Hampir sepanjang sejarah Indonesia, orang-orang nasionalis itu sekuler. Sukarno adalah orang sekuler. Ia tidak memasukkan agama dalam konsep negara yang ia bangun, dalam arti bahwa negara tidak diatur dengan prinsip-prinsip agama. Agama cukuplah menjadi urusan pribadi-pribadi. Sukarno berhadapan dengan orang-orang islamis, salah satunya M. Natsir, yang menganggap agama bukan sekadar soal ritual-ritual saja. Bagi Natsir, agama Islam mengatur hal-hal yang harus diatur oleh negara. Negara harus bersatu dengan agama.
Natsir tidak sendiri. Orang-orang yang tadinya mendukung pencoretan 7 kata pada rumusan sila pertama Pancasila dalam naskah Piagam Jakarta, pada sidang Konstituante justru berbalik, menghendaki Islam sebagai dasar negara. Kekuatan mereka berimbang dengan kelompok nasionalis yang menghendaki Indonesia yang sekuler. Dengan sponsor tentara, Sukarno akhirnya mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, menetapkan untuk kembali ke UUD 1945 yang pada prinsipnya agak sekuler, karena tidak menyebut Islam di mana
pun dalam naskahnya. Untuk menghibur kelompok islamis, Sukarno menyatakan bahwa UUD 1945 dijiwai oleh Piagam Jakarta.
Konsep kompromis itu membuat Indonesia menjadi negara bukan-bukan. Ia secara resmi bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Berbagai perangkat kenegaraan memasukkan unsur-unsur agama di dalamnya. Indonesia punya hukum khusus yang mengatur kebutuhan orang-orang Islam yang dikelola oleh negara, seperti penikahan, waris, yang kemudian dilengkapi dengan sistem peradilan yang terpisah. Kita juga punya Kementerian Agama. Belakangan keberadaan unsur-unsur syariat Islam itu makin luas dengan masuknya aspek-aspek yang lebih luas, seperti perbankan dan sistem jaminan halal.
Meski dalam pemilihan umum selama masa reformasi partai-partai Islam secara individu tidak ada yang meraih suara yang dominan, secara akumulasi kekuatannya masih cukup perlu diperhitungkan. Ditambah lagi, di dalam tubuh partai nasionalis sendiri ada faksi-faksi yang condong ke Islam.
Jokowi adalah nasionalis yang cenderung sekuler. Tapi ia hadir dalam iklim politik yang sangat pragmatis. Dalam iklim pragmatis, ideologi tak sangat penting, yang penting kekuasaan. Karena itu bagi Jokowi sah saja ia berkoalisi dengan PKS saat maju dalam pemilihan Wali Kota Solo. Semakin hari pragmatisme semakin kuat. Jargon-jargon Islam begitu laku dipakai dalam merebut suara pemilih kelompok tertentu. Mau tak mau para politikus pragmatis ikut memainkan jargon-jargon itu. Mereka ingin bermain aman, dengan meraup suara dari kalangan sekuler, tapi juga tidak mau kehilangan suara dari kelompok islamis.
Prabowo sejatinya jauh lebih sekuler dari Jokowi. Ia sendiri berasal dari kalangan Kristen, masuk Islam hanya dalam rangka pernikahan. Tapi bahkan Prabowo ikut menikmati permainan politik pragmatis yang menjual jargon-jargon Islam tadi. Apalagi Jokowi yang secara pribadi jauh lebih religius dari Prabowo.
Pragmatisme politik semakin menggeser Jokowi ke arah religius. Kelompok-kelompok islamis yang tidak ikut dalam gerbong politik Jokowi terus mengumandangkan tuduhan bahwa Jokowi itu bukan Islam, bahkan antiislam. Jokowi takut dengan serangan itu. Ia mati-matian mencitrakan dirinya sebagai orang yang religius. Ia sering tampil di masjid-masjid, duduk bersama ulama, dan menjadi imam salat. Ia enggan bersuara keras dalam kasus-kasus friksi antara orang-orang islamis dengan orang-orang dari golongan minoritas. Puncaknya, ia memilih Ketua MUI sebagai pendamping dalam pemilihan presiden. Sebagian pendukung dari kalangan minoritas menjauh dari Jokowi, meski tak serta merta pindah ke kubu Prabowo.
Lucunya, apa pun yang dilakukan Jokowi tidak mengendorkan serangan kalangan islamis. Jokowi tetap dituduh antiislam. Akibatnya, Jokowi menggerakkan bandul kenegaraan menjadi semakin mendekati kemauan kelompok-kelompok islamis dari 2 arah. Di satu arah Jokowi membuat berbgai kebijakan dan langkah politik yang sesuai selera kelompok islamis. Di sisi lain, sosok Jokowi membuat konsolidasi kelompok islamis semakin kuat, dan makin leluasa menekan.
Peta politik Indonesia pasca 2024 akan ditandai dengan semakin kuatnya kelompok-kelompok islamis, memanfaatkan pragmatisme politik untuk mendesakkan berbagai tuntutan mereka. Jokowi berkontribusi besar dalam menumbuhkan kekuatan mereka.