjadi kaum intelektual yang selalu paham persoalan publik. Keduanya bersolek, dipoles demi kepentingan dirinya maupun golongannya. Bak artis dadakan muncul di televisi.

Di lini masa, kita menyaksikan mereka berbaur; bersilat lidah, penuh dengan dramaturgi politik. Tidak suka lawan politik, maka kata-kata menjadi senjata. Tapi, apakah kata-kata yang terlontar mencerdaskan atau memberikan pendidikan politik yang baik? Belum tentu. Kadang perkataan yang keluar dari mulut mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebagai manusia yang berpikir, kita dituntut untuk dapat mengaktifkan kesadaran kritis.

- Advertisement -

Di media massa, di hadapan publik, kaum intelektual mesti memposisikan diri sebagai sosok yang tahu persoalan publik; berbicara kebenaran. Kebenaran yang dipandang sebagai kesepakatan bersama dengan pertimbangan-pertimbangan moral. Tugas filsafat yang dipelajari haruslah mencerahkan manusia. Tidak untuk menghina; mencemooh ataupun mendiskreditkan manusia lain.

Tidak pula semata-mata dipermainkan sebagai senjata untuk “mendungukan manusia lain.” Meski manusia memiliki kebebasan untuk berkata apa pun, tapi norma-norma (aturan) membatasi itu. Melewati batas-batas yang telah ditetapkan berarti manusia sebagai makhluk intelektif mesti menerima hukuman. Hukuman yang ditetapkan atas kesepakatan bersama.

Ketika seorang manusia menyebut manusia lain yang berbeda pendapat maupun berbeda sikap politik dengannya, maka ia tidak lebih baik daripada manusia yang ia sebut dungu. Manusia yang menyebut manusia lain sebagai dungu secara tidak langsung menurunkan kelas, kualitas, dan harga dirinya sebagai manusia. Atau, saya boleh membuat guyonan baru: “Manusia dungu yang menyebut manusia lain dungu adalah manusia yang jauh lebih dungu karena bergaul dengan manusia-manusia dungu.”

Memang, manusia sebagai makhluk penafsir tidak benar-benar terhubung dengan dunia secara langsung, tapi terhubung melalui kerangka pikirannya. Ia tidak pernah melihat dunia dengan netral, tapi selalu melalui kepentingannya. Ia berbicara atas keengganan publik menggunakan akal pikiran, atau mungkin fanatisme buta yang sudah mengakar kuat.

Kaum intektual boleh jadi sedang mempermainkan emosi publik. Publik sebagai korban tanpa sadar termakan oleh sentimen-sentimen yang disemai. Sentimen yang disemai kemudian dituai dengan secuil demi secuil kebencian. Paling berbahaya adalah ketika kaum intelektual menggiring opini publik ke ranah yang tidak seharusnya, seperti menebar kabar bohong, kampanye hitam, politik identitas, SARA, dan lain-lain. Seharusnya nurani dan akal sehat menjadi tuan atas hidup kaum intelektual, bukan menjadi budak oleh kepintaran dan keegoaan semata.

Sejatinya, setiap orang memiliki definisi, kepercayaan, dan pemikiran yang berbeda tentang apa artinya menjadi manusia. Kita dikirim ke dunia ini dengan tanggung jawab dan tujuan. Kita memiliki keunggulan dibandingkan makhluk lain; kita dapat berpikir secara rasional dan mendalam. Kita memiliki kemampuan untuk membedakan yang benar dari yang salah. Hidup kita tergantung pada apa yang kita pikirkan; apa yang kita putuskan, dan bagaimana kita memutuskan. Bagaimana kita menggunakan keterampilan alami kita dalam mengambil keputusan dan membuat pilihan terbaik.

Pada titik ini, kita belum memenuhi tanggung jawab dan belum membuktikan diri sebagai manusia yang bertanggung jawab. Kita, sebagai manusia, seharusnya membuat hubungan dan koneksi satu sama lain. Kita harus menghormati dan menerima moralitas dan harus membuktikan diri kita sebagai ciptaan yang bertanggung jawab. Bertanggung jawab dengan cara berpikir dan cara kita memperlakukan manusia lain.

Demikianlah, kaum intelektual adalah corong untuk membangun kecerdasan publik. Tugas kaum intelektual adalah “menghijaukan” akal, bukan membuat akal “meranggas” seperti tak disiram “air” kebijaksanaan.

Roy Martin Simamora
Roy Martin Simamora
Peminat gender studies. Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.