Minggu, November 24, 2024

Jokowi Presiden Tanpa Visi dan Inkonsisten

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
- Advertisement -

Rekam jejak kebijakannya tak terstruktur. Cenderung acak, tidak konsisten, bahkan kontradiktif antara satu dan yang lain.

Suatu kali menyatakan banjir dan macet di Jakarta akan lebih mudah diatasi jika jadi presiden. Lalu setelah jadi presiden, ia berbicara tentang pentingnya reklamasi Teluk Jakarta yang diintegrasikan dengan Proyek Garuda atau Tanggul Laut Raksasa (Giant Sea Wall) dengan dalih melindungi ibukota negara dari naiknya muka air laut akibat pemanasan global.

Namun kemarin tahu-tahu melompat ke helikopter dan survei lokasi ibukota negara yang baru di Kalimantan. Untuk menarik simpati publik, ia bahkan menyatakan proyek pindah ibukota ini tidak memakai APBN.

Sebuah gagasan yang terdengar heroik dan kreatif, tapi sebenarnya berbahaya. Bagaimana mungkin infrstruktur dan fasilitas publik diongkosi dari sumber-sumber privat yang tidak gratis dan membawa serta aneka kepentingan?

Mei 2015, di lokasi sawah milik anak usaha grup Medco di Merauke, Presiden Jokowi menyatakan hendak mencetak sawah satu juta hektar dalam tiga tahun. Pernyataan ini mengejutkan petugas pertanian dan pengairan di Papua.Gagasan yang bombastis. Sebombastis permintaan Dayang Sumbi kepada Sangkuriang. Belum lagi warga adat yang khawatir tanahnya akan dirampas. Dan proyek itu memang terbukti gagal total.

Ada lagi program peremajaan kelapa sawit yang dimulai di Sumatera Selatan tahun 2017. Rekaman ini juga menunjukkan semangat Presiden mendorong monokulturisme. Petani harus seproduktif perusahaan. Ia tak peduli, bahwa basis produksi rakyat seharusnya tanaman multikultur agar tidak tergantung pada satu jenis tanaman dan rentan menghadapi fluktuasi harga.

Jika pun harus monokultur karena keterbatasan lahan, maka semestinya mereka didorong untuk menanam tanaman pangan. Bukan tanaman komoditi seperti karet atau sawit.

“Kalau perusahaan bisa 8 ton CPO per tahun, petani juga harus bisa 8 ton. Jangan 2 ton.,” katanya, disambut tepuk tangan jajaran birokratnya. Ia bahkan muncul dengan gagasan fakultas kelapa sawit. Ini gagasan acak selanjutnya setelah meminta perguruan tinggi membuka jurusan meme.

Tak lama kemudian, harga sawit pun anjlok. Ia lalu dengan enteng minta petani ganti tanaman jengkol atau durian, seolah mereka punya lahan yang luas untuk melakukan transisi dari tanaman lama yang kurang menghasilkan, ke tanaman lain yang baru mulai bisa dipetik hasilnya 5-10 tahunan kemudian.

Ini sama dengan program bombastis lainnya: mencetak 10 Bali baru dalam empat tahun untuk target 20 juta wisman di 2019. Dari Toba sampai Mandalika, dan Raja Ampat. Lalu dikoreksi sendiri karena realisasi baru sampai Toba dan Borobudur. Itupun dengan konsep mass tourism yang sarat masalah.

- Advertisement -

Inkosistensi dan kebijakan acak lainnya adalah tentang pendidikan dan infrastruktur. Dua kliping berita digital ini cukup menggambarkan betapa tak terstrukturnya cara berpikir, prioritas, bahkan gagasan-gagasan yang saling bertabrakan.

Misalnya pada Mei 2014 Jokowi berkata Negara Maju Utamakan Pendidikan, Bukan Pembangunan Infrastruktur. Saat itu ia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta “Sejak awal, saya sampaikan dalam membangun negara di mana pun, pendidikan harus nomor satu. Jangan pembangunan ekonomi atau pembangunan infrastruktur.” Tapi praktiknya? Nol besar!

Lalu pada Februari lalu Jokowi bicara soal izin infrastruktur. Ia berkata “…pemerintah selama 4,5 tahun terakhir memang fokus pada pembangunan infrastruktur. Menurut dia, infrastruktur ini sangat penting bagi daya saing Indonesia yang masih rendah ketimbang negara-negara tetangga.”

Jika Anda lebih tekun menggeledah jejak digital pernyataan-pernyataannya terkait kebijakan pembangunan Presiden Jokowi, akan lebih banyak lagi hal-hal yang mencengangkan. Seperti soal izin investasi, tol laut, atau “BBM satu harga”.

Dengan rekam jejak seperti ini, saya khawatir, pidato pertamanya saat menginjakkan kaki di ibukota yang baru adalah tentang rencana pindah ibukota.

 

Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono
Jurnalis, penulis, dan Pendiri Watchdoc, perusahaan film dokumenter. Pada 2015, selama 365 hari, bersama "Ucok" Suparta Arz, Dandhy bersepeda motor mengelilingi Indonesia di bawah bendera Ekspedisi Indonesia Biru.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.